Bung Anies Baswedan, apa kabar?
Seperti yang pernah saya utarakan sebelumnya, saya akan menuliskan surat kedua kepada Anda. Saya dapat memahami apabila Anda tidak membalas surat terbuka yang saya tujukan kepada Anda. (Baca: Harga Sebuah Integritas: Surat Terbuka untuk Anies Baswedan Ph.D)
Mungkin saja Anda terlalu sibuk menjelang Pemilihan Gubernur DKI putaran kedua. Mungkin Anda mengkalkulasikan untung-rugi untuk membalas surat yang saya kirimkan bagi perolehan suara Anda dan Anda sampai pada keputusan rugi bagi Anda untuk membalas surat saya. Atau mungkin alasannya adalah, “Aku mah apa atuh.”
Apa pun alasan yang membuat Anda tidak membalas surat terbuka saya, saya tetap berprasangka baik kepada Anda. Namun demikian, Bung Anies Baswedan, saya akan memulai surat terbuka kedua kali ini dengan menunjukkan betapa kita membutuhkan dialog maupun perdebatan terbuka di kalangan kita untuk merawat akal sehat negeri kita dalam berpolitik. Agar proses politik lebih ditandai oleh pertukaran dialog yang merdeka dalam pertukaran argumentasi untuk saling mengingatkan.
Berdialog dalam rangka “Ud’u ila sabili rabbika bil hikmati wal maw’ızatil hasanati wa jadilhum billati hiya ahsan…” (Serulah [manusia] kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…) seperti tertuang dalam bagian dari ayat Allah QS An-Nahl 16:125.
Dengan demikian, politik menjadi jalan untuk menuju jalan terang literasi dan keadaban kita. Bukan menjadi ajang saling umpat, saling bully, saling mengkafirkan dan me-munafiq-kan yang lain, atau menghina sesama warga negara Indonesia, pemilik sah dari republik ini, dalam umpatan peyoratif non-pribumi!
Saudaraku Anies Baswedan,
Coba kita kembali menengok ke belakang dalam jejak langkah para pendahulu kita. Bagaimana pada masa pergerakan nasional Bung Karno dari pengasingannya di Ende bertukar pikiran dengan A. Hassan untuk mendiskusikan dan mengklarifikasikan banyak hal terkait dengan persoalan agama, negara, dan kebangsaan.
Pada masa yang lebih kemudian warisan politik literasi yang beradab juga muncul dalam dialog antar-generasi antara Mohammad Roem, elite faksi moderat dari Partai Masyumi, dengan anak kandung ideologisnya Nurcholish Madjid. Rangkaian dialog lewat surat-surat itu lalu dibukukan dan diberi judul sangat progresif, Tidak Ada Negara Islam.
Kalau kita membuka kembali sejarah pada momen-momen itu ada nuansa keindahan di dalamnya. Mengapa demikian? Karena dengan mengarahkan perdebatan ideologis melalui pertukaran surat dan dialog yang sehat, ruang publik kita pada masa pra-kemerdekaan diajak untuk mendiskusikan perdebatan antara arus besar nasionalis kerakyatan dan nasionalis-Islam pada kata-kata, kalimat, dan argumen yang padat dengan pemikiran aktual dan penting untuk menciptakan corak negara-bangsa kita.
Melalui pertukaran pikiran dan dialog lewat surat-menyurat, rakyat kita dihindarkan dari cemooh berbasis jargon-jargon kosong dan berita bohong yang semakin memperuncing kebencian.
Demikian pula dalam surat-menyurat antara Mohammad Roem dan Nurcholish Madjid di atas kita sama-sama menyaksikan betapa proses transformasi dari Islam formalis menuju Islam substansialis dalam pergulatan peradaban Islam di Indonesia digerakkan oleh jalan intelek yang mencerdaskan, jalan yang ikut memberi sumbangan penting mengantarkan negeri kita menuju era reformasi, dari jalan gelap otoritarianisme Suharto menuju jalan demokrasi.
Meski harus dilakoni pelan-pelan dan tertatih, jalan demokrasi ini tetap kami pertahankan di tengah belenggu warisan Orde Baru. Jalan yang semoga saja masih tetap Anda yakini, meskipun saya termasuk yang ragu apakah Anda meyakininya?
