Insiden yang terjadi antara—diduga—aparat dan oknum organisasi masyarakat dan mahasiswa Papua di Surabaya beberapa hari lalu masih menyisakan kesedihan yang mendalam. Bagi saya pribadi, kesedihan itu semakin menyeruak lebih dalam lagi setelah membaca Laki-laki yang Tak Berhenti Menangis hasil buah pikir almarhum Cak Rusdi Mathari (2019).
Cak Rusdi, mengutip dari Imam al-Qurtubi, mencatat, pada suatu ketika, datanglah Bilal putra Rabah radhiyallhu anhu kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maula—sebutan yang dipakai oleh Rasulullah untuk mengganti sebutan mantan budak dan inilah pertanda utusan Allah Subhanahu wa taala memuliakan derajat manusia—Bilal mengadu ke Rasulullah karena pinangannya kepada gadis dari kalangan Al-Bukair ditolak. Musababnya, Bilal adalah seorang mantan budak. Penolakan datang dari handai taulan, saudara-saudara si gadis.
Mendengar keluhan Maula Bilal, Nabi pun marah. Kemarahan kekasih Allah itu sampailah ke telinga para saudara si gadis. Selang berapa hari setelah kemarahan Nabi, bani Al- Bukair menerima pinangan Maula Bilal.
Penolakan bani Al-Bukair atas pinangan Maula Bilal adalah bentuk sikap rasis. Sebuah sikap yang merendahkan manusia lainnya karena dianggap berbeda. Hina dina.
Tak ada seorang pun yang bisa memilih opsi-opsi dalam keadaan apa ia dilahirkan. Si fulan tak bisa meminta ia dilahirkan di kalangan bangsawan. Si fulan lainnya tak kuasa memohon ia dilahirkan, mesti berkulit putih atau berwarna. Semua itu di luar kehendak manusia.
Tuhan mengajarkan, melalui kisah-kisah para nabinya, bahwa penghormatan terhadap perbedaan itu mestilah dipegang, dengan teguh, dengan sekuat-kuatnya. Bahkan tak hanya penghormatan kepada manusia, melainkan juga kepada semua makhluk.
Dalam kisah para Nabi, jauh sebelum Rasulullah diutus sebagai pembawa rahmat bagi alam raya, Nabi Nuh As mengajarkan untuk menghormati semua makhluk.
Alkisah, Nabi Nuh hendak menanam sebuah pohon. Kemudian datanglah seekor kambing yang aneh. Memiliki lima kaki, tiga mata, dan mulut yang mencong. Melihat kambing yang mendekat itu, Nabi Nuh dengan nada bercanda berkata, “hai kambing, jelek sekali rupamu itu.”
Mendengar seloroh gurauan Nabi Nuh itu, si kambing sontak dapat bicara. Ia menjawab Nabi Nuh, “hai Nuh, Nabi kekasih Allah Subhanahu wa taala, rupaku memang jelek. Mungkin juga tak berguna. Kamu melupakan sesuatu bahwa Penciptamu dan Penciptaku adalah sama.”
Mendengar perkataan si kambing, Nabi Nuh kemudian sedih. Sangat sedih. Nabi kekasih Allah Subhanahu wa taala itu menangis. Lama sekali. Hingga 200 tahun. Cak Rusdi menulis kisah Nabi Nuh itu dalam guratannya sebagai “laki-laki yang tak berhenti menangis.”
Tatkala melakukan aksi rasis, sebenarnya ada dua yang sedang direndahkan. Pertama, makhluk. Kedua, Sang Khalik, Pencipta makhluk itu.
Ketika mengolok-olok seseorang dengan sebutan hitam, pincang, dan sebagainya, dengan maksud merendahkan derajat orang itu, niscaya yang dihinakan itu tak hanya orang. Akan tetapi, juga Sang Penciptanya.
Rasisme semestinya tak boleh mendapatkan tempat di dalam negara-bangsa. Indonesia sendiri meyakini falsafah “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Menempatkan semua manusia pada pijakan keadilan dan keberadaban. Mengakui dan menghormati setiap manusia. Dan melindungi hak-haknya.
Alur kemerdekaan yang disusun dalam pembukaan konstitusi Indonesia menyajikan tugas negara (pemerintah) untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan pondasi, salah satunya, kemanusiaan yang adil dan beradab. Ini idealisme yang harus dipertahankan. Jangan dikendorkan.
Dalam norma penjabaran dari idealisme pembukaan konstitusi, Pasal 28I ayat (2) secara terang menyatakan, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskrimatif itu.”
Sudah nyatalah, tak ada tempat bagi rasisme. Siapa pun tak boleh, bahkan coba-coba bersikap rasis. Kick out racism out of us.
Terkait dengan insiden Surabaya, bagaimana seharusnya negara di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo bertindak? Indonesia adalah negara hukum. Sebenarnya jika hukum ditegakkan dengan seksama, maka semuanya menjadi mudah saja. Provokator rasis harus diperiksa dengan seadil-adilnya. Kemudian hukuman dijatuhkan. Lalu umumkan ke publik. Jadikanlah pelajaran bahwa rasisme harus dilawan. Saatnya kini Presiden Jokowi melawan! Sekuat-kuatnya.
Secara bersamaan, negara juga harus melihat ke cermin. Mengoreksi segala kebijakannya. Keputusan-keputusan yang berbau rasis harus dihentikan. Diakhiri. Begitu saja.
Cukuplah sudah insiden Surabaya menjadi kasus rasisme terakhir di republik ini. Marilah menjadi subjek yang menciptakan sebuah bangsa yang beradab—dan adil.
Kolom terkait
Rasialisme yang Merenggangkan Keindonesiaan Kita
Bara Papua, antara Agama dan Kemanusiaan
Tentang Papua Jokowi Harus Belajar Pada Gus Dur