Selasa, Oktober 15, 2024

Ranah, Rantau dan Jokowi

Problematika Twitter

Membedah Anxiety

Israr Iskandar
Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas IImu Budaya Universitas Andalas Padang

Sejak 2014, penulis sudah beberapa kali mengangkat tema yang menghubungkan Sumatera Barat dengan Presiden Joko Widodo. Umumnya terkait hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden  sejak 2014, 2019 dan bahkan hingga 2024 (“diwakili”  pasangan Prabowo Subianto-Gibaran Rakabuming Raka) di Sumbar yang menunjukkan rendahnya preferensi masyarakat daerah ini terhadap mantan Gubernur Jakarta itu. Namun demikian, dalam menjalankan pemerintahannya, Jokowi, seperti pernah dikatakannya sendiri, tidak “menganaktirikan” Sumbar dan daerah-daerah di mana elektabilitasnya rendah dalam Pilpres.

Oleh karena itu, menjelang berakhirnya masa jabatan Jokowi pada 20 Oktober ini, menarik untuk menelaah dampak kebijakan Presiden Jokowi  khususnya di bidang infrastruktur fisik terhadap masyarakat Sumbar, terutama dalam relasinya dengan wilayah-wilayah di luar provinsi ini. Tidak bisa dipungkiri, walaupun pembangunan infrastruktur di Sumbar sendiri terbilang lelet, termasuk proyek jalan tol, tetapi determinasi dalam pembangunan sarana dan prasarana fisik di daerah-daerah lain di Sumatera telah turut membantu pergerakan ekonomi masyarakat Minang, khususnya di Sumbar.

Ranah dan Rantau

Masyarakat Minang sejak lama dikenal sebagai masyarakat yang suka merantau. Faktor ekonomi dan mencari ilmu (pendidikan) menjadi pendorong utama sebagian anggota puak ini pergi meninggalkan tanah leluhurnya menuju daerah-daerah tetangga di Sumatera, pulau-pulau lain di Nusantara, dan bahkan mancanegara. Puncak migrasi orang Sumbar dalam sejarah modernnya adalah pada saat dan pasca pergolakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) awal 1960-an. Eksodus besar-besaran rakyat Minang ke luar Sumbar pada saat itu tidak hanya karena faktor politik dan keamanan, tetapi juga kesulitan ekonomi (Naim, 2013)

Sejauh ini, mobilitas orang Minang dari ranah ke rantau, atau sebaliknya, dimungkinkan karena adanya infrastruktur fisik, khususnya jalan yang sudah terkoneksi dari daerah ini ke daerah-daerah lain sejak beberapa dekade lalu atau yang dikonstruksi pada waktu kemudian. Sebelum 1970-an prasarana perhubungan dari Sumbar ke Jawa, umpamanya, tidak hanya jalan darat yang kondisinya sangat terbatas, tetapi juga jalur laut dan sedikit udara. Pelabuhan Teluk Bayur di selatan kota Padang pada masanya terkenal sebagai pintu gerbang orang Minang menuju rantau nan jauh.

Pada akhir 1970-an, pemerintahan Soeharto berhasil menyelesaikan pembangunan beberapa ruas jalan trans Sumatera yang menghubungkan seluruh propinsi di pulau Andalas ini. Sumbar waktu itu terbantu sekali dengan keberadaan jalan raya yang dirancang sejak zaman Soekarno itu. Selesainya ruas Muara Kalaban-Lubuk Linggau (Sumatera Selatan) pada tahun 1976, umpamanya, mendorong peningkatan mobilitas orang, barang dan jasa dari Sumbar ke daerah selatan Sumatera.

Prasarana jalan darat dari Sumbar ke wilayah timur dan utara juga membantu peningkatan mobilitas orang Minang ke daerah-daerah tetangga tersebut dan sebaliknya. Adanya jalan darat dari Sumbar ke Riau di sebelah timur melewati Kelok Sembilan, umpamanya, merupakan jalur yang sudah bersifat klasik bagi orang Minang. Daerah tetangga yang sejak masa kolonial dikenal sebagai penghasil minyak bumi tersebut merupakan tujuan utama dan terdekat pendatang asal Sumbar dari dulu sampai belakangan ini. Sumbar sendiri merupakan daerah yang memasok banyak produk pertanian untuk Riau, seperti beras, kelapa, dan aneka sayuran.

