Kamis, April 25, 2024

Stok Pemimpin di Pilkada 

Umbu Pariangu
Umbu Pariangu
Lulusan S1 Administrasi Negara dari FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang. Sejak tahun 2006 mengabdi di almamater sebagai staf pengajar. Meraih gelar S2 Fisipol dari Universitas Gadjah Mada.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan tanggal pencoblosan Pilkada Serentak 2018, yaitu pada 27 Juni 2018. Ada 171 daerah yang mengikuti Pilkada 2018. Tahapan Pilkada Serentak 2018 akan dimulai 10 bulan sebelum hari pencoblosan. Itu berarti tahapan dimulai Agustus 2017.

Dari 171 daerah tersebut, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada di 2018. Beberapa provinsi di antaranya adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Bagi rakyat, ini momentum para calon kepala daerah untuk mematut diri di depan cermin kekuasaan apakah kinerja mereka pada lima tahun sebelumnya telah sungguh membekas di hati rakyat karena berhasil memberikan implikasi nyata bagi perbaikan kesejahteraan rakyat, atau justru sebaliknya.

Menurut Jürgen Habemas (1985:15), pemimpin dalam era demokrasi tak bisa hanya mengandalkan kekuatannya pada kecakapan memelihara harapan, wacana, namun juga mampu memprediksi dan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berdaya antisipatif terhadap kompleksitas tantangan yang dihadapi rakyat demi kesejahteraan utuh atau dalam bahasa kearifan lokalnya Jacob Sumardjo (2014): sehat, kaya, dan masuk surga.

Namun, di sisi lain, munculnya sosok petahana di pilkada bisa memberi signal bahwa stok para kader yang akan memimpin daerah sedang mengalami defisit. Mereka yang senyatanya punya integritas dan kapabilitas bagus, juga jam terbang tinggi dalam politik dan kepemimpinan, tidak diakomodasi oleh partai karena dianggap kurang menjual dari segi popularitas ataupun modal ekonomi.

Belum lagi, syarat mahar yang harus dipenuhi kepada partai politik, meski sampai saat ini parpol masih malu-malu untuk mengakuinya. Padahal, dengan memelihara pola seperti ini secara tak langsung justru akan membentuk pola pikir pragmatis bagi masyarakat pemilih.

Rakyat akhirnya terkepung oleh pilihan yang terbatas dalam menentukan pemimpinnya. Ini bisa dilihat pada tren kultur politik pemilih di pilkada di mana rakyat lebih suka memilih petahana, misalnya pada Pilkada 2015 lalu di 9 provinsi dan 264 daerah, kemenangan diambil oleh petahana.

Ada banyak varian petahana lebih potensial dipilih, misalnya karena memang kinerjanya terbukti bagus, atau bisa juga karena berhasil memanfaatkan akumulasi sumber daya politik dan ekonomi selama menjabat sebagai modal untuk menarik dukungan pemilih. Masyarakat yang pragmatis dan fanatik memang sering melampiaskan kejenuhan politiknya dengan menjatuhkan pilihan pada sosok yang mereka sudah kenal dan bisa memberikan mereka sesuatu, ketimbang calon yang belum terlalu mereka kenal.

Pragmatisme Politik

Corak pragmatis seperti ini semestinya dinegasi dalam membangun suatu model pemilihan yang berkualitas, termasuk performa demokrasi lokal yang subtil. Karena, demokrasi bukanlah jalan pintas atau lampu aladin untuk mencapai kesejahteraan, namun untuk mengupayakan penegakan nilai demokrasi, membutuhkan daya ekstra merawat rasionalitas dan daya tahan mental rakyat yang kokoh dan tahan banting untuk tidak terpengaruh oleh permainan politik Laswellian (siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana).

Francis Fukuyama (2011:5), misalnya, pernah mengatakan untuk mencapai pemerintahan yang ideal, demokrasi mensyaratkan pemahaman mendalam mengenai cara bekerjanya. Demokrasi membutuhkan pelembagaan partisipasi rakyat untuk terhindar dari kekuasaan absolutisme yang membahayakan. Sayangnya, pragmatisme sikap politik pemilih di atas belum menjadi kegundahan elite dan rakyat.

Salah satunya karena kemanfaatan demokrasi masih dianggap sebagai sesuatu “yang masih akan datang”, atau bersifat eskatologis, bukan sebagai nilai yang sedang bekerja, bahkan sudah hidup pada saat sekarang dan di sini (hit and nunch).

