Kamis, Maret 28, 2024

Proklamasi Kemerdekaan, Belanda, dan NKRI

Dr. Indra Iskandar
Dr. Indra Iskandar
Setjen DPR RI

Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 mengejutkan Belanda. Apalagi ketika Bung Karno menyatakan bahwa wilayah Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Belanda menolak klaim tersebut. Karena negara baru yang namanya Indonesia, pikir Belanda, tidak mempunyai jejak sejarah di luar Pulau Jawa. Indonesia, bagi Belanda, kalau pun mau merdeka, wilayahnya hanya terbatas di Pulau Jawa.

Belanda, misalnya, merasa telah “berjuang keras” untuk memiliki Maluku. Untuk menguasai Pulau Maluku, pulau kaya rempah-rempah yang harganya lebih mahal dari emas saat itu di Eropa, Belanda “berperang” dengan Portugis, Spanyol, dan Inggris. Spanyol dan Portugis kalah melawan angkatan laut Belanda yang terkenal kuat. Tapi melawan Inggris yang terkenal sebagai negeri yang punya angkatan laut paling kuat di dunia, Belanda terpaksa harus melakukan negoisasi — terutama untuk menguasai pulau-pulau penghasil pala dan cengkeh.

Salah satu pulau penghasil Pala yang dikuasai Inggris saat itu, abad ke-6, adalah Pulau Run — pulau kecil yang merupakan bagian dari Kepulauan Banda. Karena Belanda ingin menguasai sepenuhnya Kepulauan Maluku yang kaya rempah tersebut, Belanda akhirnya menyerahkan Pulau Manhattan di Amerika yang dikuasainya kepada Inggris untuk ditukar dengan Pulau Run. Inggris bersedia karena posisi Pulau Manhattan sangat strategis, sebagai pintu masuk ke Amerika.

Kini kita lihat di Pulau Manhattan berdiri kota New York yang sangat terkenal di dunia. Bagaimana Pulau Run? Belanda hanya ingin mengeruk kekayaan alam Pulau Run. Lalu meninggalkannya. Pulau Run hingga kini nyaris tak berkembang. Tetap miskin dan terisolir.

Untuk kepentingan monopoli rempah-rempah dari Maluku inilah Belanda membentuk perusahaan dagang yang sangat terkenal: VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Semacam badan usaha milik negara (BUMN). VOC mengalami puncak kejayaan pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18.

Penguasa dan kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara berhasil dikuasai VOC. Jalur perdagangan yang dikendalikan VOC menyebar luas dari Amsterdam, Tanjung Harapan (Cape of Good Hope, Afrika Selatan), India, hingga Papua. Sebagai pusat administrasi VOC, Batavia menjadi kota besar dan dibanjiri penduduk dari luar Batavia. Setelah VOC runtuh, Batavia — kini Jakarta — menjadi pusat pemerintah kolonial Belanda.

Demikianlah latar belakang mengapa Belanda merasa “memiliki” Maluku. Bagi Belanda, Kepulauan Maluku bukan Indonesia-nya Soekarno-Hatta. Itulah sebabnya Amsterdam kaget. Karena tetiba para founding fathers Indonesia, mengklaim Maluku sebagai bagian wilayah Indonesia.

Hal yang nyaris sama deng kasus Maluku, Belanda juga merasa mempunyai Sumatera. Belanda, misalnya, merasa telah bersusah payah merebut Sumataera Barat dan wilayah sekitarnya, dengan menundukkan kerajaan- kerajaan kecil di wilayah tersebut. Tiba- tiba, bangsa Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya itu, menganggap Sumataera bagian dari wilayahnya.

Dengan background seperti itulah, Belanda tidak mengakui kedaulatan Indonesia yang luasnya terbentang dari Sabang sampai Merauke. Belanda pun ingin kembali menjajah Indonesia. Untuk masuk ke Indonesia setelah diusir Jepang, Belanda “membonceng” tentara Sekutu — pemenang Perang Dunia II — yang hendak melucuti tentara Dai Nippon.

