Jumat, April 26, 2024

Realisme Politik NU: Short Comments untuk Marcus dan Burhanuddin Muhtadi

Musa Maliki
Musa Maliki
Musa Maliki Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta; Doktor Charles Darwin University Australia; Tokoh Jaringan Intelektual Berkemajuan; Karyanya (bersama Asrudin Aswar) "Oksidentalisme: Pandangan Hassan Hanafi terhadap Tradisi Ilmu Hubungan Internasional Barat" (2019)

Tulisan Marcus Mietzner dan Burhanuddin Muhtadi, “The Myth of Pluralism: Nahdlatul Ulama and the Politics of Religious Tolerance in Indonesia” dalam Contemporary Southeast Asia, Vol. 42, No. 1 (2020), pp. 58–84 menyengat warga NU yang membacanya karena mereka berargumen bahwa pluralisme di NU adalah mitos belaka.

Namun sengatan artikel ini belum sampai mengguncang kesadaran reflektif identitas ke-NU-an pada diri mereka. Alih-alih, warga NU yang mengklaim dirinya NU ndeles (sekali) hanya berhenti pada melakukan pembelaan yang ramai-ramai didukung oleh para pendukungnya. Seolah-olah yang tidak terima, mereka mengesensialisasi NU sebagai institusi yang suci.

Saya ingin fokus pada argumen bahwa realisme politik NU dalam perpolitikan Indonesia memang benar adanya dalam karya Marcus dan Burhanuddin. Namun karya ini tidak serta merta menghancurkan dimensi moralis NU yang sudah dibangun selama ini. Jadi ada karya yang fokus pada aspek politik kekuasaan, yakni NU dalam konteks realisme politik untuk kekuasaan. Jika ingin membuat karya yang fokus pada NU dalam konteks sosial dan kultural untuk pengembangan nilai-nilai adiluhung juga menarik.

Dalam research, kita melihat realitas yang diteliti boleh dari sisi mana pun. Utamanya, kita menyikapi karya ini objektif saja karena karya ini memang hanya bertujuan melihat sisi politik kekuasaan saja bukan sisi sosial-kultural.

Saya tidak bermaksud melakukan pembelaan pada siapapun juga sebab saya bukan siapa-siapa. Marcus dan Burhanuddin sudah cukup kuat integritas keilmuannya sehingga mereka tidak perlu dibela. Kaum Nahdliyin juga tidak perlu dibela sebab mereka merasa sudah cukup ‘toleran’ menghargai perbedaan pendapat sesuai dengan klaimnya.

Terkait dengan karya yang cukup kontroversial, khususnya kepada warga Nahdliyin yang berkeberatan atas isinya, saya ingin ikut nimbrung atau rembug. Short comments adalah komen pendek dari karya yang luar biasa akademik dan berbobot. Jadi buah pikiran ini tidak dimaksudkan untuk mengimbangi karya yang sangat akademik itu tapi menempatkan karya ini pada proporsinya agar dapat diambil banyak pelajaran darinya secara reflektif. Berikut komentar pendek saya tentang tulisan tersebut:

Pertama, saya ingin katakan bahwa tulisan akademik ini sangat padat, jelas, dan terstruktur. Marcus dan Burhanuddin begitu berhati-hati dalam menorehkan setiap katanya. Saya yakin tulisan ini di-review dan diedit berulang-ulang.

Misalnya jika ada serangan bahwa artikel ini sangat Barat, sangat Australia. Mereka sudah nge-block dahulu dengan mengatakan: We propose to define religious tolerance as an attitude that accepts the free expression of beliefs and conduct of practices by citizens endorsing a faith different from one’s own, and that views the constitutional rights of such citizens as equal to those held by the followers of one’s own faith. “Religious intolerance” then, is an attitude that rejects, and tries to ban or limit, the expression of beliefs and/or the practices of citizens endorsing a faith different from one’s own, and that views the constitutional rights of followers of one’s own faith as superior to those held by followers of a different faith. By using the parameters set and recognized by the Indonesian state and NU itself, our definition thus avoids the trap of applying Western standards to a non-Western context (h. 67). Jadi perspektif post-colonial selesai di sini.

Namun, religious tolerance yang diklaim sudah obyektif –bukan Barat dan bukan non-Barat faktanya, kita tak dapat lepas dari alam atau realitas modernitas yang lahir dari dunia Eropa Barat. Sungguh naif bila kita mengatakan bahwa penggunaan konsep tersebut berusaha menghindari aplikasi konsep Barat dan non-Barat sedangkan kedua oposisi biner tersebut pun lahir dari discourse alam modernitas yang ‘ideologis’.

Saya kira konsep ini tidak serta merta jatuh dari langit begitu saja (given). Apalagi jika definisi tersebut diklaim bersumber dari discourse negara Indonesia dan discourse NU sendiri yang tidak bebas kepentingan. Klaim bebas kepentingan (obyektif) ini benar-benar blunder. A theory (concept) is always for someone and some purpose (Cox, 1981); pengetahuan selalu terkait dengan kepentingan manusia (Habermas, 1972).

Kedua, saya melihat konsep myth” hanya muncul di judul saja sedangkan isinya lebih pada survey kuantitatif dari konsep religious tolerance. Sejauh mana signifikansi pemilihan konsep myth? Apakah konsep ini lebih pada provokasi atau niat ‘jualan’ konsep bombastis agar menarik seperti artikel media massa atau kepentingaan pasar akademik? Padahal konsep “myth” menjadi sangat eksistensial bagi sejarah umat manusia.

Misalnya, kajiannya Karen Armstrong yang terbaru, “the Lost Art of Scripture: Rescuing the sacred texts” (2019). Bagi Karen, konsep myth adalah interpretasi manusia dari bagian otak kanannya dalam pemaknaan hidup yang nyata (real), experiential, dan eksistensial. Konsep myth direproduksi dalam rentan sejarah umat beragama demi menjaga keberlangsungan umat manusia dalam menjiwai hidup.

Ketiga, konsep pluralism (pluralisme) yang tidak didefinisikan. Konsep religious tolerance justru yang dijelaskan sebagai kerangka konseptual bukan pluralisme. Marcus dan Burhanuddin seringkali menuliskan konsep pluralisme tanpa ada indikator yang jelas, tapi selalu diikutkan bersama konsep religious tolerance yang dijadikan label realitas yang di-survey-nya sebagai indikator yang jelas –dalam bentuk instrumen pertanyaan. Mungkin mereka mengasumsikan bahwa pembaca akademik sudah tahu. Apakah semua pembaca mempunyai tafsir yang sama terhadap konsep pluralisme?

Seperti yang saya sudah paparkan di atas, definisi yang muncul sebagai kerangka berpikir karya Marcus dan Buhanuddin adalah toleransi beragama (religious tolerance) bukan pluralisme. Di sini asumsinya tolerance sama dengan pluralism tapi pada penulisannya, mengapa selalu memakai kata penghubung “dan” ketika menulis keduanya: tolerance “dan” pluralism.

Jadi yang mau diukur, apakah konsep tolerance atau pluralism adalah dua konsep yang sama atau berbeda dengan adanya kata sambung “dan”? Hal ini menjadi membingungkan bagi saya. Menurut saya, karya yang berkualitas dengan penggunaan metode behavioralistik-positivisme seharusnya mempunyai konsistensi pemilihan konsep yang ketat dan rigid. 

Keempat, realisme politik NU. Konsep pluralisme menarik untuk dieksplorasi walaupun sejak awal definisi konsep tersebut menurut pemahaman saya disamakan dengan konsep tolerance (toleransi) agar masuk ke dalam klaim objek analisis: Banyak warga Nahdliyin mempertegas dirinya seorang pluralist. Argumen Marcus dan Burhanuddin tentang klaim elit intelektual Nahdliyin yang mempertegas dirinya sebagai seorang pluralist bukan bersumber pada fakta lapangan, tapi sebuah konsep yang diperjelas dengan dihadapkan dengan konsep radical Islamist.

