Selama setahun bersama wabah Covid-19, hobi saya memperhatikan tingkah laku orang makin meningkat, karena banyak pemandangan unik terlihat, yang sebelumnya tak terpikirkan akan terjadi. Di tempat tinggal saya di daerah Cikarang, semua kompleks perumahan telah digembok pintu gerbang sebelah baratnya sejak setahun lalu, sehingga hanya ada satu pintu masuk dan keluar saja. Tertulis pada spanduk yang dipasang di pintu-pintu gerbang itu: “Untuk Mencegah Penularan Wabah Covid-19 Pintu Gerbang Ditutup”.
Lantaran penasaran dengan hubungan Covid-19 dan Pintu Gerbang Perumahan, saya mencari-cari literatur ilmiah modern yang kira-kira dapat menjelaskan. Hasilnya tentu Nol, karena ilmu kesehatan modern belum memberi kuota untuk model pencegahan ala komplek itu. Saya simpulkan kemudian, mungkin warga komplek berpikir wabah hanya datang dari sebelah barat, tidak dari sebelah timur. Maka hanya pintu sebelah barat yang digembok.
Kadang-kadang saya belanja ke supermarket, atau membeli makanan ke restoran di area ekslusif di kawasan Jababeka. Terlihat di situ orang-orang antri dengan tertib mengenakan masker, mencuci tangan dengan hand sanitizer. Rata-rata mereka datang mengendarai mobil yang juga parkir dengan tertib.
Bila saya sesekali belanja ke warung rakyat atau ke pasar rakyat, pemandangan yang bertolak belakang akan terlihat. Orang-orang antri dengan tidak tertib, mengenakan masker, tapi tidak tersedia hand sanitizer. Lantas berpikirlah saya, mungkin Prokes (Protokol Kesehatan) memang diciptakan untuk membedakan kelompok masyarakat ke dalam zona tertentu berdasarkan tingkat tertibnya. Kelompok masyarakat yang berbelanja dengan mengendarai mobil, adalah kelas tertib sadar Prokes. Sementara masyarakat umum yang pergi belanja tanpa mobil, tergolong tidak tertib sadar Prokes.
Kejadian paling menyenangkan terjadi di awal-awal kampanye masker oleh pemerintah. Saya bertemu teman di sebuah kedai soto dan memesan makanan masih menggunakan masker. Ketika menyuap makanan ke mulut, saya lupa melepas masker saya. Sebagai orang modern, ketakutan saya untuk melepas masker rupanya telah mengalahkan kesadaran saya bahwa orang makan harus membuka mulutnya tanpa masker.
Mulanya saya pikir, pemandangan aneh-aneh dan lucu-lucu seperti di atas hanya terjadi di kota-kota saja. Di ruang hidup modern dengan gaya hidup, kesadaran, dan tindak sosial yang modern. Tapi baru-baru ini saya telah meralat pikiran itu.
Saya ke sebuah kampung asli di daerah Pelalawan, Riau. Itu adalah kawasan datar yang didominasi oleh hamparan kebun sawit sejauh mata memandang. Ada sungai besar mengalir di sisi kota dan terus membelah beberapa kabupaten sebelum sampai jauh di pantai Timur, sungai Kampar yang bersejarah. Angin selalu berhembus dengan kecepatan paling rata-rata 10 km per-jam di situ. Pendek kata, andaikata tidak ada kebakaran lahan gambut, tinggal di situ membuat kita selalu merasa segar karena tidak pernah kekurangan udara.
Namun betapa herannya saya, ketika bertemu pemandangan yang tidak saya harapkan. Di sungai Kampar, selalu ada sampan ketinting yang melaju dikendarai warga asli yang bermukim di sepanjang pinggir sungai. Sampan-sampan ketinting itu masih sering digunakan sebagai transportasi rakyat, digerakkan dengan mesin kecil dan ada sebuah kemudi kayu sebagai alat navigatornya. Biasanya mereka bebas berbicara di perahu-perahu dengan volume suara standar.
Tapi sekarang lain, para penumpang dan pemilik perahu lebih banyak pakai isyarat saja karena masker yang mereka kenakan kadang membuat artikulasi vokal tidak jelas. Kalau dibuka, mereka khawatir tidak sesuai dengan anjuran departemen kesehatan yang menyuruh menegakkan Prokes sampai ke kampung-kampung. Jadi tawar menawar sekarang agak lebih bising, karena orang harus mengeraskan volume suaranya setiap kali akan berbicara agar dapat didengar jelas oleh lawan bicara.
Tidak juga pernah terbayang oleh saya sebelumnya orang akan ke kebun mereka mengenakan masker, walaupun seringkali di kebun itu mereka tidak bicara kepada siapa-siapa. Pemandangan itu mengingatkan saya pada sampul sebuah buku berisi laporan assessment tentang Prokes covid-19 di kalangan indigenous people di Bangladesh. Tersedia di situs resmi W.H.O untuk dijadikan pembanding menerapkan strategi pengendalian covid di kalangan komunitas asli.
Karena bukan dari kalangan terpelajar, yang betul-betul saya perhatikan dari buku itu adalah covernya itu: di pinggir jalan desa yang sepi, dua orang emak-emak (pinjam istilah 2019) menggelar alas bagi dagangan mereka berupa sayuran. Pakaian mereka yang natural mengingatkan saya pada perempuan kampung yang ke kebunnya, hingga terbitlah perasaan rindu. Sayangnya, latar indigenous yang harusnya alamiah itu, jadi rusak karena mereka mengenakan masker di tempat yang semestinya mereka menghirup udara bebas. Saya menduga, ibu tua itu sebenarnya terganggu dengan maskernya, tapi mereka takut pada pemerintah.
