Ajakan untuk mendialogkan kitab suci kerap berhadapan dengan penolakan dari kalangan tertentu karena alasan supremasis. Di satu sisi, kitab suci mereka dipersepsikan serba-cukup sehingga tidak ada keperluan untuk menengok yang lain. Di sisi lain, kitab suci agama lain dituduh sebagai tidak otentik.
Alasan di atas diulang-ulang saat seseorang berbicara tentang hubungan antara al-Qur’an dan Bible, walaupun sedari awal disadari bahwa argumen polemis tersebut sangat bermasalah. Misalnya, bagaimana mungkin Bible dituduh tidak otentik, padahal al-Qur’an sendiri merekam kembali banyak hal yang bisa disebut “biblikal”.
Karena itu, ketika membaca al-Qur’an–disadari atau tidak–kita sesungguhnya juga mengaji berbagai aspek yang terkandung dalam Bible. Kenyataan itu biasanya dijelaskan sebagai fakta bahwa al-Qur’an dan Bible berasal dari sumber yang sama.
Sebagai bagian dari tradisi “tadarus” al-Qur’an di bulan Ramadhan, saya bermaksud mendiskusikan hubungan antara al-Qur’an dan Bible dengan menjelaskan kompleksitasnya. Diharapkan kita dapat melampaui argumen klasik yang menempatkan kitab suci agama lain sebagai tidak otentik.
Mendialogkan Kitab Suci
Kenapa mendialogkan kitab suci menjadi kebutuhan mendesak? Jawabnya cukup jelas. Setiap kitab suci tidak lahir dari kevakuman. Ia berinteraksi dengan iklim tertentu, yang sering kali bersifat lintas agama. Bahkan, banyak agama lahir dari pergumulan internal dari rahim tradisi keagamaan serupa.
Lihatlah bagaimana agama Budha lahir dari tradisi Hindu atau Kristen dari tradisi Yahudi. Dalam kaitan itu, tentu saja, Islam bukanlah pengeculian. Interaksi al-Qur’an dengan kitab suci agama Yahudi dan Kristen terlihat begitu jelas.
Sudah terlalu lama hubungan antara al-Qur’an dan Bible dilihat dari lensa polemik. Dalam tradisi Islam, literatur tentang kitab suci sebelum al-Qur’an banyak memuat tuduhan bahwa Bible telah mengalami distorsi, perubahan, atau pemalsuan. Tuduhan itu tentu saja dapat dilacak dari beberapa ayat al-Qur’an terkait sikap orang-orang Yahudi dan Kristen terhadap kitab suci mereka.
Walaupun pembacaan lebih dekat akan memperlihatkan bahwa al-Qur’an tidak presisi menyangkut apa yang dikritik dari kitab suci sebelumnya, literatur Muslim tentang ketidak-akuratan Bible menumpuk dan berjilid-jilid.
Dalam tradisi Kristen juga sama. Sejak perjumpaan awal komunitas Muslim dan Kristen sudah muncul kecenderungan untuk mempersoalkan otentisitias kitab suci kaum Muslim sebagai wahyu Ilahi. Bacalah, misalnya, surat Abdul Masih bin Ishaq al-Kindi yang dikirimkan kepada seorang tokoh Muslim bernama Abdullah bin Ismail al-Hasyimi. Keduanya adalah nama samaran, bahkan mungkin fiktif belaka. Tapi, isi surat itu menggambarkan sikap luas di kalangan Kristen polemisis awal terhadap al-Qur’an. Banyak sarjana meyakini, karya polemis dalam bentuk risalah itu ditulis pada masa pemerintahan Khalifah Abbasiyah al-Makmun, yang berkuasa selama 20 tahun (813-833).
Dalam risalahnya yang kini dikenal dengan sebutan “the apology of al-Kindi”, al-Qur’an disebut berasal dari ajaran seorang Kristen bernama “Sergius” yang menganut sekte sempalan, Nestorian. Karena itu, kalau ada ajaran kebaikan dalam al-Qur’an pastilah bersumber dari Bible, sementara ajaran kekerasan dari syetan.
Demikianlah kebuntuan yang dihadapi manakala masing-masing penganut agama menyikapi kitab suci agama lain dengan lensa polemik. Sudah saatnya kita melampaui argumen saling tuduh bahwa kitab suci umat yang berlainan agama sebagai tidak otentik.
Dan untuk dapat mendialogkan al-Qur’an dan Bible secara otentik, diperlukan kesadaran menempatkan keduanya pada level yang sama (equal footing) sebagai kitab suci bagi mereka yang mengimaninya. Tuduhan ketidak-otentikan Bible atau watak derivasi al-Qur’an jelas tidak membantu kita memahami kompleksitas hubungan kedua kitab suci tersebut.