Ketika menjejakkan kaki di Surabaya, November 1945, Belanda makin terkejut. Tentara Rakyat Indonesia ternyata mampu melawan — bukan hanya Belanda, tapi juga Inggris. Di situlah hebatnya pejuang Indonesia. Berani melawan Inggris, bahkan berhasil membunuh komandan tentara Inggris berpangkat jenderal. Yaitu Brigjen Aubertin Walter Sothern Mallaby. Terbunuhnya Mallaby pada peristiwa Surabaya ini, menjadikan Inggris sadar bahwa Indonesia memang besar. Rakyatnya bertekad untuk merdeka dari penjajahan Belanda.

Secara politik internasional pertempuran 10 November 1945 dampaknya sangat besar. Inggris yang sangat berpengaruh terhadap PBB menyadari keinginan kuat bangsa Indonesia untuk merdeka. Diam-diam Inggris pun simpati pada perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Inggris kemudian, melalui PBB membuka jalan bagi “internasionalisasi” perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Ini terjadi karena Inggris tidak begitu saja percaya pada klaim Belanda yang ingin menduduki kembali Indonesia; Belanda saat itu masih menganggap Indonesia sebagai wilayah kekuasaannya. Inggris sudah tahu sendiri, betapa negeri yang baru merdeka ini punya tentara dan gerilyawan yang gagah berani.

Artinya, Inggris mengakui eksistensi Indonesia yang baru tiga bulan memproklamirkan kemerdekaannya — meski London secara formal belum mengakui Indonesia sebagai negeri merdeka dan berdaulat seperti halnya Mesir, Saudi Arabia, Siria, Turki, Palestina, Irak, Iran, Yaman, dan Afghanistan.

Salah satu momen penting internasionalisasi politik kemerdekaan Indonesia adalah perlawanan sengit Indonesia terhadap serangan Belanda di Yogyakarta, yang terkenal dengan peristiwa Agresi Belanda kedua, 19 Desember 1948. Saat itu, Bung Karno dan Bung Hatta ditahan Belanda.

Perang gerilya berlangsung sengit sampai akhirnya muncul gagasan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Kolonel Soeharto yang saat itu Komandan Brigade X/Wehrkreis III Yogyakarta — untuk melakukan serangan umum 1 Maret 1949 secara habis-habisan terhadap Belanda. Benar apa kata Pak Harto, serangan umum 1 Maret 1949 ini, tujuan utamanya untuk membuka mata dunia internasional bahwa kemerdekaan Indonesia dan eksistensi negara Indonesia benar-benar ada.

Berhasil. Masyarakat Internasional akhirnya menekan Belanda dan Indonesia agar menghentikan peperangan dan melakukan perundingan. United Commission for Indonesia (UNCI) meminta kedua negara ke meja perundingan, 14 April 1949 di hotel Des Indes, Harmoni, Jakarta (sekarang mall Duta Merlin).

Delegasi Indonesia dipimpin Mohamad Roem dan Belanda dipimpin Herman van Roijen. Setelah melalui perundingan panjang, pada 7 Mei 1949 dicapai persetujuan “Roem-Royen Statements” atau Perundingan Roem-Royen (PRR). Hasil PRR, inilah yang membuka jalan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag yang berujung pada pengakuan kedaulatan Indonesia.

KMB berlangsung 23 Agustus hingga 2 November 1949. Pesertanya: Delegasi Republik Indonesia dipimpin Bung Hatta; delegasi Belanda dipimpin Henricus van Maarseveen, dan UNCI sebagai mediator dipimpin Thomas Kingston Critchley (wartawan Australia). Di samping itu, KMB juga dihadiri Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO). BFO hadir mewakili berbagai negara “boneka” Belanda di kepulauan Indonesia. Mereka bagian dari RIS. Hasil KMB: Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.

Pengakuan kedaulatan itu ditandatangani oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. AM . J.A Sassen, dan Mohamad Hatta. Meski sudah mengakui kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka, bentuk Indonesia masih negara serikat (RIS).