Rasa khawatir yang timbul akibat sugesti, memang telah menjadi fenomena umum sejak Prokes ditetapkan. Pemerintah ambil untung dari rasa khawatir itu. Tetapi masalah saya adalah, Prokes memiliki dampak terhadap cara-cara kita meresapi ruang dan keindahan. Jelas ada potensi estetika yang tergaduh di situ. Terutama bila kita melihat waktu pakai yang tidak proporsional seperti kasus di kebun tadi. Di level umum pun, Prokes telah menyeragamkan penampilan. Baju unik-unik, tubuh yang meriah, dan berbagai kreatifitas fashion lainnya, menjadi tidak berarti karena terintimidasi oleh sebuah alat baru kesehatan yang tanpa daya estetik sama sekali: masker.
Tanpa kita sadari, Prokes telah mendorong terjadinya intimidasi budaya melalui penyeragaman. Bukan hanya pada ranah fesyen, tetapi juga pada bahasa sebagaimana pada bahasa spanduk yang sekarang menghiasi semua tempat di seluruh kota. Sepanjang hari, kita membaca kalimat perintah yang sama di kota-kota dan dusun yang berjauhan: kenakan masker! cuci tangan! taati Prokes jaga jarak!
Betapa miskin bahasa, repetitif dan sangat menjenuhkan, karena baliho dan spanduk itu seakan-akan menganggap semua orang bebal, sehingga harus diperingatkan tiap sebentar. Lebih unik lagi, banyak pula ada baliho kegiatan yang mengumpulkan massa memakai slogan sama, misal: “Syukuran kemenangan cabup Sukron bin Sukur mendukung program Prokes cegah covid-19. ”. Sebagai background dari tulisan itu tampak gambar sekerumun pendukung massa mengepal tinju merapatkan barisan tanda semangat : Waspada covid! Jaga jarak!
Gagap Jadi Primitif
Prokes, karena dioperasikan oleh lembaga pengetahuan modern, membuat kita lupa bahwa pengetahuan itu ditake-over sepenuhnya dari era primitif. Tinjauan sejarah mengatakan pada kita, Prokes “isolasi” dan “karantina” pertama sekali disebutkan dalam Bible Leviticus, buku ke-3 Torah Jahudi yang menurut ilmuwan Bible ditulis pada abad 8 – 5 sebelum Masehi. Jika diandaikan praktek Isolasi dan Karantina telah diterapkan dua ratus tahun sebelum Leviticus itu ditulis, berarti usia Prokes yang kita pakai sekarang ini telah berumur tiga ribu tahun pada sekarang ini.
Kalau kita simak keterangan para peneliti atas isi Leviticus itu, tampak sekali tidak ada perubahan yang dilakukan ketika tekhnik isolasi itu diambil alih oleh lembaga kesehatan modern. Sebagai contoh adalah isolasi 7 hari dan 7 hari, sebagai tekhnik pengisolasian yang digunakan para rabbis Jahudi masa Leviticus itu, yang masih diterapkan dengan cara sama pada masa sekarang. Bedanya mungkin, para pendeta Jahudi masa dulu menggunakannya sebagai bagian dari kepercayaan agama (sakral), sementara lembaga modern menggunakannya dalam kerangka yang profan. Disinyalir, para pendeta dari abad pra-masehi itu juga telah memanipulasi praktek isolasi itu untuk mengangkat derajat dan wibawa mereka.
Pada masa yang lebih dekat, emperor Justinian 1 (482-565 C.E) juga mempraktekkan tekhnik karantina itu untuk mengendalikan wabah Bubon yang menyerang Konstatinopel Byzantium pada 542 C.E. Ia membuat serangkaian undang-undang karantina yang diskriminatif, yang intinya menjadikan orang- Yahudi, Arian, Montanis, dan homoseksual sebagai tersangka utama yang membawa wabah ke Konstatinopel[1]. Kesimpulannya, Prokes dalam prakteknya sejak dulu telah menjadi bagian dari proses politisasi oleh kekuasaan. Baik kekuasaan politik maupun kekuasan agama.
Kita kutip keterangan sejarah itu sedikit, sekedar menyegarkan ingatan, bahwa pada masa kini kita sedang mengamalkan tekhnologi kebudayaan yang berasal dari masa 3000 tahun sebelum Masehi. Mungkin itulah sebabnya mengapa banyak timbul kegagapan, ketika kita mempraktekkannya dalam masa internet ini.
Gejala tuna estetika dan unproporsional yang kita gambarkan di atas, hanyalah sedikit bukti betapa tidak mudah menjadi primitif di tengah ruang hidup yang sudah serba teraplikasi dan canggih. Patut dipertimbangkan, apakah bangunan budaya kecanggihan kita sekarang ini memiliki dimensi lain dari kehidupan primitif itu yang pasti berguna, bila kita ingin memakai pengetahuan primitif itu?
Saya menyangka, itulah yang tidak ada. Bangunan hidup modern dalam sejarahnya, beroperasi dalam wataknya yang dekonstruktif terhadap aspek-aspek primitif dari hidup manusia. Ilmu kesehatan modern ada di bagian inti operasi semacam itu, karena lewat lmu kesehatan modern lah segala pengetahuan primitif yang terdapat di dalam budaya indigenous kita dihancurkan, karena dianggap mitos, dan selanjutnya dihapuskan dari ruang hidup kita.
Kini, ketika Covid-19 datang untuk memaksa manusia modern menerima kembali tekhnologi pengendalian primitif itu, bingunglah kita. Karena tiba-tiba semua nilai hidup yang kita agungkan, tiba-tiba menjadi musuh kita. Apalah daya.
Cikarang, 24/04/2021
[1] Lihat Kelly Drews, The Brief History of Quarantine
Baca juga: