Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925 – 30 April 2006). alineatv.com
Pramoedya Ananta Toer (Pram) selalu bersetia dengan kata. Lebih 14 tahun ia dibuang di Pulau Buru. Namun, dia melawan dengan kata-kata: “Tetralogi Pulau Buru”. Yang paling dan terus dituntutnya juga, seperti dikatakannya dalam wawancaranya dengan majalah Forum Keadilan pada Maret 2000, adalah 8 naskahnya yang dirampas dan dibakar.
Juga perpustakaannya yang ludes dibakar. Plus, beberapa naskahnya yang hilang di penerbit. Dia sungguh sangat menyesalkan itu dan tak pernah habis pikir atas itu. Bahkan, itu disebutnya sebagai penderitaan paling menyakitkan yang dia alami.
Begitu tingginya Pram meletakkan posisi kata, bahkan melebihi diri dan penderitaan yang ia alami. Baginya, “siapa yang mencuri kata-kata, berarti ia mencuri pikiran. Siapa yang mencuri pikiran, ia berarti mencuri hal hakiki dari manusia.”
Ketika Goenawan Mohamad (GM) di majalah Tempo 3-9 April 2000 “mengirim” surat terbuka padanya yang isinya begitu keras mengkritik sikap Pram yang tak menerima maaf, khususnya kaitannya saat itu dengan konteks pernyataan maaf dari alm. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang kala itu menjabat Presiden RI, Pram juga setia membalas. Meskipun, sebagaimana dalam balasannya, baginya itu hanya basa-basi tentang sesuatu yang sangat pahit sebenarnya baginya dan ia sudah telanjur tak percaya pada negeri yang ia sebut telah ia berikan segalanya dari dirinya untuk Indonesia.
Mungkin, sekali lagi, itu bentuk penghormatannya pada kata. Dalam balasannya itu, yang juga ditekankan olehnya adalah gugatannya atas haknya sebagai pengarang yang dirampas habis selama 43 tahun. “Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang,” gugatnya lagi.
Seperti ditegaskannya, kata-katanya juga adalah kata-kata hati, suara hatinya. Seperti dikatakannya, ia bukan pengikut komunisme atau apa pun juga. Melainkan Pram-isme. Tak peduli apa tafsir orang tentangnya. Bukan berarti pula bahwa Pram-isme selalu benar, bahkan dalam menilai dirinya sendiri. Namun, setidaknya ia selalu konsisten dengan dan mengikuti itu.
“Mungkin mengira saya pendendam dan mengalami sakit hati yang mendalam. Tidak. Saya justru sangat kasihan dengan penguasa yang sangat rendah budayanya, termasuk merampas semua yang dimiliki bangsanya sendiri,” tulis Pram dalam balasan suratnya.
Dalam wawancara pada April 2006, ia katakan bahwa, “Saya nggak punya dendam kepada siapa pun. Semua saya anggap tantangan. Saya menjawabnya dengan menulis. Itu yang saya bisa. Dan sekarang karya-karya saya sudah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa. Seluruh dunia, kecuali Afrika yang belum pernah diterjemahkan.”
Bagi Albert Camus dan juga Leon Trotsky, seni (kata di dalamnya) sesungguhnya adalah pemberontakan. Tendensi-tendensi pemberontakan seni merupakan prasyarat bagi lahirnya kreativitas. Dan pemberontakan seni lahir sebagai ungkapan perjuangan manusia untuk memperoleh hak-haknya yang dirampas oleh struktur yang berkuasa. Maka, seni berarti pembebasan bagi mereka yang tertindas. Inilah seni dalam kritisisme historis. Dan Pram di dalamnya. Bahkan, ia merasakan sendiri ketertindasan itu. Sesuatu yang kadang absen dari seseorang ketika melihat Pram. Mungkin karena tertutup oleh pembawaan Pram yang ketus.
Oleh karena itu, seperti ditulis Pram dalam lembaran-lembaran awal Bumi Manusia, baginya “menulis sastra adalah kewajiban pribadi dan kewajiban nasional.” Namun, upaya memperbaiki krisis yang melanda melalui seni menjadi mustahil dilakukan kecuali secara revolusioner. Sesuatu yang ditangkap kemudian oleh seniman Kiri, terutama di masa awal Revolusi Bolshevik di Rusia. Sehingga lahirlah “realisme sosialis”.
“Rasa” dan “seni” itulah yang membawa Pram, seperti dalam wawancaranya dan surat balasannya, tampak begitu keras kepala. Ia tak ingin basa-basi. Ia ingin gagasan dan sikap revolusioner. Bukan hanya untuknya dan para korban sepertinya, tapi untuk bangsa ini sendiri agar tak terus terjebak dalam keterpurukan yang diakibatkan rendahnya budaya jajaran pejabatnya.
“Saya menulis untuk mengagungkan kemanusiaan. Mesti menyingkirkan kekuasaan yang sewenang-wenang,” katanya dalam wawancara pada April 2006 itu. Keadilan dan kemanusiaan dalam wajahnya yang polos adalah ciri karya Pram sebelum Lekra. Karenanya, ia begitu keras dalam dua perkara itu. Apalagi yang mengenai diri, keluarga, dan utamanya: karyanya.
Akhirnya, “keadilan” (dan juga “kemanusiaan”) itulah yang tampaknya masih mengganjal dalam hati Pram. Gagasan dan sikap yang revolusioner yang ia inginkan bisa jadi yakni yang menyentuh sampai pada nilai-nilai keadilan, juga kemanusiaan. Namun, sejauh apa dan bagaimana? Kita masih terus membincangkannya.
Yang jelas, pada ujungnya, walaupun tentu ini tak diterima Pram, dunia bukanlah wilayah kemutlakan. Yang berharap kesempurnaan di sini, ia pasti akan kecewa. Karenanya, agama memberi janji alternatif bahwa dunia tak adil, tak sempurna.
Kolom Terkait: