Bagi banyak orang di seluruh dunia, Prancis adalah lambang keindahan dan kemewahan. Langsung terbayang gemerlap lampu di Menara Eiffel, keanggunan budaya di Paris, dan kenikmatan dari wine serta hidangan kulinernya. Namun, belakangan ini, nama Prancis justru muncul di pemberitaan global bukan karena pesonanya, melainkan karena masalah yang jauh lebih serius: utang nasionalnya.
Angka utang Prancis kini telah mencapai rekor yang mengejutkan, yaitu 3,4 triliun euro, atau sekitar 4 triliun dolar AS. Nilai fantastis ini bukan hanya sekadar angka, melainkan cerminan dari sebuah fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah negara tersebut. Peningkatan utang yang dramatis ini sontak memicu pertanyaan penting: apa dampak dari kondisi finansial ini bagi masa depan Prancis?
Untuk memahami masalah ini, kita perlu mengupas tuntas apa itu utang nasional. Secara sederhana, ini adalah total uang yang dipinjam oleh pemerintah suatu negara. Prosesnya dimulai ketika pengeluaran pemerintah—misalnya untuk proyek infrastruktur, layanan publik, atau program sosial—melebihi pendapatan yang dikumpulkan dari pajak. Kesenjangan ini disebut defisit anggaran. Untuk menutupi defisit tersebut, pemerintah harus meminjam dana, baik dari dalam maupun luar negeri. Jika praktik ini terus berlanjut dari tahun ke tahun, defisit yang menumpuk akan membentuk sebuah “gunung utang” yang semakin besar. Situasi inilah yang kini dihadapi Prancis, dan dampaknya bisa terasa di setiap sendi kehidupan masyarakat.
Pola defisit anggaran yang terus berulang ini bukanlah hal baru bagi Prancis. Sejak tahun 1973, Prancis tidak pernah sekalipun mencatatkan anggaran yang seimbang. Selama lebih dari lima dekade, pengeluaran pemerintah selalu melampaui pendapatan pajak.
Jika Anda penasaran dengan penyebabnya, jawabannya terletak pada model negara kesejahteraan yang sangat kuat di Prancis. Selama bertahun-tahun, pemerintah mengucurkan dana besar untuk menopang berbagai sistem sosial, mulai dari pensiun yang stabil bagi para lansia, gaji yang terjamin untuk jutaan pekerja publik, hingga layanan kesehatan dan tunjangan sosial yang komprehensif. Semua ini memang memakan biaya sangat besar, namun terasa terjangkau pada masanya. Mengapa? Karena saat itu suku bunga pinjaman sangat rendah—mendekati nol—dan pertumbuhan ekonomi yang solid memastikan aliran pajak terus meningkat. Kondisi ideal ini memungkinkan pemerintah untuk terus berbelanja dan mengelola utang dengan relatif mudah.
Namun, masa-masa itu kini telah berlalu. Beberapa tahun terakhir, serangkaian peristiwa global yang tidak terduga telah mengubah segalanya. Ketika pandemi COVID-19 melanda, pemerintah Prancis harus mengeluarkan dana darurat dalam jumlah besar untuk menopang bisnis dan melindungi lapangan kerja. Belum sempat pulih sepenuhnya, krisis lain datang: pada tahun 2022, Rusia menghentikan pasokan gas alam, menyebabkan lonjakan drastis pada biaya energi. Pemerintah kembali turun tangan untuk membantu, tetapi kali ini, kondisi pasar sudah berbeda. Suku bunga global telah merangkak naik, membuat biaya pinjaman menjadi mahal. Akibatnya, tumpukan utang Prancis pun membengkak dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya.
Secara matematis, kondisi utang Prancis saat ini sangat mengkhawatirkan. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)—ukuran total nilai barang dan jasa yang dihasilkan negara dalam setahun—telah melonjak hingga 115,6%. Angka ini jauh melampaui batas 60% yang ditetapkan oleh aturan Uni Eropa, menempatkan Prancis dalam posisi yang sangat genting, bahkan hampir dua kali lipat dari batas ideal.
Untuk memberikan konteks yang lebih luas, mari kita bandingkan posisi Prancis dengan negara-negara lain. Secara mengejutkan, Prancis bukanlah yang terburuk di Eropa. Yunani memegang rekor utang tertinggi dengan 152% dari PDB, diikuti oleh Italia dengan 138%. Prancis berada di urutan ketiga di antara negara-negara zona Eropa. Di luar Eropa, Amerika Serikat memiliki utang yang juga besar dalam angka absolut, tetapi rasionya terhadap PDB jauh lebih rendah, yaitu 19%. Namun, AS memiliki keunggulan yang tidak dimiliki Prancis: dolar AS merupakan mata uang cadangan utama di dunia, yang mempermudah mereka untuk meminjam uang. Prancis tidak memiliki hak istimewa tersebut.
Pertanyaan besar pun muncul: apa implikasi nyata dari tumpukan utang ini bagi kehidupan sehari-hari masyarakat Prancis? Jawabannya terletak pada bunga utang. Seperti halnya pinjaman pribadi, pemerintah harus membayar biaya tambahan atas uang yang dipinjamnya. Beban ini, yang dikenal sebagai biaya layanan utang, diperkirakan mencapai 67 miliar euro atau sekitar 79 miliar dolar AS tahun ini. Angka ini setara dengan mengalihkan sebagian besar dana pembayar pajak hanya untuk membayar bunga kepada para kreditor, meninggalkan sedikit sekali sisa dana untuk membiayai layanan-layanan esensial seperti sekolah, rumah sakit, atau infrastruktur publik. Dengan kata lain, utang ini secara langsung mengurangi kemampuan pemerintah untuk berinvestasi pada masa depan rakyatnya.
Kondisi utang yang memburuk ini menempatkan Perdana Menteri Prancis yang baru, Sebastian Lonu, di bawah tekanan yang luar biasa. Lonu, yang baru saja menjabat beberapa hari yang lalu, menggantikan France Beeru yang digulingkan setelah kalah dalam mosi tidak percaya. Beeru sebelumnya berusaha keras untuk menerapkan langkah-langkah penghematan—sebuah kebijakan yang bertujuan memangkas pengeluaran pemerintah demi menyeimbangkan anggaran. Namun, rencananya itu sangat tidak populer di mata publik dan parlemen. Akibatnya, ia ditolak dan terpaksa mundur hanya setelah sembilan bulan menjabat.
Kini, Lonu menghadapi tantangan yang sama, tetapi dengan pendekatan yang berbeda. Ia telah berjanji untuk membatalkan beberapa pemotongan tunjangan yang paling tidak populer. Namun, janji ini datang dengan risiko besar. Lonu harus menyusun anggaran baru yang meyakinkan untuk diajukan ke parlemen pada bulan Oktober, tanpa dukungan mayoritas yang jelas. Situasi ini membuat posisinya sangat rentan.
Sementara itu, tekanan tidak hanya datang dari parlemen, tetapi juga dari jalanan. Di luar gedung pemerintahan, ribuan, bahkan ratusan ribu, orang turun ke jalan untuk memprotes kebijakan penghematan. Demonstrasi massal ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah. Prancis kini terjebak dalam dilema yang rumit: pasar finansial menuntut reformasi yang berani untuk memotong utang, sedangkan rakyat—para pemilih yang kekuatan suaranya menentukan—bersikeras untuk melindungi tunjangan dan program sosial mereka. Meskipun Prancis belum terperosok ke dalam krisis ekonomi yang parah, ketegangan ini jelas sedang memuncak dan bisa meletus kapan saja.