Selasa, April 16, 2024

Prof Bahtiar dan Visi Internasional Muhammadiyah

Ahmad Imam Mujadid Rais
Ahmad Imam Mujadid Rais
Lembaga Hubungan dan Kerja Luar Negeri PP.Muhammadiyah. Master of International Relations di The University of Melbourne, dan Penikmat Film

Setelah di ICU (Intensive Care Unit) selama kurang lebih 3 hari, Prof Bahtiar Effendy (BE) dipanggil ke haribaan-Nya. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Perasaan saya begitu campur aduk ketika membaca berita duka yang tersebar di grup WhatsApp (WA). Terbit rasa sesal karena tidak sempat menjenguk beliau.

Saat mendengar berita Prof BE masuk ke Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih menjelang keberangkatan saya ke Yogyakarta (18/11/2019) untuk menghadiri Konsolidasi Nasional Muhammadiyah dan Milad Muhammadiyah, saya berpikir sebagaimana yang sudah-sudah, mungkin beliau disuntik vitamin C saja.

Bila demikian, biasanya beliau tidak mau dijenguk. Karena setelah kembali membaik, beliau beraktifitas lagi seperti biasa. Maka, saya berencana menjenguknya ketika kembali dari Yogya. Namun, rencana tinggal rencana. Kepergiannya merupakan kehilangan besar bagi Muhammadiyah dan dunia Intelektual Muslim di Indonesia.

Internasionalisasi Muhammadiyah

Saya tidak pernah mengikuti mata kuliah perkuliahan resmi di tingkat universitas yang diampu oleh Prof BE. Saya justru banyak interaksi dengan beliau dalam beberapa kesempatan yang berharga. Karena justru dari suasana ringan dan hangat itulah saya banyak mendapat ilmu dan pelajaran dari sosok yang bersahaja dan humoris ini.

Perkenalan saya dengan Prof BE dimulai sejak saya bergabung di Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP.Muhammadiyah (2005-2010). Saat itu saya masih mendapat amanah sebagai Ketua Umum PP. Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM, kini IPM). Beliau sebagai ketua dan saya sebagai wakil sekretaris.

Salah satu yang berkesan selama beraktifitas di LHKP adalah saat bersama beliau menggagas pertemuan dan silaturahmi para politisi Muhammadiyah tahun 2005 di Hotel Haris, Tebet. Termasuk perdebatan menarik di antara pengurus Lembaga Hikmah di saat coffee break acara mengenai perlu tidaknya melahirkan partai baru (tentu saja agenda pembahasan partai ini tidak masuk bahasan dalam acara silaturahmi Lembaga Hikmah tersebut).

Gagasan beliau mengenai amal usaha politik dipandang sangat penting (saya kira gagasan beliau terinspirasi dari Khittah Ponorogo tahun 1971 yang memandang bahwa politik itu penting. Namun dalam implementasinya memerlukan badan yang terpisah dari Muhammadiyah). Namun, seingat saya beliau kurang setuju kalau kemudian anak-anak Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) mendirikan partai baru. Selain itu, sesekali saya juga ikut mendampingi beliau ke beberapa wilayah untuk menghadiri seminar yang diselenggarakan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah bekerja sama dengan Lembaga Hikmah.

Ketika saya bekerja sebagai Tenaga Ahli DPR tahun 2009 membantu Mas Hajriyanto Y. Thohari di Komisi I, dan kemudian menjadi Wakil Ketua MPR RI 2009-2014, saya baru tahu kemudian kalau Mas Hajri juga meminta Prof Bahtiar sebagai konsultan ahli dalam tim. Sehingga setiap ada hal penting terkait pembahasan situasi nasional atau penyusunan pointers makalah/paper selalu berkonsultasi kepada Prof Bahtiar. Pekerjaan inilah yang kemudian mendorong saya semakin intens berinteraksi dengan beliau.