Mengingat Anda beberapa waktu lalu justru merayakan bersama para dai pendukung Anda dengan acara dzikir akbar untuk memperingati momen Supersemar pada 11 Maret, momen yang membawa negeri kita menuju jalan gelap, yang ditandai oleh tumbal ratusan ribu sampai jutaan jiwa nyawa manusia Indonesia; yang ditandai oleh tunduknya negeri kita dalam kangkangan eksploitasi kekayaan alam kita oleh korporasi asing; yang ditandai oleh sabotase kapitalisme predatoris, ketika para pemangsa elite Orde Baru menguasai seluruh institusi sosial dan politik kita bekerja sama dengan para kroni kapitalisnya mengeruk seluruh sumber daya sosial untuk kekayaan kaumnya di tengah pelanggaran hak asasi manusia dan pembunuhan atas warganya sendiri sepanjang masa kekuasaannya.
Saudaraku Anies Baswedan,
Saya meluangkan waktu menulis surat kepada Anda bukan untuk sekadar meraup popularitas atau menjaring ribuan like di Facebook. Saya menulis surat kepada Anda saat ini karena saya sadar bahwa Indonesia saat ini tengah berada di titik persimpangan jalan. Titik persimpangan antara meneruskan jalan terang di mana Indonesia adalah negeri tempat setiap warga yang ada di dalamnya hidup merdeka tanpa diskriminasi; d imana arena politik menjadi sarana untuk merumuskan proses dialog dan perdebatan demi mencapai kesejahteraan bersama atau sebaliknya menuju jalan gelap.
Jalan di mana isu diskriminasi berdasarkan atas keyakinan, diskriminasi atas dasar warna kulit dan rasnya menjadi penanda bagi pribumi dan non-pribumi; atau jalan ketakutan ketika istilah suci syariah diformalkan untuk melegitimasi pembatasan hak-hak warga dan kemerdekaan sosial.
Sebuah jalan kekuasaan ketika syariah menjadi kata kunci yang diubah sedemikian rupa untuk meraup kekuasaan dan kemakmuran di atas segregasi sosial terhadap yang lain. Sehingga membuat perjuangan pendahulu dan guru kita, Nurcholish Madjid, yang tengah menyalakan api keadaban Islam kembali mundur kebelakang. Jalan yang membuat banyak politisi maupun konsultan politik tergelincir untuk mengkhianati civic values dan keadaban yang sebelumnya mereka gunakan sebagai aset untuk meraup ketenaran dan popularitas lalu mereka buang ke tong sampah ketika kepentingan politik dan material menuntutnya.
Saudaraku Anies Baswedan,
Dalam sebuah lawatan ke Amerika Serikat beberapa bulan lalu, saya mendapat kesempatan bebelanja buku-buku dan salah satu buku yang menarik dan saya beli adalah buku karya Fawaz A Gerges (2016), profesor pakar kajian politik Islam dan Timur Tengah, yang menulis buku berjudul ISIS: A History. Saya membacanya sampai tuntas dan setelah membaca buku itu saya resah dengan kemungkinan yang bisa terjadi di Indonesia.
Sebagai akademisi ilmu politik, mungkin Anda atau yang lain menganggap keresahan saya berlebihan. Mungkin saja terlalu jauh membandingkan antara realitas penyebaran ISIS di Irak dan Syria dengan apa yang terjadi di Indonesia. Namun demikian, ada satu faktor yang patut kita pertimbangkan bersama yang ditulis oleh Gerges: kemunculan dan kebangkitan ISIS di Timur Tengah merefleksikan retaknya tatanan politik dan sistem sosial di masyarakat Timur Tengah.
Kemunculan ISIS di Timur Tengah terjadi saat negeri-negeri di mana organisasi itu berkembang menghadapi kondisi ketika tidak ada identitas bersama, jangkar sosial, dan payung inklusif yang bisa menaungi segenap identitas-identitas yang ada dalam kontrak bersama yang menjamin kesetaraan dan penghormatan terhadap keberagaman. Di titik itulah saya resah ketika Anda menarik keuntungan dari berbagai histeria menolak pemimpin non-Muslim, anti-pribumi, pembelahan sosial atas dasar stigma muslim, non-Muslim dan munafik terus berlangsung dan Anda diamkan!
Anda tidak bisa hanya tersenyum dan mendulang suara dari ini semua. Anda tidak bisa hanya berpangku tangan dan menghindar di balik dalih itu adalah bagian dari ekspresi demokrasi. Anda tidak bisa acuh atas ini semua, karena yang dipertaruhkan begitu tinggi dan mahal.
Yang dipertaruhkan adalah kebhinekaan Indonesia, kemerdekaan dalam hubungan yang setara sesama warga Republik Indonesia. Itulah yang dipertaruhkan. Yang dipertaruhkan adalah eksistensi dan riwayat negeri kita, Indonesia. Karena ketidakrelaan atas ancaman hancur leburnya ini semua, saya menulis surat ini kepada Anda!
