Jumat, Maret 29, 2024

Spirit Bagindo Azis Chan dan Sebuah Kota yang Merdeka

Andree Algamar
Andree Algamar
Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Bencana untuk Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan. Penerima Penghargaan Lurah Berprestasi Nasional 2010.⁠⁠⁠⁠

Upacara memperingati 69 tahun gugurnya Bagindo Aziz Chan di Lapangan Imam Bonjol Padang, 19 Juli 2016 [katasumbar.com]
Membangun kota adalah soal memerdekakan manusia. Jika masih ada yang tertindas, berarti pembangunan kota tidak berjalan dengan semestinya.

 

Alasan tersebut sudah cukup membuat seorang wali kota muda turun ke medan perang untuk berhadapan dengan sekutu. Dia adalah negosiator ulung ketika keadaan genting. Di kepalanya, kota yang diamanahkan harus tetap tetap kondusif, meski senapan dan bedil selalu mengancam.

Bagindo Azis Chan, Wali Kota Padang kedua, adalah sosok yang sedang kita bicarakan ini. Meski tidak sepopuler pahlawan nasional lainnya, kerja nyata beliau tidak bisa dipandang sebelah mata.

Sejarah kita memang tidak banyak bercerita tentang kontribusi seorang administrator. Cerita soal aktivis atau jenderal perang nampaknya jauh lebih dominan dalam catatan kemerdekaan.

Seorang birokrat dikisahkan tidak lebih dari sekadar antek penjajah. Pamong dipandang sebagai penindas bangsa sendiri lewat berbagai laku koruptif, yang dalam bahasa Jawa disebut “Londo Ireng” (Belanda Hitam) atau orang kampung saya di Ranah Minang menyebutnya sebagai “Balando Minta Tanah” (orang-orang serakah).

Paling tidak, kisah perjuangan Bagindo Azis Chan yang mati muda bisa dijadikan sebuah bantahan terhadap keyakinan tersebut. Kontribusi beliau merupakan bukti bahwa ada seorang birokrat yang rela mati demi bangsanya. Tidak hanya itu, dia juga merupakan perwujudan dari seorang pamong yang rela menyerahkan diri untuk kemerdekaan warga kotanya.

Secara pribadi, cerita tentang Bagindo Azis Chan sebenarnya sudah sangat akrab bagi saya sejak masih sangat belia. Beliau adalah sahabat karib Residen Gubernur Sumatera Barat Rosman Algamar, yang juga sekaligus Opa saya sendiri.

Bagindo Azis Chan meninggal di usia 36 tahun. Dalam hidupnya yang singkat, dia paling tidak sudah mampu mewariskan spirit petarung bagi orang muda yang mengenal sosoknya. Anak muda tidak boleh terlalu larut dalam zona nyaman, selalu siap menghadapi setiap situasi kritis. Prinsip terus membuatnya menjadi panutan berbagai organisasi kepemudaan di Sumatera Barat, bahkan Indonesia.

Nilai-nilai itu pula yang menjadi inspirasi bagi saya untuk menjalankan kewajiban yang saya emban. Sebagai petugas negara, kami harus selalu siap menjadi yang terdepan untuk menghadapi ancaman bagi setiap warga.

Ketika bertugas sebagai Lurah Kampung Pondok Kota Padang, saya masih berusia 27 tahun. Masih sangat hijau untuk menghadapi berbagai persoalan masyarakat kota yang begitu kompleks. Kurang dari tiga bulan bertugas di sana, Padang mendapat ujian gempa 2009 yang kemudian melaluluhlantakkan seluruh kota.

Saat itu, daerah yang saya pimpin merupakan salah satu kawasan yang menerima dampak terparah dari bencana tersebut. Saya masih ingat ratusan orang jurnalis media nasional lalu-lalang meliput robohnya Hotel Ambacang yang berada tepat di depan kantor kami. Ratusan orang tertimbun oleh pusing bangunan. Memori ini tidak mudah saya lupakan.