Dengan bentuk RIS, konflik internal mudah pecah. Antek-antek Belanda pun masih terus berusaha memecah-belah RIS. Tapi di sisi lain, keinginan untuk menyatukan “negara-negara bagian” menjadi NKRI, kuat sekali. Terutama di Parlemen. Muhamad Natsir, pimpinan Partai Masyumi, mencium gelagat tersebut.

Natsir pun menggaungkan “Mosi Integral” dalam sidang Parlemen, 3 April 1950. Mosi Integral Natsir mendapat dukungan luas. Parlemen pun menyetujuinya. Sejak itu, Indonesia kembali menjadi NKRI. Saking senangnya, Bung Hatta menyatakan, Mosi Integral Natsir adalah proklamasi kedua kemerdekaan RI.

Kenapa bapak-bapak bangsa lebih memilih NKRI ketimbang RIS? Jawabnya panjang.
Bagi Indonesia — seperti dikatakan Bung Karno — pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Marauki adalah niscaya. Niscaya karena ada latar belakang sejarahnya. Menurut Bung Karno, masyarakat Nusantara di zaman Sriwijaya dan Majapahit sudah memenuhi syarat untuk disebut sebagai sebagai “nationale staat atau negara bangsa”.

Keberhasilan Sriwijaya mempersatukan Nusantara terlihat dalam berbagai prasasti yang ditemukan di sekitar Palembang yang bertahun 605-686 Masehi. Sedangkan jejak Majapahit dalam mempersatukan Nusantara terlihat dalam Sumpah Palapa, tahun 1336 Masehi.

Sumpah Palapa seperti tercatat dalam kitab Pararaton berisi tekad Patih Kerajaan Majapahit, Gadjah Mada, untuk berpuasa sampai seluruh kepulauan Nusantara — yang wilayahnya mencakup hampir seluruh Asia Tenggara — bersatu di bawah panji Majapahit. Sejarah mencatat Gadjah Mada berhasil menunaikan sumpahnya.

Apa hubungan antara Sriwijaya dan Majapahit dengan pembentukan NKRI? Muhammad Yamin, dalam pidatonya di sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), 29 Mei 1945, menjelaskan bahwa NKRI merupakan kelanjutan dari dua negara sebelumnya, yaitu Sriwijaya dan Majapahit.

Dalam Pidato 1 Juni 1945 juga, Bung Karno menjadikan Sriwijaya dan Majapahit sebagai sumber inspirasi. Bung Karno mengatakan: Kita, bangsa Indonesia, dua kali mengalami dan merasakan suasana nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit.

Pernyataan Yamin dan Bung Karno menggambarkan secara jelas bahwa Sriwijaya dan Majapahit memberikan kekuatan kepada para pendiri bangsa untuk mengobarkan semangat dalam rangka membentuk NKRI. Kedua kerajaan itu menjadi sumber inspirasi untuk mempersatukan bangsa Indonesia dari zaman pra kemerdekaan sampai zaman kemerdekaan, bahkan hingga sekarang. Di titik itulah Belanda tidak merasakan detak jantung dan nafas bangsa Indonesia yang menginginkan kemerdekaan dan kedaulatan NKRI.

Bagaimana sekarang? Ya, saat ini pun ada upaya kelompok tertentu yang ingin merusak NKRI. Kelompok tersebut merongrong NKRI, salah satunya, melalui platform keagamaan. Mereka hendak mengganti Pancasila dan mendirikan negara dalam bentuk yang mereka kehendaki sesuai keyakinan agamanya.

Akhirnya, menegakkan NKRI sampai kapan pun harus kita perjuangkan. Banyak faktor internal dan eksternal yang merongrong NKRI. Dalam memperingati kemerdekaan Indonesia yang ke 76 ini, kita harus bertanya pada diri sendiri — apa yang telah kita sumbangkan buat NKRI? Pinjam kata-kata Kennedy, jangan kau tanya apa yang bisa kau dapatkan dari negerimu. Tapi tanyakan apa yang bisa kau berikan untuk negerimu.

Dr. Indra Iskandar
Dr. Indra Iskandar
Setjen DPR RI
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.