Jumat, Maret 29, 2024

Surat kepada Wakil Rakyat

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.

Selamat siang, Bapak, Ibu, eh, maksud saya, Yang Terhormat. Hampir kelupaan! Saya sengaja menyapa Bapak dan Ibu yang terhormat pagi ini. Sejujurnya semula surat ini saya tujukan kepada Setya Novanto dan Fadli Zon. Tetapi, karena kebetulan DPR baru-baru ini agak—sebenarya tidak agak, tetapi sangat—gaduh, ya, surat ini akhirnya ditujukan kepada kalian semua yang dengan bangga dipanggil sebagai Yang Terhormat.

Bagaimana kabar di Senayan Bapak/Ibu Yang Terhormat? Apa ruangannya sudah harum? Saya pernah dengar, biaya pengharum untuk ruangan di sana mencapai Rp 2,3 miliar? Oh, kira-kira merek pengharum itu apa, ya? Itu ditanyakan karena memang nama DPR kita sudah harum. Kabarnya kedengaran ke mana-mana. Sampai ke Los Angels, bahkan kandidat Presiden AS tanpa ragu-ragu menyebut salah satu anggota dari rumah Anda, DPR, sebagai orang berpengaruh di negeri ini. Pengharum ruangannya manjur juga rupanya, ya!

Oh, sebelum kita bahas yang lain, sebelum kelupaan, bagaimana dengan kabar kelima puluh delapan ekor rusa kita di sana, maksud saya, rusa kalian? Saya salut, lho, ketika pada masa serba maju ini, ternyata masih banyak orang yang peduli pada hewan seperti Tuan dan Puan. Terbukti, kepedulian itu dengan anggaran makan dan perawatannya setahun kalian buat sebesar Rp 650 juta. Rincian angka itu kalau saya tak salah begini: Rp 54 juta lebih dalam sebulan atau sehari hampir Rp 2 juta.

Salut saya begini: kepada hewan yang tak punya hati, tak punya rasa, dan tak punya pikiran saja kalian penuh perhatian, konon lagi pada manusia yang berbudaya, bukan? Apalagi kemudian manusialah yang nyata-nyata dengan kesadarannya memilih kalian. Yang tak memilih dan tak punya hak pilih saja diperhatikan, apalagi yang tidak? Sudahlah, tak usah malu-malu menjawab. Kita tahu, kok, kalian orang terhormat. Sangat terhormat. Saking terhormatnya, kalian menempatkan diri Anda di bawah kami yang adalah rakyat: wakil rakyat.

Demi jabatan di bawah kami itu, kami juga harus memberi beribu-ribu pujian. Bagaimana tidak, seharusnya seperti logika masyarakat umum, mereka yang mau naik jabatanlah yang—mari sama-sama terbuka, di negeri ini, jabatan bisa dibeli—seharusnya membayar. Lho kok kalian dengan rendah hati malah membayar kami? Dengan apa kami harus membayarnya kelak kepada Bapak dan Ibu?

Oh, ya, Pak, mengapa sudah lama tak datang ke tempat kami? Bersualah dengan kami seperti dulu! Kami sudah rindu. Rindu sekali.

Dulunya, kan, sebelum Bapak dan Ibu resmi sebagai wakil kami, sebagai pembantu kami, tepat ketika kampanye, Bapak dan Ibu rajin memberi bantuan. Jalan-jalan dibangun atas nama Bapak dan Ibu. Rumah ibadah kalian sumbang biaya pembangunannya. Panti-panti menjadi ramai. Penduduk heboh. Tak jarang dengan murah hati, mereka, sih, mengaku sebagai suruhan Bapak dan Ibu dan kami percaya.

Mereka itu datang menjemput kami ke rumah untuk berpesta-pesta, eh, kami diberi ongkos lagi, termasuk beberapa bungkus sembako. Betapa bermurah hatinya Bapak dan Ibu.

Tetapi, sekarang, mengapa orang Bapak dan Ibu tak datang lagi? Apa terlalu sibuk mengurusi pembangunan UU “antipeluru”, UU MD3? Atau, malah sibuk membahas gedung DPR yang, katanya, dana pembangunan untuk itu sangat banyak. Wow, kami lagi-lagi harus salut.

Darimana saja dapat dananya? Bukannya kemarin-kemarin sudah pernah dibangun? Ah, Bapak dan Ibu jangan terlalu merendah. Kalian memang wakil kami, tetapi kalian lebih hebat. Rumah kami yang adalah ketuamu masih banyak yang bonyok. Pekerjaan kami pun masih seperti semula, berdagang, eh, tiba-tiba tanpa kami ketahui beberapa dari kami digusur.

