Seorang kaisar demikian gandrung akan pakaian. Kaisar yang kaya raya ini memiliki banyak baju, pakaian yang tak pernah bisa dimiliki oleh orang kebanyakan. Tapi sang Kaisar merasa hidupnya kurang sempurna. Ia masih ingin memiliki satu pakaian paripurna, yang hanya dimiliki olehnya, yang hanya dipakai olehnya, pakaian adiluhung yang akan membuatnya sempurna sebagai penguasa.
Sang kaisar akhirnya bertemu dengan orang-orang dengan moral bengkok yang menjanjikan pakaian paripurna. Sang kaisar yang demikian gandrung akan pakaian, dibisiki sebuah imaji tentang pakaian yang agung. Busana yang tak bisa dilihat oleh orang-orang-orang dungu, maling, dan jahat. Maka sang kaisar meminta orang dengan moral bengkok itu untuk membuat pakaian adiluhung tersebut. Kita tahu bagaimana kisah “Baju Baru Sang Kaisar” ini berakhir.
Tidak ada yang salah dari menginginkan pakaian bagus. Sebagai penguasa, sebagai kaisar, dan sebagai orang dengan harta yang banyak, ia berhak punya apa pun yang ia mau. Seperti juga keinginan untuk jadi penguasa, jadi presiden, adalah hak. Siapa pun berhak untuk menjalin hidup sebaik-baiknya sebagai warga negara, sebagai penguasa, atau sebagai manusia. Kuncinya adalah hak asasi manusia. Sesuatu yang mungkin bagi banyak orang tidak penting, tapi ya kalau butuh bakal merengek.
Dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Gerindra yang diselenggarakan di rumah Prabowo di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Rabu 11 April 2018 lalu, Prabowo Subianto resmi diumumkan maju sebagai capres. Apakah ini salah? Ya jelas tidak. Itu hak konstitusional Prabowo sebagai warga negara, ia berhak dicalonkan dan mencalonkan diri sebagai presiden. Meski kita tahu, ini bukan yang pertama ia masuk bursa calon presiden. Terus apa hubungan Prabowo dengan cerita Hans Christian Andersen?
Di Indonesia, Prabowo Subianto barangkali adalah alegori sempurna yang bisa menggambarkan sosok Kaisar dalam cerita Hans Christian Andersen. Ia punya segalanya, nyaris terlalu kaya jika dibandingkan 26,58 juta orang Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ambisi politik merupakan sesuatu yang dibentuk, ia tak pernah benar-benar lahir dari keinginan asali. Seseorang ingin jadi presiden karena ingin mengubah negara jadi lebih baik, yang lain seperti Trump, dorongan orang-orang dengan moral bengkok.
Tidak seperti kaisar yang dikelilingi oleh orang dengan moral bengkok, saya percaya Prabowo dikelilingi orang-orang yang cerdas dan berbudi baik. Mereka yang tahu kapan waktunya berhenti, mengambil jeda, dan membiarkan politik sektarian yang kepalang megerikan ini mereda. Saya yakin orang-orang PKS, PAN, dan Gerindra punya komitmen serius terhadap persatuan. Mereka yang menolak menggunakan isu SARA dalam kampanya dan mereka yang menolak melakukan seruan kebencian untuk mencapai tujuan.
Ini bukan sarkasme.
Prabowo ingin jadi presiden tentu bukan urusan saya, bukan urusan anda juga, tapi kita tahu usai pemilu presiden lalu, kondisi negara semakin hari semakin genting. Bukan dalam hiperbola yang serius, tentu, tapi berita bagaimana perbedaan politik bisa membuat seseorang bersitegang jadi hal yang biasa. Kotbah semacam ini sudah terlalu sering kita dengar, tulisan untuk mendorong persatuan sudah terlalu banyak kita baca, tapi seruan-seruan itu nyaris seperti kentut yang lewat. Kita tahu bau busuknya, namun menghindari cepat-cepat jika menghidunya.
Butuh seseorang dengan nyali besar untuk bicara dan berkata kepada Prabowo bahwa ini saat yang tepat untuk legawa. Bukan berarti calon yang ada saat ini sudah ada dan baik. Tidak, Joko Widodo pada derajat yang sama tidak lebih baik daripada Prabowo. Kekerasan di Papua, konflik agraria, dan berbagai janji kosong tentang Nawacita tidak membuat Presiden yang ada saat ini lebih baik dari Prabowo. Lha terus? Kenapa Prabowo tak boleh maju sebagai calon presiden?
Lho boleh. Sangat boleh. Itu haknya sebagai warga negara.
Begini, sebagai ilustrasi, usai pemilu tahun lalu, pendukung kedua belah pihak baik Jokowi atau Prabowo merasa bahwa pertikaian politik belum selesai. Melalui berbagai forum baik digital maupun nyata, mereka bersitegang, bersaing dan bertikai. Dalam kondisi yang ideal, pertikaian politik adalah hal yang lumrah, justru sesuatu yang baik.
Kelompok konservatif dan liberal di Inggris dan Australia, misalnya, bisa bicara tentang kebijakan dan kepentingan publik di Parlemen. Mereka bertikai bagaimana cara terbaik mensejahterakan rakyat. Pertikaian tentang Brexit di Inggris dan Imigran di Australia melahirkan banyak perdebatan yang baik, tentang bagaimana melindungi masyarakat negara sendiri sembari mengakomodasi hak pendatang. Intinya adalah bagaimana menghasilkan kebijakan publik yang baik, bukan sekedar membahas anak siapa yang punya orientasi seks berbeda atau siapa anak PKI.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana kondisi gelanggang politik 2019 jika dua tokoh ini masih ngotot maju. Baik Joko Widodo dan Prabowo punya pendukung yang fanatik, menganggap idola mereka maksum, terbebas dari salah dan dosa. Para pendukung ini akan menjadikan media sosial sebagai medan perang untuk melakukan kampanye. Hoax, berita yang dipelintir, foto editan, dan berbagai propaganda bukan mustahil akan hadir lagi.
Dalam cerita Hans Christian Andersen sosok yang punya nyali paling besar untuk meghentikan sang kaisar adalah anak-anak. Mereka yang punya ketulusan hati dan keberanian untuk bicara. Barangkali ini saat yang tepat untuk anak muda ambil bagian, tidak lagi diam membiarkan politik terjerumus dalam lubang kebencian.