Bung Anies Baswedan,
Ketika Anda diam atau hanya berpangku tangan atau diam-diam menangguk keuntungan politik dari berbagai penyebaran politik kebencian ini, bagi saya Anda tidak lebih baik dari politisi rasis dan fasis seperti Donald Trump di Amerika Serikat, Marine Le Pen maupun Geert Wilders di Belanda. Mereka adalah politisi yang mengambil manfaat dan mengeksploitasi proses pemiskinan sosial akibat krisis ekonomi di negerinya masing-masing.
Mereka yang mengambil keuntungan dari proses manipulasi wacana dan pembelokan isu dari keadaan obyektif pemelaratan sosial yang tengah berlangsung dan kemudian dibelokkan melalui pengkambinghitaman atas imigran-imigran kulit berwarna dan kaum Muslim yang dinistakan hak dan kehidupan sosialnya.
Keadaan yang sama tengah berlangsung di negeri kita saat ini. Ketika sebagian dari kelompok ultra kanan di negeri ini mengidap penyakit kebencian terhadap kaum Tionghoa, penolakan atas hak konstitusional untuk menjadi pemimpin dari warga non-Muslim, menstigma mereka yang teguh di dalam jalan demokrasi dan keadaban publik sebagai kaum munafik.
Surat ini saya tujukan kepada Anda sebagai nasihat Agar Anda tidak masuk terus demi menangguk keuntungan politik seperti halnya para elite politik anti-imigran dan anti-Muslim di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Anda mau disamakan dengan mereka?
Bung Anies Baswedan yang saya hormati,
Mari kita kenang kembali riwayat jejak langkah pendahulu kita. Di Petamburan, dengan beberapa persoalan kecermatan terkait sejarah, Anda menyebut berdirinya Partai Arab Indonesia (PAI) pada tahun 1934 sebagai bukti sejarah pernyataan kaum Arab untuk menjadi bagian dari Indonesia yang saat itu belum berdiri.
Saya mengajak Anda membuka kembali sejarah bangsa kita melalui buku karya Mr Hamid Algadri (1994) terbitan LP3ES berjudul Dutch Policy Against Islam and Indonesians of Arab Descent in Indonesia. Di dalam buku itu disebutkan bahwa memang benar berdirinya PAI yang dipelopori oleh kakek Anda, Abdurrahman Baswedan atau dikenal dengan nama AR Baswedan, memberi sumbangan penting karena partai tersebut adalah partai kaum peranakan pertama terbesar yang menyatakan diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Sebuah pernyataan politik yang dipuji oleh Ki Hadjar Dewantara dalam ulang tahun ke-20 PAI sebagai sumbangan berarti bagi berdirinya negara bangsa Indonesia. Namun demikian, Bung Anies, bukan kebanggaan romantik itu yang penting untuk kita sekarang.
Yang penting kita kenang sekarang dari pernyataan kesetiaan PAI dan kakek Anda, AR Baswedan, menjadi bagian keIndonesiaan adalah pernyataan komitmen bahwa orang-orang Arab menyetujui ide politik keindonesiaan yang setara, anti-diskriminasi, dan menghormati kebhinekaan.
Kakek Anda, AR Baswedan, dan kaum Arab di dalam PAI sadar dan bersolidaritas menjadi bagian keindonesiaan karena saya yakin mereka meyakini seruan keindonesiaan yang diikrarkan oleh Indische Partij di bawah pimpinan dr Tjipto Mangoenkosoemo, E.F.E Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantara bahwa Indonesia adalah untuk mereka yang mau dan mengakui menjadi bagian di dalamnya.
Sebuah ikrar yang demokratik, setara, dan berkeadaban. Ikrar kewargaan yang obornya diteruskan oleh Ir Sukarno, Mohammad Hatta, dan pendiri republik lainnya.
Bung Anies Baswedan,
Dalam berbagai pustaka yang saya baca, saya tak melihat sedikit pun bahwa AR Baswedan pernah mengambil keuntungan, diam atau berbicara pembelahan pribumi dan non-pribumi dalam kiprah politiknya. Apakah Anda juga akan mengikuti jejak langkah kakek Anda atau sebaliknya?
Sebagai kalangan yang menikmati jenjang edukasi tinggi, tugas kita bersama adalah bersama rakyat untuk membuka jalan menuju terang, bukan memperdayai rakyat untuk masuk ke dalam jalan gelap, mengunci mereka di sana, sementara kita menikmati tahta.
Saya pikir Anda paham maksud saya kali ini. Karenanya, hendaknya Anda timbang-timbang kembali jalan yang telah Anda ambil untuk menuju kuasa.
Merdeka!