Rabu, April 24, 2024

Ramadhan dan Pesan Damai Islam

Nafi Muthohirin
Nafi Muthohirin
Peneliti di Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang. Anggota Lembaga Informasi dan Komunikasi PW Muhammadiyah Jawa Timur. Penulis buku "Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus" (2015)
islam-damai
Pastur dan biksu ikut berbuka puasa bersama umat Muslim dalam acara Lampung Mengaji 99 di Bundaran Tugu Adipura Bandar Lampung, Lampung, Selasa (7/6). ANTARA FOTO/Tommy Saputra

Ramadhan memiliki arti yang amat mendalam bagi umat Islam. Bulan yang penuh berkah ini bisa menjadi momentum bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, untuk meningkatkan sikap bertoleransi dan membenihkan pesan-pesan perdamaian Islam. Lebih-lebih terkait beberapa peristiwa terorisme dan aksi kekerasan atasnama agama yang terjadi akhir-akhir ini.

Tak satu agama pun yang mengajarkan kekerasan. Islam, Kristen, Yahudi, Budha, dan Hindu senantiasa menunjukkan kepada masing-masing umatnya jalan kebenaran dan perdamaian. Akan tetapi, dalam banyak kasus, mengapa agama acap kali dijadikan alat justifikasi terhadap berbagai tindak kekerasan.

Kemunculan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan aksi penembakan yang terjadi di Orlando, Florida, Amerika Serikat (AS) oleh Omar Mateen, yang menewaskan 50 orang dan 53 jiwa mengalami kritis, adalah fakta yang tak bisa dibantah bahwa agama menjadi tameng untuk menghilangkan nyawa manusia. Meski belum ada kaitan yang jelas, lagi-lagi ISIS mengklaim bertanggung jawab atas penembakan secara brutal tersebut.

Sejujurnya ulah sejumlah pihak yang menempatkan agama sebagai alat untuk melakukan kekerasan bukan hanya terjadi di AS, Irak, Suriah, Prancis, dan sejumlah negara di Eropa lainnya. Dalam beberapa kasus, sesungguhnya Indonesia mengalami peristiwa yang sama. Misalnya, masih ingatkah kita bagaimana kengerian konflik antar umat beragama yang terjadi pada 13 Oktober 2015.

Saat itu massa yang berjumlah ratusan orang membakar Gereja Huria Kristen Indonesia (GHKI) di Desa Sukamakmur, Singkil, Aceh. Bentrok antar warga tak terhindarkan, sehingga mengakibatkan puluhan korban berjatuhan.

Tiga tahun silam terjadi penyerangan terhadap jamaah Syi’ah di Sampang, Madura, dan kelompok Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Catatan buram intolernasi dan konflik berbasiskan agama di Indonesia tidak pernah benar-benar bisa dihapus. Kehidupan umat beragama terus dikoyak oleh pihak tidak bertanggung jawab. Publik dihantui tingkah pola masyarakat yang menamakan dirinya sebagai “Para Pembela Tuhan”.

Pesan Nirkekerasan Islam
Terlepas dari maraknya aksi anarkis berlatar belakang agama, baik yang terjadi di masa lalu maupun akhir-akhir ini, sesungguhnya doktrin agama tak pernah mengajarkan kekerasan. Islam senantiasa membimbing umatnya ke jalan yang penuh rahmat dan perdamaian. Dalam kehidupan sehari-hari sikap saling menghormati antarumat beragama sangat ditekankan.

Mohammad Abu Nimer dalam tulisannya bertajuk Conflict Resolution Approaches: Western and Middle Lessons and Possibilities (American Journals of Economics and Sociology; 1996) menuliskan, Islam sebagai agama dan tradisi penuh dengan ajaran dan berbagai kemungkinan penerapan resolusi konflik yang damai. Hal ini patut menjadi sumber berharga bagi nilai, keyakinan, dan strategi nirkekerasan.

Kenyataan itu setidaknya bisa dibuktikan dengan tiga alasan mendasar.Pertama, Islam yang berarti kepatuhan diri (submission). Kedua, salah satu dari nama Tuhan dalam al-asma al-husna adalah Yang Maha Damai (al-Salam). Ketiga, perdamaian dan kasih sayang merupakan keteladanan yang dipraktikkan Nabi Muhammad SAW. Itulah misi dan tujuan diturunkannya Islam kepada manusia agar senantiasa menyebarkan kehidupan yang damai.

Selain itu, al-Qur’an juga dengan jelas menunjukkan kepada umat Muslim tentang pesan-pesan perdamaian dalam Islam, misalnya pada sejumlah kata berikut: ar-Rahman (pengasih), ar-Rahim (penyayang), al-Adl (keadilan), as-Salaam (keselamatan), as-Sulkh (perdamaian), al-Hikmat (kebijaksanaan), al-Hasan (kebaikan), dan al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar (memerintah kebaikan dan mencegah kemunkaran). Bahkan, pesan-pesan perdamaian itu tidak hanya satu atau dua kali saja disebut dalam al-Qur’an, melainkan berkali-kali.

Sementara ungkapan Qital/Harb (perang)–bukan jihad–dalam al-Qur’an hanya disebut sebanyak 40 kali. Itu pun hanya menunjukkan pengertian yang digunakan pada saat mempertahankan diri saja, selain itu tidak. Penelaaan terhadap tradisi kenabian (hadist), begitu juga teks-teks al-Qur’an menjadi sangat penting untuk lebih dikontekstualisasikan dengan nilai-nilai sosial yang berkembang.

Maka, sudah jelas jika beberapa kasus kekerasan yang bersentimen agama di berbagai belahan dunia, ataupun di Indonesia, dewasa ini sangatlah bertolak belakang dengan ajaran Islam.

Dengan demikian, maraknya aksi anarkis bernuansa agama yang terjadi selama ini lebih disebabkan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang keliru, atau sengaja dipakai untuk kepentingan politik tertentu.

Bagi masyarakat Islam, pesan damai tidak hanya dapat dirujuk melalui al-Qur’an dan Hadis. Sejarah dan budaya masyarakat Islam pada masa Nabi Muhammad pun menceritakan kepada umatnya bagaimana upaya bina damai (peace building) dapat diciptakan. Nilai-nilai seperti persaudaraan, kesetiaan, dan penghormatan sangat ditekankan dalam hidup berdampingan, meski berbeda suku, ras, dan kelompok.

Pesan damai yang disampaikan secara tersirat dalam al-Qur’an menjelaskan bahwa hidup ini akan sejahtera, tentram, dan damai jika dipenuhi dengan sikap yang toleran, penuh kasih sayang, keadilan, dan kebaikan. Sebaliknya, jika kehidupan ini selalu diwarnai dengan kecurigaan, sikap ingin menguasai, dan permusuhan, ketidaknyamanan akan terus menghantui.

Momen Ramadhan adalah ritual tahunan bagi umat Islam untuk meningkatkan kadar ketakwaan dan keimanan. Sebab itu, mendakwahkan pentingnya pesan damai yang terkandung dalam ajaran Islam menjadi sangat urgen. Terlebih hal ini dalam rangka menderadikalisasi pola pikir masyarakat yang semakin disesaki dengan doktrin-doktrin yang beraras pada ekstrimitas keagamaan yang tengah marak.

Nafi Muthohirin
Nafi Muthohirin
Peneliti di Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang. Anggota Lembaga Informasi dan Komunikasi PW Muhammadiyah Jawa Timur. Penulis buku "Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus" (2015)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.