Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan E-KTP . Keputusan tersebut diambil penyidik KPK setelah fakta-fakta persidangan menunjukkan bukti-bukti yang cukup kuat untuk menjeratnya. Setya tidak lagi berdaya untuk menghindar dari kasus yang diduga telah merugikan uang negara sebanyak Rp 2,3 triliun tersebut.
Bagi publik sendiri, status tersangka Setya sesungguhnya bukan hal mengejutkan. Selama ini nama Ketua Umum Partai Golkar tersebut kerap disebut-sebut dalam kesaksikan di persidangan KPK. Hanya persoalan waktu saja yang menanti kepastian kapan ia dinyatakan sebagai tersangka. Dan, Senin sore, 17 Juli 2017, adalah waktu datangnya kepastian tersebut. Pada gilirannya tokoh politik yang sering disebut “sangat licin” itu akhirnya tergelincir juga.
Legitimasi KPK dan Pemerintah
Penetapan status tersangka Setya Novanto dapat disebut sebagai pembuktian KPK dan Kepolisian RI dalam konteks berbeda. Sebagian kalangan selama ini mempertanyakan sikap penegak hukum yang dianggap berat sebelah ketika, misalnya, menetapkan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab sebagai tersangka, antara lain dalam kasus chat mesum.
Dalam kasus korupsi, KPK dituduh hanya membidik kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pihak pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK).
Kini, setelah Setya menjadi tersangka kasus E-KTP, tudingan tersebut terpatahkan dengan sendirinya. KPK jelas tidak mendasarkan keputusannya pada kepentingan politik kelompok tertentu, melainkan murni karena pertimbangan hukum. Kasus Setya membuktikan bahwa fakta-fakta hukum di persidangan menjadi dasar utama keputusannya.
Seandainya pertimbangan politik yang dikedepankan, bukan tidak mungkin status tersangka Setya tidak terjadi atau setidaknya diulur-ulur waktunya. Bagaimanapun, secara konstelasi politik, Setya merupakan ketua umum salah satu partai pendukung pemerintahan Jokowi. Maka, andai saja KPK bermain politik, dalam hal ini mendukung pemerintah yang telah mengangkatnya, ia akan merasa tidak nyaman untuk menjadikan Setya sebagai seorang pesakitan. Untungnya, KPK tidak sedang bermain politik.
Selain itu, penetapan status tersangka Setya juga menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada intervensi politik pemerintah Jokowi terhadap proses-proses hukum, termasuk yang tengah ditangani KPK. Pemerintahan Jokowi membiarkan proses hukum berjalan dengan logika dan prosedurnya sendiri tanpa berusaha mencampurinya. Jokowi sudah berhasil melakukan ini seperti yang terlihat pada kasus mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan kini tampak pula pada kasus Setya.
Sebenarnya, kalau mau, Jokowi lebih aman untuk melakukan intervensi politik agar Setya tidak dijadikan tersangka. Bagaimanapun Jokowi tengah membutuhkan mitra politik ketika ia sedang mengalami serangan-serangan politik yang bertujuan untuk mengalahkannya di Pemilihan Presiden 2019 yang waktunya tinggal sebentar lagi. Namun, Jokowi tidak mau melakukan hal tersebut. Ia lebih memilih konsisten untuk tidak melakukan intervensi politik.
Dengan demikian, baik KPK maupun Jokowi sama-sama telah melakukan langkah yang berani. Keduanya tampak tidak mempedulikan tekanan-tekanan politik yang terus menderanya. KPK, misanya, diserang secara membabi-buta oleh Panitia Khusus Hak Angket, sementara Jokowi tak henti-hentinya diserbu serangan-serangan berbau propaganda atau kampanye hitam dari kelompok-kelompok penentangnya.
Tetapi justru karena itulah KPK dan Jokowi akan mendapatkan apresiasi yang tinggi dari publik Indonesia. Dengan kata lain, menetapkan Setya sebagai tersangka bisa menjadi legitimasi pubIik terhadap keduanya.
Delegitimasi/Ketidakabsahan DPR
Sebaliknya, tindakan berani KPK di atas justru bisa menjadi delegitimasi terhadap DPR. Lembaga wakil rakyat tersebut, melalui Pansus Angket, sebenarnya tengah mencoreng mukanya sendiri. Meski dibungkus dengan alasan dan dalih yang gagah atau digagah-gagahkan untuk meligitimasi pembentukan pansus tersebut, publik agaknya tidak mudah dikelabui begitu rupa. Mereka tak lebih dicap sebagai tengah melemahkan KPK.
Kenyataan sebagian besar inisiator hak angket KPK tersebut adalah mereka yang namanya disebut-sebut dalam kasus korupsi e-KTP merupakan penanda jelas yang sulit dimungkiri bahwa hak angket itu sangat kental aroma politik. Mereka seolah-olah merapatkan barisan untuk menghadang laju KPK dalam mengungkap mega skandal yang sangat menodai lembaga terhormat tersebut.
Kini pucuk pimpinan mereka–orang yang diduga tengah dilindungi oleh mereka dengan kengototannya membentuk pansus di tengah kritik banyak kalangan–telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Ibarat anak ayam yang kehilangan induk, Pansus Hak Angket DPR bukan tidak mungkin akan sulit bertaji. