Saya bertemu secara langsung dengan Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab (Prof. Quraish) ketika kuliah magister di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta (awal 2007). Selama satu semester, saya mengikuti mata kuliah tentang kajian tafsir yang diampu oleh Prof. Quraish.
Pertemuan lebih intens lagi terjadi ketika saya menjadi salah satu peserta program Pendidikan Kader Mufassir (PKM), yang dilaksanakan oleh Pusat Studi al-Quran (PSQ). Pusat kajian ini fokus dalam pengembangan studi al-Quran dengan beragam kegiatan, dan diasuh oleh Prof. Quraish.
Selama kurang lebih setengah tahun (2009), saya dan kawan-kawan sesama peserta program lainnya, melakukan kajian tentang al-Quran dan tafsir di bawah bimbingan Prof. Quraish dan para dewan pakar kajian al-Quran di PSQ. Pada saat-saat itu, saya berkesempatan menyimak ulasan, pendapat, dan pemikiran Prof. Quraish tentang kajian Quran dan keislaman secara luas. Tidak hanya melalui karya-karya yang beliau tulis, tetapi juga memungkinkan untuk berdialog.
Di ruang kelas, selama berdiskusi dengan mahasiswa, Prof. Quraish menampilkan keteladanan pentingnya menghargai pendapat para ilmuwan. Dengan catatan, selama argumentasi yang dibangun bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Saya ingat, pada satu sesi diskusi di kelas, kami mengkaji pemikiran seorang ulama tafsir dari Timur Tengah. Di dalam diskusi itu, seorang mahasiswa mengatakan: “…sebenarnya pendapat ulama ini memiliki dasar yang kuat, namun sayang, dia berafiliasi pada aliran (mazhab) yang berbeda dengan kita.”
Mendengar ungkapan salah satu dari kami yang demikian, Prof. Quraish buru-buru mengingatkan. “Mestinya pernyataannya dibalik. Walaupun imam ini beraliran (mazhab) yang berbeda dengan kita, namun kita bisa membaca bahwa dalam kasus ini pendapatnya memiliki dasar yang kuat,” jelas penulis Tafsir Al-Mishbah ini.
Saya juga menandai bahwa Prof. Quraish ingin menanamkan sikap disiplin dan keseriusan dalam belajar kepada mahasiswa yang mengikuti kuliahnya. Kesimpulan ini saya ambil berdasarkan suasana di kelas yang saya alami.
Pada pertemuan awal (semacam kontrak belajar), Prof. Quraish mewanti-wanti. Pada setiap perkuliahan, maksimal lima menit setelah dosen masuk ruangan, pemakalah yang mendapat tugas presentasi harus segera memulai diskusi. Setelah presentasi dianggap cukup memberikan pengantar materi diskusi, audiens harus memberikan tanggapan. Demikian seterusnya.
Apabila dalam jeda waktu maksimal lima menit diskusi vakum, tidak terjadi dialog ilmiah, maka Prof. Quraish akan keluar ruangan. Hal ini ditegaskan di awal pertemuan.
Dari model perkuliahan yang dibangun Prof. Quraish, saya menangkap kesan, seorang mahasiswa ketika mengikuti perkuliahan harus memiliki kesiapan menerima atau menanggapi materi yang dikaji. Dalam ingatan saya, Prof. Quraish juga tidak mengizinkan adanya mahasiswa “pendengar” berada di dalam ruang kuliah.
Sebagai seorang intelektual Muslim, Prof. Quraish memiliki riwayat pendidikan keislaman yang panjang. Belajar keislaman sejak usia anak-anak di keluarga, nyantri di Malang, hingga akhirnya kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir.
Membaca salah satu karyanya, Tafsir Al-Mishbah, misalnya, kita akan mendapatkan penjelasan bahwa daftar bacaan Prof. Quraish, terutama dalam literatur karya tafsir al-Quran, sudah sangat kaya. Dalam mengulas makna al-Quran, Prof. Quraish ibarat telah berselancar dari ulasan satu ulama tafsir ke ulama yang lain.
Dari sini, saya menjadi berfikir. Agaknya, karena faktor kekayaan referensi dan kedalaman analisis inilah yang membuat mufasir kontemporer Indonesia ini memiliki pandangan keislaman yang moderat, dan santun dalam menyikapi problem-problem masyarakat Islam Indonesia dewasa ini.
Gelisah terhadap Umat yang Terbelah
Menurut hemat saya, Prof. Quraish prihatin dengan perpecahan di tubuh umat Islam yang terus terjadi hingga saat ini. Dalam konteks ini, saya melihat Prof. Quraish secara serius juga menaruh perhatian dalam mengupayakan adanya dialog antar kelompok Islam, khususnya antara Sunnah dan Syiah.
Melalui buku Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? (2007), Prof. Quraish mengajak umat Islam, terutama masyarakat terdidik, agar jangan hanya fokus kepada perbedaan dari kedua belah kelompok Islam (Sunnah dan Syiah) ini. Dengan mengkaji konsep pemikiran dari keduanya, kita akan mengerti bahwa masing-masing juga memiliki kesamaan.
Dan, bukankah keduanya lahir dari rahim ajaran Islam?
Konsistensi seorang Quraish Shihab dalam mendakwahkan persatuan di tengah umat Islam juga ditunjukkan dengan kesediaan menulis kata pengantar untuk Buku Putih Mazhab Syiah, yang diinisiasi oleh Tim Ahlul Bait Indonesia (2012).