Menyandingkan al-Qur’an dan Bible
Ramadhan membuka ruang bagi kita untuk mendialogkan al-Qur’an dengan Bible. Secara linguistik, “tadarus” yang menjadi tradisi bulan suci ini bukan sekadar berarti membaca atau mengkhatamkan al-Qur’an, melainkan berarti “saling belajar”. Tentu saja “saling belajar” bisa dimaknai lebih luas, termasuk saling menengok kitab suci agama lain.
Berikut ini contoh model mendialogkan al-Qur’an dan Bible dengan membaca keduanya secara bersandingan. Dari pembacaan serba singkat saja akan segera terlihat banyak kesamaan atau paralelisme, baik terkait narasi ataupun ajaran moralnya.
Menarik dicatat, al-Qur’an kerap merekam kisah-kisah rinci yang ada dalam Bible secara ringkas saja. Sebut, misalnya, kisah penciptaan Adam atau banjir yang menimpa kaum Nabi Nuh. Al-Qur’an merekamnya secara singkat dan diceritakan di banyak tempat. Hal itu mengindikasikan bahwa audiens al-Qur’an sudah cukup mengenal detail narasi-narasi tersebut sehingga tujuannya bukan untuk menyajikan cerita, melainkan agar pembaca/pendengar mengambil pelajaran moral (‘ibrah).
Dari situ sebenarnya kita bisa bertanya apakah gambaran tentang iklim paganistik Mekkah yang menjadi latar turunnya al-Qur’an masih dapat dipertahankan. Sebab, jika membaca al-Qur’an kita memperoleh kesan berbeda. Yakni, audiens al-Qur’an bukanlah komunitas pagan dengan peradaban primitif, melainkan mereka yang terlibat dalam perdebatan-perdebatan teologis cukup canggih.
Kenyataannya, al-Qur’an sama sekali tidak menyinggung keyakinan mereka yang disebut “musyrikun”, kecuali tiga nama putri-putri tuhan mereka (Lat, Uzza, dan Manat). Sebaliknya, kitab suci kaum Muslim itu justru memuat banyak ayat tentang keyakinan kaum Kristen dan Yahudi. Bukan saja perdebatan teologis kedua komunitas agama itu direkam, al-Qur’an juga sering kali melancarkan kritik terhadap mereka.
Saya kira memang ada yang salah dengan sumber-sumber tradisional yang mengambarkan audiens al-Qur’an sebagai masyarakat paganistik yang primitif. Dalam artikel “On Other Religions” yang dimuat dalam The Blackwell Companion to the Qur’an (edisi ke-2), saya berargumen bahwa sesungguhnya audiens al-Qur’an bukan masyarakat pagan, tapi multiagama dalam iklim polemik yang tinggi. Dalam konteks itu, al-Qur’an berdialog dengan beragam ajaran monoteistik dalam setting sosial tertentu.
Poin terakhir ini perlu ditekankan karena al-Qur’an acap kali menceritakan kisah-kisah yang sudah ada dalam Bible dengan versi yang berbeda. Di sinilah terlihat kompleksitas hubungan antara al-Qur’an dan Bible.
Dalam banyak kasus, al-Qur’an menghilangkan episode-episode tertentu atau menambah adegan lain yang tidak ada dalam Bible, seperti dapat dibaca dalam kisah Nuh dan Yusuf. Dalam kesempatan lain, al-Qur’an memberikan penekanan berbeda, seperti terlihat dalam kisah Adam. Bahkan, ada kalanya al-Qur’an menceritakan versi yang sama sekali berbeda, seperti episode hawariyun (murid-murid Isa) yang meminta diturunkan hidangan makanan (ma’idah) dari langit. Episode itu lebih mirip dengan kisah Musa ketimbang Yesus.
Semua itu dilakukan supaya kisah-kisah Bible tersebut cocok dengan konteks dan iklim tertentu di mana al-Qur’an lahir.
Ini sekadar contoh tadarus Ramadhan yang menyandingkan al-Qur’an dengan Bible. Lagi-lagi, model ini memang rentan ditolak oleh sebagian kalangan. Tapi, model dialogis dengan tradisi agama lain sebenarnya menjadi semangat Ramadhan, ketika ayat puasa dimulai dengan “Diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian” (QS 2:183).
Seperti halnya dalam puasa kita diingatkan akan praktik umat terdahulu, membaca al-Qur’an pun kita juga disuguhi kenangan (reminiscence) kitab suci agama lain. Menyelami samudera kedua kitab suci ini akan menyingkap tabir keagungan Ilahi.
Selamat mencoba tadarus model ini!