Setelah dua minggu bekerja keras bersama masyarakat, akhirnya keadaan kembali stabil. Paling tidak, kecemasan sudah sangat berkurang. Kantor lurah kami sulap menjadi dapur umum, gudang logistik, hingga arena bermain anak.

Lepas dari semua itu, kepercayaan publik adalah kuncinya. Tanpa ada rasa percaya, tidak mungkin sebuah daerah pascabencana besar dapat pulih dalam waktu yang cepat.
Warga Kelurahan Pondok sangat plural. Tidak ada kelurahan semajemuk itu di Kota Padang. Mulai dari etnis Minang, Arab, Keling, hingga Tionghoa hidup bersama di sana. Jika saat itu pemerintah gagal memunculkan kepercayaan, keadaan pasti akan menjadi semakin buruk.

Yang kami lakukan bersama jajaran adalah sebuah langkah sederhana, yakni membangun transparansi. Setiap bantuan, dana pemerintah dan dana lainnya harus dilaporkan seterbuka-terbukanya kepada warga.

Dengan demikian, tidak ada perasaan curiga-mencurigai, tipu-menipu, dan cido-mancido. Dialog pun berjalan cair dan terbuka di masyarakat yang plural. Warga pun siap diajak bekerja sama. Kita semua percaya tidak ada yang menengguk di air keruh.

Kepercayaan antarmasyarakat dan pemerintah terus tumbuh dan menguat. Kami bekerja bersama untuk memulihkan daerah Kampung Pondok. Hasilnya, kurang dari dua bulan kondisi kembali seperti sedia kala.

Singkat cerita, kerja keras kami bersama masyarakat dinominasikan menjadi salah satu kelurahan berprestasi nasional. Meski penghargaan bukanlah tujuan kami bekerja, apresiasi tersebut menambah kepercayaan diri kami dan tentunya masyarakat Padang pada umumnya.

Lewat inovasi pemerintahan berbasis mayarakat dalam merevitalisasi daerah pascabencana tersebut, akhirnya kami menerima penghargaan Lurah Berprestasi Nasional di Istana Negara. Di final, Kampung Pondok yang sempat porak-poranda tersebut berhasil menyisihkan kelurahan dari kota-kota besar Indonesia, seperti Denpasar, Maksasar, dan bahkan DKI Jakarta. Kami berangkat menghadap Presiden didampingi lima belas orang rombongan tokoh masyarakat.

Dalam membangun kota, pemerintah harus mampu menjadi kawan bagi setiap warga untuk mengatasi segala ancaman. Kepercayaan yang diberikan masyarakat adalah modal utama dalam melakukan perbaikan. Saya selalu percaya tidak ada Superman di dunia nyata, maka awal dari perbaikan adalah membangun sebuah “super team”.

Bagi saya, bangkit dari bencana bukan hanya soal ekonomi atau rutinatas pekerjaan pemerintah semata. Cerita ini juga merupakan sebuah bukti bahwa masyarakat Padang telah lulus dari ujian menjaga kepercayaan dan toleransi antar sesama. Lebih dari itu semua, keberhasilan ini juga merupakan sebuah perjuangan warga untuk mewujudkan sebuah kota yang merdeka bagi setiap warganya.

Bagindo Azis Chan sudah mengajarkan anak muda untuk terlibat dalam mewujudkan kota yang merdeka. Kita tumbuh, hidup, dan bekerja di sana. Baik buruknya daerah kita adalah tanggung jawab kita semua tentunya.

Jika masih ada ketidakadilan dalam pembangunan kota, kaum muda yang diam adalah yang paling berdosa. Orang muda harus mampu menjadi penggerak kesadaran publik. Jangan pernah lelah bergelut dengan kegagalan. Sejarah selalu memberi tempat untuk orang-orang muda yang ikut berbenah.

Baca juga:

Risma dan Surabaya: Mencari Kota yang Ramah

Jokowi, Bencana Garut, dan Tindakan Karitatif Itu

Kota yang Bingung, Bima Arya dan Ridwan Kamil

Andree Algamar
Andree Algamar
Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Bencana untuk Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan. Penerima Penghargaan Lurah Berprestasi Nasional 2010.⁠⁠⁠⁠
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.