Sebulan sekali paling tidak kami bertemu. Menariknya, kami jarang bertemu di kompleks DPR/MPR Senayan. Seringnya kami malah ke ruangan beliau di FISIP, UIN Syarif Hidayatullah, di Ciputat. Kadang sesekali janjian di sebuah café di sayap kiri Plaza Senayan atau sambil makan di sebuah resto padang di dekat parkiran Plaza Senayan.

Biasanya, saya akan menuliskan poin-poin singkat dalam paragraf pendek untuk kemudian dikirimkan kepada Prof BE via email atau Blackberry Message (BBM). Beliau nanti akan membaca dan memberi masukan-masukan. Biasanya beliau mengerjakannya di Blackberry di tengah perjalanan dari rumah ke kampus UIN atau dalam perjalanan pulang dari kampus.

Ketika saya studi S2 ke Australia, Prof Bahtiar menyempatkan untuk menghubungi saya ketika berkunjung dua kali ke Melbourne pada Desember 2013 dan Februari 2014 untuk membangun kerja sama dan membuka jaringan antara UIN Syarif Hidayatullah dengan kampus-kampus di Australia. Salah satunya adalah dengan Deakin University.

Saya juga sempat menyarankan untuk membuka kerja sama dengan kampus tempat saya kuliah di The University of Melbourne. Tapi beliau tidak mengiyakan. Saya menduga beliau sudah punya list prioritas kampus yang akan beliau hubungi dan ajak kerja sama. Selain itu, mungkin beliau sudah punya kontak pribadi di Deakin University melalui Indonesianis Damien Kingsbury yang saat itu mengajar di sana.

Dalam kedua kunjungan tersebut saya sempat menemani beliau berjalan-jalan di jantung kota Melbourne. Beliau sempat memberikan ceramah singkat atau komentar atas presentasi Mas Badrus Soleh, dosen UIN Syarif Hidayatullah yang sedang studi S3 di Deakin, di ruang seminar Victoria University di City Campus. Kami sempat menikmati Pho Vietnam di Lygon Street, tempat mantan Presiden AS, Bill Clinton, mampir dua kali untuk menikmati Pho Vietnam.

Sejak semula saya melihat almarhum memiliki cita rasa kuliner yang tinggi. Saya yang sudah tinggal hampir setahun di Melbourne malah belum pernah coba. Kemudian Prof BE mengajak kami mampir ke Dymock, sebuah gerai toko buku terbesar di Australia. Niat saya saat itu hanya menemani beliau lihat-lihat buku.

“Pilih saja is! Cari buku-buku referensi untuk kuliahmu. Nanti saya yang bayar”

Saya sebenarnya tidak enak. Namun, karena beliau sudah instruksi, akhirnya saya mengambil dua buku ringan berjudul All that Matters Political Philosophy karya Johanna Oksala dan The Basics International Relations karya Peter Sutch dan Juanita Elias seharga masing-masing AUD 12.99 dan AUD 29.95. Sebetulnya saya menemukan banyak buku bagus, namun harganya antara AUD 100-150. Tentu saja saya tidak mau aji mumpung. Saya tidak ingat beliau membeli buku apa saat itu.

Kami sempat mampir ke sebuah pusat perbelanjaan di Bourke Street. Beliau sempat lihat-lihat dan tanya-tanya topi pet produk asli Australia. Petugas saat itu mengatakan kalau ingin mendapat lebih banyak pilihan pet atau topi khas Australia, bisa langsung ke tokonya yang terletak di daerah Fitzroy. Akhirnya beliau beli satu topi pet berwarna biru muda. Sebelum membeli beliau sempat mencoba dan meminta tolong saya untuk foto dengan topi pet tersebut. Foto tersebut kemudian saya lihat dijadikan foto profil di FB, BBM, dan kemudian WA.

Sepanjang perjalanan keliling pusat kota beliau banyak bercerita mengenai perkembangan situasi politik nasional. Ketidaksetujuannya terhadap beberapa kebijakan pemerintah dan programnya yang banyak berlawanan dengan aspirasi rakyat. Pokok pikirannya demikian kritis dan mencerahkan. Tentu saja informasi mengenai situasi kebangsaan di tanah air memenuhi dahaga saya yang saat itu sedang di rantau.

