Ketika melihat Kapal Titanic yang begitu agung, seorang anak bertanya kepada ayahnya. “Kapal ini besar sekali ya, ayah?” Lalu sang ayah menjawab, “ya, Tuhan pun tidak mampu menenggelamkannya, anakku.” Tetapi, nyatanya, kapal megah itu tetap tenggelam menabrak sebuah gunung es yang tak terlihat. Kemudian, mari kita sebut ini dengan “Titanic Tragedy”.
Dalam keseharian, Titanic Tragedy kerapkali terjadi. Tidak melulu berhubungan dengan sebuah kapal, namun juga keruntuhan hal-hal besar yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Nokia nyaris tidak bisa ditaklukkan di eranya. Di tengah konsentrasi mengembangkan teknologi perangkat, mereka harus tergusur dengan kehadiran smartphone jaringan pertemanan BlackBerry yang tidak sekuat Nokia. BlackBerry sangat biasa secara fitur, namun Nokia tidak mampu memfasilitasi orang-orang untuk saling terhubung di dalam jejaring sosial.
Di dunia bisnis tanah air juga sama, Bluebird Group yang begitu kekar sulit sekali untuk disaingi. Perusahaan kompetitor minggir dengan sendirinya. Market share mereka tetap yang paling besar di antara bisnis angkutan serupa.
Namun, apa daya, bukan perusahaan armada darat yang memancung mereka. Start-up teknologi adalah Titanic Tragedy-nya. Ribuan supirnya turun ke jalan untuk menolak gunung es yang bentuknya mereka tidak pernah duga ini.
Dalam dunia politik tanah air tahun 1980-an, Jendral Bintang Lima Soeharto terasa begitu kuat di puncak singgasana. Gagasan pertumbuhan ekonomi teknokratik yang diwarnai berbagai praktik intimidasi diterima secara umum. Banyak orang berpikir bahwa “The Smiling General” adalah penguasa Indonesia seumur hidup yang tidak mungkin digantikan.
Namun, yang terjadi, mendekati akhir Mei 1998, semuanya tidak mampu lagi untuk dikontrol.
Ekonomi kian merosot, sementara gerakan massa sudah tidak bisa dibendung.
Satu per satu orang terdekat berubah arah. Soeharto pun merasa tertipu oleh para pembisik, yang sempat meyakini bahwa rakyat masih menginginkannya. Hasilnya, Orde Baru gulung tikar. Rezim harus berkemas dari istana.
Setelah Pemilu 2009, kejadian serupa seperti terulang. Partai Demokrat mendapatkan 31% suara legislatif. Agaknya, sulit bagi sebuah partai mencapai angka tersebut sampai hari ini. Bahkan, PDI-P yang sedang demam Jokowi di Pemilu 2014 saja tidak mampu mencapai syarat pencalonan minimal presiden, yakni 25%. Secara matematis, Partai Demokrat ketika itu jauh lebih berkuasa daripada PDI-P saat ini.
Yang menghancurkan Partai Demokrat bukanlah kerja kompetitor. Namun, kasus-kasus korupsi yang melibatkan jajaran elitenya. Demokrat kehilangan lebih dari 75% pemilih di Pemilu 2014. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun turun gunung mengambil kendali.
Baru saja, kita menyelesaikan pertarungan Pilkada DKI Jakarta 2017 yang juga menyajikan sebuah drama serupa. Banyak partai berpikir bahwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak mungkin dikalahkan.
Di dalam berbagai survei, elektabilitas Ahok memang sangat tinggi jika diadu secara head to head dengan beberapa nama.
Enam bulan sebelum pilkada, lembaga survei menghadapkan nama Ahok secara head to head dengan figur seperti Yusril Izha Mahendra, Isnaeni Wanita Emas, atau Abraham Lunggana. Hasilnya, Ahok bisa mencapai angka 70%-90%.
Namun, jika Ahok diadu lewat cara yang sama dengan tokoh seperti Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung) dan Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), tingkat keterpilihannya turun drastis, yakni hanya sekitar 43%-47%.
Partai-partai pendukung tidak terlalu sadar bahwa angka solid Ahok sejak sebelum Pilkada Jakarta yang hanya kisaran 40%, sisanya undecided sekitar 30%, dan anti-Ahok berada pada angka 30%. Kecenderungan ini sudah tampak sebelum kejadian Al-Maidah.
Partai-partai lebih berpatokan pada angka head to head yang cenderung sangat tinggi, namun begitu semu. Kenyataan lainnya tampak tidak terlalu terperhatikan.
Ahok hanya menang telak jika melawan tokoh-tokoh yang tidak memiliki reputasi administratif. Namun saat berhadapan dengan tokoh-tokoh berpengalaman memimpin daerah seperti Risma dan Ridwan Kamil, suara Ahok kembali ke angka solid, yakni sekitar 40%.
Meski berhasil mengumpulkan sejuta KTP, partai-partai yang membaca kecenderungan tersebut tentu tidak perlu berpikir untuk masuk ke barisan Ahok. Jika ingin berprasangka baik, janji H. Lulung untuk potong kuping jika Ahok menang sepertinya memang memiliki sebuah dasar analisis.
Meskipun kalah, SBY sepertinya satu dari beberapa elite partai yang memahami konstalasi. Dia tampaknya begitu yakin Ahok adalah kapal Titanic. Sehingga, dia tidak ragu mengorbankan karir militer anaknya yang cemerlang. Selain Prabowo Subianto dan Sohibul Imam yang memang berbeda posisi, elite partai lainnya mengantre masuk untuk mendukung Ahok.
Begitulah Titanic Tragedy, sebesar apa pun buatan manusia pasti memiliki waktu kehancurannya. Kemegahan pada tatapan mata kerapkali membuat orang lupa tentang kekuatan sebenarnya.
Pertarungan politik adalah ujian untuk menyerang dan beradaptasi. Seorang pemenang tidak ditentukan dari seberapa menakutkan angka-angka elektabilitasnya sebelum hari pemilihan.
Menjelang Pemilu 2019, banyak partai berharap kemunculan Titanic Tragedy, mengingat partai penguasa tengah sibuk mengatasi berbagai dinamika politik saat ini. Energi penguasa tersedot banyak memikirkan berbagai ring pertarungan.
Peluang tersebut juga milik partai-partai baru, seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Mereka bisa mengambil keuntungan jika Titanic Tragedy kembali terjadi. Syaratnya, mereka tidak boleh ikut terkesima dengan kebesaran yang ditampilkan penguasa.