Persoalan tak kalah urgennya yang juga sedang mengintai  Pilkada 2018 nanti adalah munculnya calon kepala daerah mantan koruptor yang dicalonkan partai. Contohnya di Kota Bekasi, Mochtar Mohamad yang pernah mendapat hukuman enam tahun penjara terkait kasus penyalahgunaan APBD Kota Bekasi, yang bakal dicalonkan oleh PDI-P sebagai calon walikota Bekasi 2018-2023. Pada Pilkada 2017, PDIP juga mengusung Ahmad Marzuki, tersangka korupsi dana bantuan politik PPP 2011-2012, sebagai calon Bupati Jepara 2017-2022.

Pertanyaannya, apakah sebegitu defisitkah kader-kader pemimpin yang ada di parpol, sehingga calon yang pernah bermasalah pun dijadikan calon kuat di pilkada oleh parpol. Alasan bahwa Mochtar Mohamad satu-satunya kader yang memiliki elektabilitas paling potensial menang dibanding kader lain tak lebih sebagai alasan pragmatis, sekaligus bukti permisivitas parpol terhadap korupsi.

Ini mungkin masih bisa diperdebatkan terkait hak politik warga negara. Tapi bagi upaya mengeliminasi korupsi, bagaimanapun, hal tersebut bisa saja menimbulkan trauma moral dalam menjaga benteng perlawanan terhadap korupsi.

Revolusi Mental Partai

Jika Plato mengharuskan bahwa pemerintahan yang ideal di era demokrasi Yunani harus dipimpin oleh para filsuf (orang-orang bijak dan pandai), maka dalam demokrasi modern saat ini, pemerintahan semestinya dijalankan oleh orang-orang yang dipilih oleh rakyat lewat prosedur dan kontestasi politik berbasis ide dan visi yang cemerlang, memiliki integritas yang mumpuni.

Dalam demokrasi, kekuasaan memang tidak menjadi konkret karena menyebar dan beroperasi di dalam individu-individu maupun institusi yang ada. Namun justru karenanya, kekuasaan menjadi produktif bagi terkelolanya banyak kepentingan. Beda dengan kekuasaan pada pemerintahan otoriter yang wujudnya sangat kentara dan hanya memusat pada individu tertentu.

Untuk itu, saatnya parpol menginjeksi spirit revolusi mental dengan berpikir investatif: mendisain model kaderisasi kontinyu, merekrut calon-calon pemimpin terbaik, steril dari patologi moral integritas dari berbagai elemen sosial-kemasyarakatan untuk disekolahkan dan ditanamkan nilai-nilai ideologi partai. Setidaknya ada dua keuntungan dari pendidikan kader tersebut, seperti yang dilakukan di China.

Pertama, pemikir Italia Vilfredo Pareto (1848-1923) mengatakan bahwa ideologi merupakan teknik politik untuk menggalang kekuatan. Dengan pendidikan politik yang kontinyu dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, distrik hingga akar rumput, kader diharapkan akan memiliki konsep, pandangan, dan cita-cita politik dan kebangsaan yang sebangun dengan nafas perjuangan partai, terutama bagaimana membangun sikap politik dan pekerja politik partai yang bermutu sesuai azas perjuangan partai.

Nilai-nilai tersebut akan menjadi perekat loyalitasnya terhadap komitmen dan perjuangan partai. Dengan demikian, pagmatisme dan oportunisme politik bisa dieliminir.

Kedua, mereka akan tumbuh sebagai kader-kader teruji dari rahim partainya sendiri. Partai tak lagi mengandalkan kader-kader luar karena partai memiliki stok pemimpin yang siap diterjunkan ke dunia politik praktis dan kehidupan masyarakat.

Kolom terkait:

Elektabilitas Partai dan Figur Kader

Urgensi Desentralisasi Partai Politik

Saatnya Golkar Menjadi Partai Modern

Saatnya Mereformasi Partai Politik

Perilaku Korupsi dan Politik Kebajikan

Umbu Pariangu
Umbu Pariangu
Lulusan S1 Administrasi Negara dari FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang. Sejak tahun 2006 mengabdi di almamater sebagai staf pengajar. Meraih gelar S2 Fisipol dari Universitas Gadjah Mada.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.