Dari judul kata pengantar yang ditulis Quraish Shihab, “Kesefahaman, Urat Nadi Persaudaraan Islam”, tergambar ajakan Prof. Quraish kepada umat Islam untuk mengedepankan persatuan, persaudaraan. Prof. Quraish juga hadir untuk memberikan orasi ilmiah pada forum peluncuran buku tersebut.
Prof. Quraish melihat, perbedaan akan selalu ada di dalam rumus kehidupan manusia. Tapi, meskipun kita berbeda sesungguhnya masih memungkinkan untuk bekerja sama, dan saling menguatkan. Terlebih lagi ketika yang berbeda pandangan adalah sesama kelompok Muslim.
Dalam pandangan Prof. Quraish, bukankah Sunnah dan Syiah sama-sama lahir dari Islam yang satu? Maka dari itu, dialog kedua kelompok untuk saling memahami bisa ditempuh. Tujuannya, untuk mengurangi potensi perpecahan.
Penting saya katakan di sini, Prof. Quraish tidak sedang ingin mengajak salah satu kelompok menyeberang ke kelompok lainnya. Hal terpenting adalah adanya saling menghargai sebagai sesama umat Nabi Muhammad. Karena, dalam pandangan Quraish Shihab, menghargai pendapat orang lain bukan berarti membenarkannya.
Jadi, dengan melihat kesamaan-kesamaan dalam pemikiran dan ajaran (tauhid dan konsep kenabian) kedua belak pihak, umat Islam diajak untuk tetap bersatu. Paling tidak, jangan sampai menambah jumlah korban yang jatuh dari kedua belah pihak.
Quraish Shihab Bukan Syiah
Tidak sekali Prof. Quraish menegaskan bahwa dirinya bukan penganut Syiah. Iya, Quraish Shihab bukan seorang penganut aliran Syiah. Penegasan ini, antara lain, terdapat dalam pengantar Buku Putih Mazhab Syiah. Jejak (video) dari pernyataan Prof. Qurasih juga bisa dengan mudah Anda temukan di media jejaring sosial.
Namun, masyarakat kita memang berbeda. Masih banyak orang yang memilih berbisik-bisik sambil bergosip tentang keadaan orang lain. Padahal, mereka sebenarnya bisa mengakses langsung, atau mendengar penjelasan dari orang yang mereka gunjing. Begitulah, bergosip (hoax) terasa lebih sedap, ketimbang membicarakan persoalan yang faktual.
Apalagi bila motif dari pembicaraan memang bukan ingin menemukan kebenaran, tetapi karena sejak semula sudah dilandasi rasa benci. Ingin melihat orang lain jatuh. Maka, masalahnya menjadi lain. Tetapi, yang demikian tentu bukan cermin dari perilaku seorang terdidik.
Tidak hanya Prof. Quraish, nasib yang sama (dituduh sebagai penganut Syiah) juga dialami oleh KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama saat ini. Dalam sebuah forum dialog, seorang audiens berbicara, menuding alumnus Universitas Umm al-Qura Mekkah, Arab Saudi, ini penganut dan pembela Syiah. Di forum itu juga, Kiai Said membantahnya.
Tetapi apakah para penuduh itu kemudian berhenti? Ternyata tidak. Mereka yang menuduh, tetap menebar kabar. Mereka yang bergosip, terus saja berbisik. Bahkan dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur pada Agustus 2015 lalu, isu ini juga menjadi dagangan laris manis untuk menjatuhkan nama Kiai Said.
Memang, baik Prof. Quraish maupun Kiai Said keduanya merupakan sosok ulama yang moderat. Kiai Said bahkan terbiasa keluar masuk forum dialog antar aliran, dan piawai menjelaskan pemikiran berbagai mazhab. Apakah lantaran hal ini, orang yang tidak mengerti kemudian menganggap Prof. Quraish dan Kiai Said membela kelompok Syiah?
Lalu, apakah ketokohan KH Said Aqil Siroj di kalangan warga Nahdliyin dan umat Islam Indonesia belum cukup menjadi perisai bagi tuduhan sebagai penganut Syiah? Bukankah seorang Quraish Shihab tenyata juga memiliki kedekatan dengan para kiai pesantren di Jawa?
Pada akhir 2016 lalu, jejaring media sosial dipenuhi dengan liputan safari Prof. Quraish ke kediaman tiga kiai sepuh. Di Rembang, Jawa Tengah, mantan Menteri Agama RI (1998) ini mengunjungi sahabatnya, KH Ahmad Mustofa Bisri, pimpinan Pesantren Raudlatut Thalibin, dan KH Maimoen Zubair, pimpinan Pesantren Al Anwar Sarang.
Dari Jawa Tengah rombongan Prof. Quraish bertolak ke Jombang, Jawa Timur. Alamat yang dituju adalah kediaman KH Salahuddin Wahid (Gus Solah), pimpinan Pesantren Tebuireng.
Namun inilah wajah umat Islam di Indonesia. Di internal umat Islam diwarnai saling menuduh. Seorang kiai yang kesehariannya mengajar santri, dikatakan sesat (berbuat bid’ah). Celakanya, si penuduh adalah orang yang tidak mau belajar agama.
Terlepas dari pendapat (keyakinan) Anda, saya melihat, upaya dialog pemikiran Sunnah-Syiah yang dilakukan oleh Prof. Quraish Shihab muncul dari kepedihan melihat kondisi umat Islam yang hingga dewasa ini masih bertengkar dengan saudara sendiri. Kalau tidak dicegah, bagaimana akan ada perubahan ke arah yang lebih baik?
Baca juga:
Di Balik Silaturahmi Syekh Al-Azhar dan Paus