Dalam konteks sejarah pemilu Jokowi, kelompok pluralist pro Jokowi dihadapkan pada kelompok radical Islamist pro Prabowo, bukan bersumber dari indikator lapangan (survey) nilai-nilai ke-NU-an yang dibawa sejak dahulu dalam wadah Islam Nusantara. Ketika dicek di lapangan melalui metode survei kuantitatif yang dilakukan Marcus dan Burhanuddin, faktanya warga Nahdliyin ternyata tidak pluralist dan/atau tolerant, khususnya di akar rumput pengikut NU.

Temuan surveinya menyimpulkan discourse pluralisme yang dipromosikan oleh elit dan akademikus NU ternyata tidak mengena para pengikut akar rumput NU. Kampanye tentang discourse pluralisme lebih pada menghadapi lawan politiknya: NU’s pursuit of pluralism and opposition to hardline Islamist groups must be primarily understood as a campaign to eliminate religious competitors that could threaten NU’s dominance. This character of NU’s campaign (h. 61).

NU secara politik memang berpolitik, tidak naïve (h. 65). Mana ada berpolitik malah merugi (berkorban demi orang banyak)? Menurut saya, label realisme politik (Barat) dalam perilaku politik NU sangat rasional (rational choice).

Dalam realisme politik, retorika menjadi strategi jitu dalam memperjuangkan keberlangsungan hidupnya. Ujaran “Who gets what how and when” oleh Harold Dwight Lasswell (1936) dalam berpolitik menyatakan wajar saja jika seseorang atau organisasi berpolitik mendapat keuntungan, bukan malah mau berkorban demi sesuatu yang abstrak seperti pluralisme, kebebasan, perdamaian abadi, dan seterusnya.

Menurut peneliti LIPI, Amin Mudzakkir (17 Juni, 2020) “Mietzner dan Muhtadi justru memitoskan makna pluralisme itu sendiri”. Tepatnya, realisme politik memaknai prinsip moralitas seperti pluralism dan/atau tolerance sebagai jalan menuju kekuasaan. Politik adalah bagaimana memperoleh kekuasaan; politik adalah kekuasaan walaupun dengan cara-cara moral atau moral sebagai alat untuk mencapai kekuasaan.

Kelima, Marcus dan Burhanuddin juga tidak hanya mendata dalam metode survey saja, tapi menampilkan banyak fakta dan analisis sejarah yang bersumber dari research-research yang mumpuni dan berintegritas dari Edward Aspinall, Greg Fealy, Robin Bush, Robert Cribb, Rémy Madinier, Jeremy Menchik, Azis Anwar Fachrudin dan yang lainnya. Jadi fakta sejarah tentang peran politik NU di sepanjang sejarah politik Indonesia memang membuktikan bahwa NU berpolitik.

Dan berpolitik itu berurusan dengan transaksi, “Who gets what how and when” yang tujuan akhirnya adalah kekuasaan. Jadi di era Sukarno, NU mendapat jatah di kabinet dan legislatif dengan menyingkirkan Masyumi (h. 63), di era Suharto, NU mendapat jatah kabinet dan berperan signifikan dalam demokrasi dan pluralisme dengan menyingkirkan PKI (h. 63). Semua fakta politik itu sangat rasional: memperoleh kekuasaan baik berbentuk material maupun non-material.

Jadi dalam perspektif realisme politik dan metodologi behavioralisme ketat dengan metode kuantitatif (survey), saya kira argumentasi bahwa NU tidak selamanya ‘bersih’ (suci) dalam konteks politik Indonesia tidaklah mengagetkan. Jika dalam berpolitik berperilaku pluralis dalam pengertian religious tolerance, maka NU seharusnya mempersilahkan non-NU untuk monggo kerso (dipersilahkan) memperoleh kekuasaan.