Seusai Muktamar Muhammadiyah di Makassar tahun 2015, Prof Bahtiar meminta saya untuk membantu di Lembaga Hubungan dan Kerja Sama Internasional (LHKI) PP. Muhammadiyah. “Insyaallah, Prof” jawab saya singkat. Selama bisa membantu, insyaallah saya iyakan. Pada Muktamar tersebut diputuskan agenda untuk Internasionalisasi Muhammadiyah.

Menurut hemat saya, beban ini salah satunya berada di pundak beliau sebagai ketua yang membidangi luar negeri dan di LHKI. Sepanjang interaksi saya dengan Prof BE di Muhammadiyah, beliau memiliki komitmen yang tinggi untuk memberi yang terbaik untuk persyarikatan. Namun seringkali, karena masalah kesehatan, beliau urung untuk hadir rapat, diskusi atau kunjungan ke luar negeri.

Ketika saya bekerja di MAARIF Institute, dan beberapa kali saya skip tidak bisa hadir rapat atau mendampingi menerima tamu dari luar negeri, beberapa kali Prof Bahtiar mengingatkan.

“Anda bantu Muhammadiyah (LHKI), Is! Biar saja MAARIF sudah ada teman-teman lain yang urus”

Lain waktu saat saya mulai membantu Prof Din Syamsuddin (dilanjutkan Prof Syafiq A. Mughni) di kantor Utusan Khusus Presiden (UKP), beliau nyeletuk.

“Wah, Rais sudah keenakan di UKP”

Kalau sudah begitu, saya cengengesan saja. Mau jawab balik tidak enak (karena saya sudah ada alasan kenapa tidak hadir rapat saat itu). Selain itu, saya ingin menghormati beliau. Begitulah, celetukannya kerap kali tajam namun diiringi dengan tawanya yang khas, membuat orang yang dikomentari malah tertawa bersama.

Saat Prof Din hendak mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ulama dan Cendekiawan Muslim Dunia tentang Wasatiyyat Islam, di Bogor, 1-3 Mei 2019, kantor UKP mengadakan beberapa kali FGD di kampus-kampus Muhammadiyah yang mengundang banyak pemikir, ulama, dan cendekiawan. Tujuannya menyusun dokumen usulan Ulama dan Cendekiawan Muslim Indonesia mengenai Wasatiyyat Islam yang akan disampaikan pada KTT tersebut.

Prof. Bahtiar termasuk yang diundang setiap kali FGD. Selain beliau ada Prof. Azyumardi Azra, Mas Hajriyanto, Mas Abdul Muti, K.H. Marsudi Syuhud, Mas Sudarnoto, dan beberapa yang lain. Beliau aktif memberi masukan dan saran. Salah satunya yang saya ingat adalah di FGD ketiga di Kampus UHAMKA mengenai latar belakang situasi dunia yang mesti dimasukkan dalam bab pendahuluan. Saat itu, dalam draft pengantar pendahuluan lebih banyak menyebutkan tantangan yang dihadapi Indonesia. Padahal acara tersebut adalah acara tingkat dunia, maka tantangannya haruslah tantangan yang dihadapi dunia.

“Jangan sampai nanti Syaikh bin Bayah (ulama dunia yang tinggal di UEA, yang rencananya diundang hadir ke KTT Ulama dan Cendekiawan Muslim Dunia) mengernyitkan dahi. Jangan Indonesia sentris” katanya saat itu.

Bukan gaya beliau kalau mengkritik tanpa solusi. Kemudian beliau menyebut sebuah buku berjudul The Common Good karya Robert Reisch, mantan Menteri Keuangan di periode Bill Clinton. Menurut Prof BE, tantangan global perlu dirumuskan lebih strategis.