Warisan Jokowi

Dalam satu dekade ini, terjadi peningkatan signifikan kuantitas infrastruktur (fisik) di Indonesia, termasuk di kawasan Sumatera. Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) di delapan propinsi yang diproyeksi (total) sepanjang 2.800 km tidak hanya mempermudah konektivitas antar-daerah di Sumatera, tetapi juga dengan Pulau Jawa dan lainnya.

Di antara bagian proyek JTTS yang menonjol adalah jalan tol Bakauheni-Palembang, Palembang-Prabumulih, Pekanbaru-Dumai, Pekanbaru-XIII Koto Kampar, Medan-Tebing Tinggi, Banda Aceh-Sigli dan seterusnya. Adanya jalan tol Bakauheni-Palembang, misalnya, bisa memotong waktu perjalanan mobil yang biasanya sekitar 8-10 jam menjadi 4 jam saja. Dumai-Pekanbaru yang tadinya ditempuh 4 jam kini dengan jalan tol bisa 1,5 jam saja. Begitu pula rute Pekanbaru-XIII Koto Kampar yang telah memangkas waktu tempuh perjalanan secara signifikan.

Tiga atau empat jalur tol yang disebut di awal memiliki kaitan erat dan bersifat langsung dengan Sumbar. Jalan tol Bakauheni-Palembang dan Palembang-Prabumulih, umpamanya, menjadi jalur primadona untuk mobilitas masyarakat Sumbar ke selatan Sumatera dan Pulau Jawa dan sebaliknya. Bus-bus angkutan umum dari Sumbar ke Pulau Jawa sangat terbantu dengan keberadaan jalan tol yang dibangun Presiden Jokowi ini. Bisa dibayangkan kalau JTTS di bagian timur Sumatera tersebut terhubung dengan jalan tol Pekanbaru-Padang (jika nanti terwujud), maka kelak akan memperkuat dampak ekonomisnya bagi Sumbar.

Dalam waktu belakangan ini saja, mobilitas orang Sumbar ke luar daerah terasa meningkat, karena waktu tempuh yang lebih singkat. Kalau jalur tol Padang-Pekanbaru terwujud seratus persen dan tersambung pula dengan jalur tol Pekanbaru-Jambi-Palembang dan Pekanbaru-Medan-Aceh, maka konektivitas ini akan berdampak besar terhadap Sumbar yang masyarakatnya dikenal relatif dinamis. Mobilitas orang Minang ke dan dari rantau diyakini akan semakin tinggi. Ini tentu akan berefek ganda. Sejarah sendiri juga mencatat, sumbangan perantau bagi pembangunan daerah leluhurnya sangat besar, termasuk umpamanya dalam bentuk kiriman dana segar.

Dalam kondisi sekarang saja, dengan asumsi tidak ada lagi masalah krusial dengan prasarana jalan raya di kawasan Lembah Anai dan beberapa ruas strategis lain, kebaradaan jalan tol Pekanbaru-Kampar dan Padang-Sicincin (jika dapat beroperasi dalam waktu dekat ini) akan memperpendek secara signifikan waktu perjalanan berkendara dari Sumbar ke Riau dan sebaliknya yang tentu akan membawa dampak tertentu bagi perkembangan (ekonomi) kedua daerah.

Demikianlah, walaupun Jokowi mendapat dukungan politik yang kecil di daerah ini selama sepuluh tahun menjabat sebagai Presiden, tetapi “lakek tangan” (kebijakan) mantan walikota Solo itu, terutama di bidang infrastruktur, tetap dirasakan masyarakat Minang di ranah dan rantau. Tinggal ke depan, bagaimana pemerintah lokal dan masyarakat dapat melanjutkan dan mendukung akselerasi pembangunan ruas tol yang masih tersisa, terutama jalur Sumbar ke Kampar, Riau.

Israr Iskandar
Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas IImu Budaya Universitas Andalas Padang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.