Metode survey ini sebenarnya utamanya ingin mematahkan argumen Mirjam Kuenkler and Alfred Stepan, “Indonesian Democratization in Theoretical Perspective”, in Democracy and Islam in Indonesia, edited by Mirjam Kuenkler and Alfred Stepan (New York City, New York: Columbia University Press, 2013), pp. 3–23. Mereka memperoleh temuan yang sejenis dengan Greg Barton dan Robert Hefner yang berargumen bahwa NU adalah pluralis.

Temuan research Kuenkler dan Stepan jelasnya berbunyi: “the backbone of a tolerant civil society”; nilai-nilai demokratis yang dimiliki NU disebarluaskan dengan baik ke para pengikutnya dan bahkan menggapai massa yang lebih luas (“well disseminated among its followers and even reach a broader public”). Hasil penelitian Marcus dan Burhanuddin telah berhasil membuktikan bahwa argumen Kuenkler dan Stepan lemah tentunya dari sisi realisme politik, bukan sisi sosial-kultural tubuh NU.

Keenam, dari hasil penelitian Marcus dan Burhanuddin, pertanyaan selanjutnya adalah apa dampak penelitian ini? Apakah karya ini hanya untuk intellectual exercise saja sehingga tidak mempertimbangkan ‘kesucian’ identitas NU? Apakah memang bertujuan hanya untuk pengembangan keilmuan saja; science for science sehingga berani mengusik ketenangan warga Nahdliyin? Apakah mereka ingin membuktikan dan mempromosikan metode survey –yang jitu sehingga secara political commodity menguntungkan lembaga survey? Sedangkan di sisi lainnya, beberapa warga NU yang membacanya was-was bahwa identitas NU menjadi tercemar, terkotori dan secara moral integritasnya menurun.

Menurut saya, secara metodologis, karya Marcus dan Burhanuddin sah-sah saja memaparkan fakta-fakta perilaku realisme politik NU, karena mereka hanya menceritakan fakta lapangan melalui angka-angka yang ditafsirkan, tidak lebih. Mereka menduplikat, meng-copy realitas, lalu ditampilkan kembali secara sistematis.

Secara metodis benar, tapi apakah secara nilai betul? Nilai siapa yang terkena dampak research ini dan untuk siapa hasil research ini akan secara instrumental ‘dipakai’? Apakah kebenaran yang diungkap benar-benar betul (berfaedah atau membawa kerusakan moral)? Saya kira pertanyaan-pertanyaan itu memang keterbatasan dari metodologi behavioralisme (positivisme) sejak lama.

Pada akhirnya, review saya ini hanyalah catatan kaki kecil-kecilan. Tidak elok membahas karya akademik amat sangat serius dalam ruang yang sangat terbatas ini. Oleh sebab itu, saya hanya mengulas kebingunan metodologis saja. Review ini menyimpulkan bahwa karya Marcus dan Burhanuddin ini penting bagi pembacaan tentang realisme politik suatu organisasi/institusi apapun termasuk agama.

Review ini kembali menegaskan tentang definisi politik sebagai perjuangan kekuasaan, dominasi, hegemoni, proses mempertahankan keberlangsungan dominasi atau hegemoni, dan perolehan keuntungan material dan non-material. Jadi discourse yang diklaim suci pun belum tentu suci secara independen dan inheren seperti institusi keagamaan dalam dimensi politik. Namun hal itu ditentukan/dikontruksikan oleh lingkungan politik kekuasaan yang ada disekelilingnya.

Musa Maliki
Musa Maliki
Musa Maliki Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta; Doktor Charles Darwin University Australia; Tokoh Jaringan Intelektual Berkemajuan; Karyanya (bersama Asrudin Aswar) "Oksidentalisme: Pandangan Hassan Hanafi terhadap Tradisi Ilmu Hubungan Internasional Barat" (2019)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.