“Kalau hanya mengulang kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, (itu) kurang. Ada satu buku, The Common Good, karya Robert Reisch, bekas Menkeu Clinton. Dia bagus merumuskan tantangan global merujuk tantangan amerika: hilangnya common good atau good of common. Bagus sekali abstraksi dari dia. Ini muncul di mana-mana. Di Eropa Barat, dia rasakan di Amerika. Ketidakadilan, kesenjangan itu juga tanda-tanda melemahya common good. Kalau itu dianggap sebagai persoalan besar yang dihadapi tidak hanya oleh dunia Islam, maka keinginan dan niat Pak Din untuk kerja peradaban, bisa lebih bersifat strategis. (Pandangan) Robert Reisch lebih sebagai seorang professor sehingga pandangannya agak jernih. Apakah kita masih punya common good, yang sifatnya common good. Solusi yang kita tawarkan membangkitkan lagi common good sebagai alternatif peradaban. Insya Allah masih belum banyak yang mengangkat masalah hilangnya common good.”

Usai diskusi tersebut saya kemudian mencari buku tersebut dan menambahkan poin-poin sebagaimana Prof. Bahtiar usulkan di bagian pendahuluan.

Ahmad Dahlan Chair

Perjumpaan terakhir saya dengan beliau secara fisik saat rapat Lembaga Hubungan dan Kerja Sama Luar Negeri PP. Muhammadiyah tanggal 18 September 2019. Beliau tampak letih namun masih semangat memimpin rapat. Praktis beliau banyak memberi arahan kepada beberapa pengurus Lembaga.

“Wahid (Ridwan) urus Filipina Selatan!”
“Yayah (Chisbiyah) biar urus Ahmad Dahlan Chair!”
“Rais, kamu fokus siapkan pernyataan sikap kalau ada peristiwa-peristiwa dunia!”

Selain itu kami membahas persiapan seminar internasional yang rencananya akan dihelat sehari setelah perayaan milad Muhammadiyah ke 107 yang rencananya akan menghadirkan Sultan Perlis, Malaysia, dan PCIM-PCIM di Kawasan Asia Tenggara. Namun, di kemudian hari seminar ini tidak terwujud karena satu lain hal.

Perhatian almarhum terhadap situasi global dunia, utamanya dunia Islam, begitu tinggi. Entah isu Palestina-Israel, Rohingya, Perang di Suriah, Yaman, hingga isu Uighur di Xinjiang. Beliau meminta saya mencarikan bahan tentang Perang Yaman atau tentang konflik di Suriah. Selain itu, beliau juga melakukan riset sendiri mencari bahan-bahan untuk menyusun pernyataan sikap tersebut. Bahan-bahan yang beliau peroleh kemudian dishare di grup WA LHKI atau diemail. Biasanya saya atau Mas Wahid akan mendraft pernyataan sikap tersebut.

Saya ingat di grup WA beliau pernah menyebut saya “Spesialis pernyataan sikap”. Saya kira beliau guyon saja. Karena rekan-rekan LHKI lain juga saling bantu dan back up menyusun konsep atau draft Pernyataan Sikap. Setelah beliau baca dan perbaiki, draft pernyataan tersebut akan dikoordinasikan ke PP (Ketua Umum Pak Haedar Nashir atau Sekretaris Umum Mas Abdul Mu’ti). Bila isunya begitu cepat dan memerlukan respon segera, sementara LHKI belum buat, biasanya Mas Mu’ti langsung mendraft sendiri pernyataan resmi sikap PP Muhammadiyah tersebut.

Salah satu pernyataan sikap yang cukup keras dan memantik perbedaan pandangan adalah pernyataan sikap mengenai nasib Rohingya yang mengalami persekusi. Saat itu, sebagai sesama warga ASEAN yang menganut prinsip non-interference, pemerintah Indonesia sedang mengupayakan diplomasi dan komunikasi dengan rezim di Myanmar untuk mencari solusi yang komprehensif di Rakhine State, Myanmar.

