Rabu, April 24, 2024

Predator Seksual Mancanegara Mengancam Anak-Anak Kita

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.

Predator seksual dari mancanegara kini mengancam keselamatan anak-anak Indonesia. Seperti diberitakan media, sebagian pelanggan atau pengguna jasa layanan seksual anak laki-laki di bawah umur yang berhasil dibongkar aparat di daerah Bogor adalah wisatawan asing yang mengincar anak-anak di bawah umur untuk melayani hasrat seksual mereka yang menyimpang.

[Shutterstock]
[Shutterstock]
Di Batam, Kepulauan Riau, dan di Bali, misalnya, setiap pekan juga dilaporkan banyak pelancong asing yang menjadi penggguna jasa layanan seksual anak di bawah umur, baik anak perempuan maupun anak laki-laki. Sembari berwisata menikmati pemandangan alam dan rekreasi, sebagian pelancong dari sejumlah negara ditengarai memang sengaja datang dan mencari anak-anak di bawah umur yang terlibat dalam industri seksual komersial.

Pendek kata, di sejumlah daerah tujuan wisata, industri seksual komersial umumnya tumbuh subur bersamaan dengan makin berkembangnya arus wisatawan asing yang masuk ke daerah itu. Seperti dikatakan Thanh-Dam Truong (1992), salah satu daya tarik utama daerah tujuan wisata hingga ramai mengundang wisatawan adalah keberadaan jasa layanan seksual bagi para lelaki hidung belang yang ingin mengisi waktu liburannya untuk menikmati dan menyalurkan hasrat seksualnya.

Dalam industri pariwisata global, selama ini salah satu daerah tujuan wisata yang dikenal luas menawarkan jasa layanan seksual dan gaya hidup yang permisif, terutama anak-anak di bawah umur, adalah Bangkok, Thailand. Selama bertahun-tahun, Bangkok benar-benar memetik keuntungan dan devisa yang besar dari industri pariwisata yang bertumpu pada sektor prostitusi. Tetapi ketika di Bangkok kemudian booming penyebaran penyakit menular seksual dan HIV/AIDS yang massif, daerah tujuan wisata alternatif yang banyak diincar para wisatawan pencari jasa layanan seksual adalah Indonesia.

Di Changwat Chiang Rai, menurut catatan Departement of Public Health (2000), paling tidak ada 2.982 anak yang positif terinfeksi HIV/AIDS, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hingga pasca booming HIV/AIDS ini akhirnya banyak wisatawan kemudian mengalihkan daerah tujuan wisata ke Pulau Bali, Batam, Jakarta, dan daerah tujuan wisata lain yang menawarkan jasa layanan anak-anak, walau tidak terang-terangan.

Di mata para wisatawan mancanegara, sejumlah daerah tujuan wisata di Indonesia dikenal longgar dan merupakan surga bagi mereka yang ingin mencari layanan seksual anak-anak di bawah umur. Pulau Bali, misalnya, adalah daerah tujuan wisata yang konon merupakan salah satu jujugan para pedofil yang kerap memangsa anak-anak laki-laki di bawah umur untuk dieksploitasi secara seksual.

Beberapa tahun lalu, kita mungkin masih mengingat ketika di sejumlah gua di Karang Asem, Bali, ditemukan hampir seratus kerangka anak-anak yang ditengarai menjadi korban para pedofil, sengaja dibunuh dan kemudian disembunyikan di gua-gua itu untuk menghindari kecurigaan masyarakat dan aparat penegak hukum.

Bagi para pedofil dan predator seksual, pertimbangan utama mereka memilih daerah tujuan wisata adalah untuk menghindari kontrol dan sanksi hukum yang berat. Banyak wisatawan sengaja mencari daerah tujuan wisata yang penerapan hukumnya relatif longgar, dan bahkan yang memungkinkan untuk disiasati agar ulah mereka untuk mencari jasa layanan seksual, termasuk mengkonsumsi narkoba, tidak terendus aparat penegak hukum.

Dalam banyak kasus, keberadaan prostitusi anak di bawah umur dan kemudahan untuk mencari narkoba menjadi dua hal yang acapkali diburu wisatawan mancanegara yang ingin menikmati aktivitas pleasure yang menyimpang.

Di sejumlah negara di kawasan Asia, menurut Louis Brown (2005), para wisatawan dari mancanegara yang menjadi predator seksual umumnya lebih menyukai anak-anak atau remaja yang masih belia daripada pelacur dewasa karena berbagai alasan. Sementara itu, para germo dan mucikari juga menyukai anak-anak (baik laki-laki mau pun perempuan) sebagai anak buahnya karena selain penurut, anak-anak umumnya juga menjadi mesin penghasil uang yang sangat efektif: primadona yang disayang sekaligus diperas habis-habisan seluruh energinya untuk memperkaya para mucikari.

Sebagai seorang anak yang posisi tawarnya lemah ketika berhadapan dengan orang dewasa, anak-anak yang dilacurkan umumnya rentan dilanggar haknya dan sebagai anak mereka boleh dikata tidak punya masa depan untuk dapat tumbuh kembang secara wajar. Hidup di bawah tekanan kemiskinan dan kebutuhan ekonomi yang terus membebani keluarga orangtuanya, langsung maupun tidak langsung, membuat anak-anak malang ini terpaksa dan mudah terjerumus dalam industri seksual komersial.

Anak-anak laki-laki yang hidup serba kekurangan, sementara di saat yang sama memperoleh tawaran gaya hidup yang didukung kepemilikan uang yang banyak dari hasil menjajakan diri, dan kemudian bisa membeli berbagai barang yang sebelumnya sama sekali di luar bayangannya, tentu menjadi daya tarik tersendiri yang sulit ditolak.

Jika dicermati, puluhan atau seratus lebih anak laki-laki yang terjerumus menjadi pekerja seks komersial yang melayani para gay di kawasan Bogor umumnya berasal dari keluarga miskin. Bertahun-tahun hidup dalam kesengsaraan dan tiba-tiba datang kesempatan memperoleh penghasilan besar dari dunia prostitusi tentu menjadi godaan yang sangat sulit mereka abaikan.

Sebagian anak laki-laki yang bekerja di bawah pengelolaan AR, seorang bos dan germo di kawasan Bogor, kini telah diurus Kementerian Sosial dan dikirim ke Safe House Kementerian Sosial untuk memperoleh penanganan lebih lanjut, baik dari segi medis maupun sosial-psikologis.

Upaya menempatkan anak-anak terebut sebagai korban, dan bukan terdakwa, adalah langkah awal yang bijaksana. Namun demikian, untuk memastikan agar anak laki-laki yang menjadi korban para predator seksual ini tidak tumbuh menyimpang, penting untuk dipastikan agar mereka tetap dipantau dan difasilitasi perkembangan masa depannya.

Sesuai semangat yang terkandung dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, prinsip utama penanganan anak-anak yang menjadi korban dan dilanggar haknya adalah best interest of the child. Di luar anak yang menjadi korban, siapa pun orang dewasa yang menjadi pelaku pelanggaran hak anak haruslah memperoleh hukuman yang setimpal.

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.