Pun kalau Bapak dan Ibu tahu, teman kami yang dengan rela memilih kalian sebagai pembantu masih ada yang seperti semula tak dapat pekerjaan. Bahkan, ada beberapa yang kehilangan pekerjaan karena di-PHK. Tak usah tanya bagaimana rumah kami sekarang. Apakah asapnya mengepul, apakah ruangannya harum, apakah ada kasur empuk? Kami terus terang saja kalah dari kalian. Eh, keceplosan ternyata. Kok, kami pula yang kelancangan mengabarinya di sini ya. Kalian, kan, dari dulu tidak mencari tahu kelemahan dan keadaan kami.

Kalian tahu, bahkan tahu benar bagaimana menjaga perasaan. Tak banyak bertanya tentang kami. Kami yang gagah-gagahan untuk mengabarinya, termasuk dengan surat ini. Huh, betapa malunya memberi kabar yang tak pernah ditanya. Sudah, lupakan saja Bapak dan Ibu. Tak usah dibawa ke hati. Mungkin, masih beginilah nasib kami. Kelak, kalau bangunan DPR yang baru setelah selesai dibangun, apakah kami bisa melihat dari dekat?

Ingin sekali rasanya menikmati kasur. Konon, anggarannya menembus angka Rp 12,5 miliar? Membayangkannya saja sudah serasa menikmati bagaimana empuknya kasur itu. Tolong jangan tersinggung ya, Bapak dan Ibu. Kami hanya ingin tahu dan tentu saja ingin lepas dari kasur seadanya ini, setidaknya untuk sementara saja. Kami ingin lepas dari genggaman jalanan, dari kolong jembatan, dari emperan. Ah, semakin keceplosan pula. Memangnya ini edisi curhat?

Tetapi sudahlah, ini sudah telanjur dibeberkan. Ini memang tak wajar, bagaimana seorang ketua meminta bantuan kepada wakilnya? Tetapi, karena sudah telanjur malu, baiklah ini disuarakan, sedikit saja: tolong, Pak, Bu, kami diberi saran dan petunjuk. Bila Bapak dan Ibu tak mau secara vulgar memberi tahu darimana dananya, bagaimana caranya, setidaknya kasih kami bocoran.

Oh, iya, tidak sepantasnya rakyat meminta bocoran kepada bawahannya, bukan? Ah, lagi-lagi kami kelancangan.

Tetapi, maaf, itu karena kami sudah dibutakan ketidakmampuan kami, ketidaktahuan kami, juga oleh rasa putus asa. Aduh, ini bukan edisi curhat ternyata.

Oh, yang ini, bagaimana kabar UU MD3? Tetaplah semangat Bapak/Ibu. Itu semua demi kehormatan kalian sebagai DPR. Tak usah pedulikan apakah kehormatan kami hilang atau lenyap. Tak usah peduli seberapa peduli kami tentang apa itu kehormatan. Sebab, kami sudah lama kehilangan kehormatan. Tak usah perhatikan gejolak masyarakat. Biasa, mereka itu hanya cemburu.

Ah, Bapak dan Ibu mungkin sudah terganggu membaca surat ini. Padahal, Bapak dan Ibu harusnya menandatangani proyek demi proyek. Bapak dan Ibu orang sibuk, bukan? Sibuk dan melelahkan sekali. Karena itu, saya kasihan ketika kalian butuh istirahat, butuh tidur, butuh hiburan di Gedung DPR.

Semestinya para wartawan tak perlu memfoto bagaimana pose tidur, pose rileks, dan pose merokok kalian di sana. Dasar wartawan tak tahu sopan santun! Tak usah dipikirkan Pak, Bu. Namanya saja wartawan, kurang kerjaan.

Oh, ya, sampaikan salam kepada Bapak Setya Novanto dan Fadli Zon, juga Fahri Hamzah. Mereka itu orang hebat, Donald Trump setidaknya berkata begitu. Kurang hebat apalagi ketika dengan gampang mencari dana untuk pelesiran ke sana kemari. Kami salut. Rupanya kalian pekerja keras yang dengan gampang mencari dana.

Tetaplah begitu, Pak, Bu! Tak usah hiraukan wartawan, apalagi beberapa dari kami yang mengganggu kalian. Itu seperti biasa, karena mereka cemburu. Dasar rakyat tak jelas. Sampai di sinilah dulu surat ini, ya, Pak, Bu.

Maaf, sudah mengganggu kesibukan kalian. Ayo, tetap semangat memperjuangkan UU MD-nya!

Kolom terkait:

Golkar Pasca Setya Novanto

Jokowi, Golkar, dan Nyinyiran Fadli Zon

Bacot Fahri Hamzah dan Substansi OTT

Setelah Tsamara Membedah Fahri Hamzah

Fahri Hamzah dan Rontoknya Narasi Besar Status Quo Politik

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.