Kamis, April 25, 2024

Ya, Tuhan itu Maha Esa, tapi Pemeluk itu Tidak

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.

PEKAN PANCASILA telah berakhir. Apakah ini berarti perbincangan tentang Pancasila juga telah usai? Apakah kita perlu menunggu 1 Juni tahun depan untuk melanjutkan beda pendapat soal slogan “Saya Pancasila” yang digaungkan oleh Presiden Jokowi? Atau, sebagaimana yang sudah-sudah, kita cepat berubah tema dan melupakan begitu saja tema yang sebelumnya diributkan?

Tahun-tahun ini, kita beberapa kali ikut tertawa, lebih tepatnya menertawakan, insiden pejabat negara atau figur publik yang tak hapal Pancasila. Beberapa hari lalu, saya juga sempat membaca promo kafe: hapal Pancasila berhadiah secangkir kopi. Pancasila menjadi sebegitu renyah dalam keseharian kita. Pancasila dijadikan materi promo atau bahan tertawaan atas dasar hapal atau tidak hapal lima sila.

Namun, dinamika sosial politik mengenai Pancasila berlangsung sepanjang tahun, jika bukan sepanjang masa semenjak kali pertama disampaikan Soekarno kepada rakyat Indonesia pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Hal ini terutama terjadi sejak panitia sembilan memutuskan untuk menghapus tujuh kata dalam Pancasila versi Piagam Jakarta.

Ya, memang ada tiga versi Pancasila. Yang versi asli, yang dilahirkan Soekarno pada 1 Juni 1945, meliputi (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan, (3) Mufakat atau demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, dan (5) Ketuhanan Yang Maha Esa. Masih ada dua versi lagi, yaitu Pancasila versi Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Pancasila versi final, hasil rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945.

Pancasila hasil perenungan Soekarno, Muhammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Wahid Hasyim, Ahmad Soebardjo, dan Muhammad Yamin menghasilkan Pancasila versi Piagam Jakarta, rumusan yang berbeda dari Pancasila versi Soekarno sendiri. Bukan hanya mengenai urutan sila dari satu sampai lima, namun juga adanya pencantuman tujuh kata pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tujuh kata pada sila pertama itu, yakni “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Pendek cerita, sebagaimana kisah-kisah dalam sejarah yang sudah sering kita baca, tujuh kata itu lantas dihapus dan jadilah Pancasila seperti yang kita hapalkan sekarang. Ya, yang kita hapalkan secara urut, dan tak boleh terbolak-balik apalagi salah kata–jika tak ingin ditertawakan, atau bahkan dipidana.

Pancasila versi final hasil rapat PPKI itu adalah, semoga saya hapal, (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan (5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Setelah penghapusan tujuh kata di atas, tidak ada lagi yang dihapus atau diubah dari sila-sila Pancasila.

Namun, penghapusan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” menyulut pemberontakan sejak era DI/TII hingga era Khilafah Islamiyah hari-hari ini. Sesungguhnya, apa yang terjadi? Apakah kesaktian Pancasila, terutama sila pertama, masih terus diuji oleh zaman? Tanpa bermaksud menggugat, apalagi mengubah, bolehkah saya sampaikan bahwa Ketuhanan adalah hal-hal mengenai Tuhan?

Ketuhanan bukanlah Tuhan itu sendiri. Saya memohon kepada para guru bangsa sekiranya berkenan untuk memberikan penjelasan kepada anak-anak bangsa ini mengenai mengapa “Yang Maha Esa” menyertai “Ketuhanan”. Tuhanlah Yang Maha Esa, sedangkan ketuhanan atau hal-hal mengenai Tuhan, menurut hemat saya, tidaklah esa. Jika pun hal-hal mengenai ketuhanan itu mengerucut pada Keesaan Tuhan, toh Ketuhanan tidak lantas sama dengan Tuhan, bukan?

Dalam ajaran tasawuf, Ketuhanan, atau sebut saja Ke-Allah-an, meliputi empat hal besar. Yaitu Dzat Allah–yang tiada terbilang, Sifat Allah–yang wajib dikenal adalah 20 sifat, Asma Allah–yang paling masyhur adalah 99 Nama (Asma’ul Husna), dan Af’al Allah–yang tiada berbilang, karena Allah tidak berhenti mencipta. Seluruhnya mengerucut pada Keesaan Allah, memang. Namun, tetap saja Ke-Allah-an bukan Allah itu sendiri.

Itu belum lagi jika makna Ketuhanan atau Ke-Allah-an ditambah dengan pemaknaan oleh manusia pada umumnya dan para pemeluk agama pada khususnya, tentang hal-hal mengenai Tuhan, mengenai Allah. Bahkan, dalam Hadits Qudsi, Rasulullah Muhammad SAW bersabda bahwa Allah berfirman,”Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku.” Nah, semakin jelas beda antara Tuhan dan Ketuhanan. Namun demikian, kita tentu saja tidak bisa menilai bahwa pada pendahulu bangsa ini, yang meletakkan dasar-dasar berbangsa dan bernegara, tidak mengetahui hal-hal seperti ini.

Oleh karena itulah, melalui tulisan ini, saya memohon dan berharap kepada para guru bangsa untuk berkenan memberikan pemahaman kepada kami, anak-anak bangsa ini, tentang mengapa “Yang Maha Esa” dilekatkan pada “Ketuhanan”, bukan kepada “Tuhan”. Siapa tahu, dengan menerima uraian dari beliau-beliau yang adiluhung dan mumpuni itu, kita bisa mulai meredam bahkan meredakan konflik-konflik yang mengatasnamakan agama, bahkan Tuhan, yang terjadi di negeri ini.

Atau, kalaupun para guru bangsa ini belum berkenan untuk membuka rahasia di balik sila pertama Pancasila itu, saya berharap, Pengarah dan Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang meminta langsung penjelasan kepada para guru bangsa mengenai hal ini. Sebab, apalah saya ini, kok sampai berani-beraninya meminta. Mengenai definisi pemeluk pun saya tidak sungguh-sungguh tahu.

Jika memang pemeluk, mengapa tidak “sibuk” melengket pada yang ia peluk? Mengapa justru sibuk mengurusi pelukan orang lain?

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.