Lembaga bantuan kemanusiaan dari luar Myanmar (termasuk dari OKI) tidak diizinkan masuk oleh pemerintah Myanmar. Namun, aliansi lembaga kemanusiaan dari Indonesia (Forum Humanitarian Indonesia, termasuk Muhammadiyah Disaster Management Centre/MDMC di dalamnya) sudah mendapat lampu hijau dari Pemerintah Myanmar untuk masuk dan membantu warga Rohingya.

Ketika pernyataan sikap tersebut keluar, beberapa pihak agak khawatir akan memantik respon negatif atau perubahan sikap dari pemerintah Myanmar yang sudah akan membuka pintu untuk masuknya bantuan kemanusiaan dari Indonesia. Namun, Prof. BE santai saja. Saat pernyataan sikap mengecam Israel yang terus menerus mendzolimi Palestina keluar dan pilihan diksinya dirasa kurang keras, beliau komentar.

“Pokoknya kalau terkait Israel harus keras, Is!”

Saya kira beliau mewarisi kesadaran dan kepedulian yang tinggi kepada dunia Islam dari mentornya, almarhum Lukman Harun (Wakil Ketua PP Muhammadiyah mendampingi KH. A. R. Fakhrudin, penulis Potret Dunia Islam). Satu hal lagi yang menjadi mimpi beliau adalah Ahmad Dahlan Chair (ADC), sebuah pusat studi yang ditempatkan di beberapa universitas di luar negeri.

Program itu menjadi salah satu ujung tombak Internasionalisasi Muhammadiyah selain kehadiran PCIM-PCIM, pendirian sekolah di Melbourne dan Universitas Muhammadiyah di Malaysia. Untuk mewujudkan ini, beliau sudah berkomunikasi dengan Victoria University, Wellington, Selandia Baru, dan beberapa negara lain yang juga tertarik. Visi ini sangat reliabel dan sangat mungkin diwujudkan. Ide ini menarik karena menjadi pusat kajian mengenai Muhammadiyah, Islam dan Kawasan Asia Tenggara.

Peneliti asing yang minat melakukan kajian mengenai Muhammadiyah, Islam dan Asia Tenggara dapat melakukan riset dan exchange di pusat studi ini. Demikian pula peneliti atau guru besar dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah atau kampus lain dapat menjadi chair atau peneliti dan melakukan kemitraan dengan mahasiswa asing di kampus tersebut.

Namun kerap kali beliau mengeluh karena tidak ada dana untuk dimulainya program unggulan ini. Padahal anggaran yang dibutuhkan tidak besar untuk memulai. Draft Konsep sudah disiapkan oleh Mbak Yayah dan rekan dari LHKI sejak 2017. Namun melalui WA tanggal 12 Oktober 2019 beliau minta Mbak Yayah dan saya untuk menyederhanakan konsep yang sudah ada. Beliau minta disederhanakan dalam bahasa Indonesia dan Inggris yang akademik, tanpa kosa kata yang mendayu-dayu. Dalam WA-nya beliau berpesan:

“Mungkin diawali dengan kata: Ahmad Dahlan Chair is a center attached to universities outside Indonesia…”

“Noted, Prof” jawab saya singkat. Saat kesehatannya mulai memburuk, kami tidak sempat untuk mengirimkan ulang konsep mengenai ADC yang sudah ada.

Selamat jalan Prof BE, Semoga Allah menempatkanmu di surga jannatun’naim, mengampuni segala kesalahanmu dan menjadikan warisan ilmumu sebagai amal jariah yang tak putus-putus. Semoga mimpi-mimpimu mengenai Ahmad Dahlan Chair dapat diwujudkan di masa yang akan datang. Amin.

Jakarta, 3 Desember 2019

Ahmad Imam Mujadid Rais
Ahmad Imam Mujadid Rais
Lembaga Hubungan dan Kerja Luar Negeri PP.Muhammadiyah. Master of International Relations di The University of Melbourne, dan Penikmat Film
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.