Sabtu, April 27, 2024

Sumpah atau Sampah Pemuda?

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
[ilustrasi]

Konon, pada zaman kolonialisme, pemuda menjadi tonggak penting yang dapat diberdayakan untuk meraih kemerdekaan dari negeri penjajah. Tidak tanggung-tanggung, para pemuda Indonesia menyatukan niat dan tekad untuk meraih kemerdekaan tersebut. Kalau harus dipikirkan secara logika untuk saat ini, kita sangat pantas menyebut pemuda kala itu sebagai martir pembebasan, bukan korban pembebasan.

Alasannya sederhana, saat itu para pemuda bekerja keras untuk meraih kebebasan murni adalah untuk kebebasan itu sendiri, bukan untuk meraih materi. Mereka bahkan tidak peduli kalau pada akhirnya nyawanya sendiri menjadi tumbal dan tebusan untuk kebebasan. Artinya, mereka berjuang untuk negeri, bukan semata untuk mereka.

Dari situ tampak jelas bagi kita bahwa pemuda sebelum kemerdekaan adalah sosok pemuda yang sarat dengan nilai-nilai heroiknya. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah sikap-sikap pemuda pra-kemerdekaan ini masih ada pada pemuda kita saat ini?

Makin Nyaring

Mari bergerak lebih jauh! Setelah pemuda berhasil “memaksa” golongan tua untuk sesegera mungkin memproklamirkan kemerdekaan pada Peristiwa Rengasdengklok, saat itu kita merasakan bahwa segalanya akan menjadi lebih baik. Tidak saja karena kita bebas dari dikte bangsa penjajah, tetapi juga karena kita sudah bisa dengan leluasa mengelola kekayaan Indonesia. Saat itu, kita merasakan bahwa kemerdekaan akan bermuara pada pemenuhan hak dan keadilan. Tetapi, secara perlahan dan pasti, apa yang kita duga ternyata meleset jauh.

Jangankan berharap pada swasembada pangan, kita bahkan masih saja tertatih-tatih mengikuti perkembangan zaman. Malah, terkesan negara lepas tanggung jawab sehingga rakyat menjadi bangsa terjajah di negerinya sendiri. Hal ini makin intens dan berimbas pada destruksi definisi filosofi keadilan.

Jadi, jangan heran jika pada saat ini pekik merdeka masih begitu nyaring diperdengarkan, bahkan pekik merdeka ini lebih nyaring dikobarkan daripada saat kita masih dijajah. Dan, sadarlah, hal ini mengindikasikan bahwa sejatinya rakyat belum mengalami hawa kemerdekaan itu sendiri!

Lagi-lagi, kita harus mengangkat topi bagi para pemuda karena seakan tanpa henti dapat dengan lugas mengartikulasikan makna pekik merdeka yang berulang kali kita lontarkan. Mungkin masih jelas di benak kita peristiwa berdarah pada pelengseran Soeharto dari kursi kepresidenan pada tahun 1998 silam. Saat itu, para pemuda tampak perkasa: tidak takut peluru dan pentungan. Yang mereka perjuangkan adalah kemerdekaan, kebebasan, dan kesamaan hak.

Mereka bersinergi untuk mengentaskan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari bumi Indonesia. Musuh besar kita kala itu adalah KKN dan politik dinasti yang mulai menggerogoti tubuh struktural NKRI. Lalu, pekik merdeka itu membahana hingga pada akhirnya zaman reformasi bergulir.

Perhatikan, zaman prakemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru semua berakhir dan lahir karena pemuda berhasil mengartikulasikan keinginan alami dari rakyat.

Lalu sekarang, setelah zaman Orde Baru telah digantikan zaman reformasi, pekik merdeka ternyata tak berhenti. Tragisnya, pekikan ini tidak berhenti karena memang rakyat merasa dizalimi pemuda yang dulu menjadi orang yang terdepan untuk melengserkan Soeharto. Beberapa dari mereka yang dulu aktif di kegiatan organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan yang begitu alergi terhadap tindak-tanduk perilaku pejabat Orde Baru bahkan sekarang sudah menjabat di tempat yang sangat strategis.

Tapi, lihatlah, mutu hidup serta pelayanan birokrasi tetap saja mandek. Mereka yang dulu memprotes, sekarang malah diprotes karena terjebak pada perilaku yang sama. Bahkan, masyarakat pada umumnya mulai sadar bahwa ternyata mereka telah dikibuli para pemuda pejabat karbitan ini.

Ironisnya, masyarakat sudah tidak sungkan-sungkan mengaku bahwa kehidupan era Soeharto jauh lebih enak dan nyaman. Saya tidak sedang mengatakan Orde Baru jauh lebih baik. Hanya saja, ungkapan ini adalah gambaran bahwa negeri ini tidak mengalami perbaikan.

Menanti Sentuhan Pemuda

Dulu kita berharap pemuda akan membawa perubahan karena kita dulu begitu mengimani slogan Bung Karno: “Berikan saya 100 pemuda, maka saya akan mengubah dunia!”

Kita yakin bahwa negeri ini akan menjadi jauh lebih indah bila kelak pemuda sudah membawa atau setidaknya sudah ikut berada pada belakang kemudi birokrasi. Tapi kenyataannya tidak! Justru, pemuda yang dulu getol—yang dulu kita anggap sebagai jawaban atas beberapa pertanyaan keresahan kita—malah ikut andil pada komplotan korupsi. Bahkan ada di antaranya yang berani mengumbar janji akan segera digantung di Tugu Monas andai saja dia terbukti menelan uang rakyat sepeser pun. Sekarang, apa yang dia lakukan?

Ah, kalau harus dihitung berapa tokoh pemuda yang suka ngibul, kita pasti akan geleng-geleng sendiri. Sebut saja Gayus Tambunan, sekadar menyebut contoh. Pemuda yang berasal dari keluarga sederhana ini mendadak menjadi orang terkaya di antara mereka yang masih bergolongan III. Dan tragisnya, pemuda ini telah dengan berani-beraninya membeli hukum yang lalu pergi bertamasya pada posisi masih dipenjarakan.

Belum lagi Nazaruddin, sekali lagi sebatas contoh. Pria yang masih berumur 30-an ini juga dengan sengaja sudah memiskinkan rakyat.

Inikah warisan pemuda? Inikah juga makna hakiki Sumpah Pemuda itu? Atau, apakah kata doeloe yang berubah menjadi dulu sama halnya dengan sumpah menjadi sampah? Saya tidak mau keceplosan mengatakan sumpah menjadi sampah. Tetapi yakinlah, ini permenungan reflektif bagi kita yang muda. Jangan buru-buru memprotes dan menolak kalau tidak mampu memberi alternatif.

Atau, jangan buru-buru vokal kalau pada akhirnya berujung pada perilaku sampah. Kita ini bersumpah, bukan nyampah. Dan, kalau laku hanya serapah, kita ini tidak lebih dari sekadar sampah. Oh!

Kolom terkait:

Sumpah Pemuda: Papua yang Indonesia dan Jakarta yang Bukan

Sumpah Pemuda dan Candaan yang Tak Lucu

Sebuah Pertanyaan Untuk Nasionalisme

Isu Anti-Cina dan Nasionalisme Kaum Muda

Titik Balik Nasionalisme

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.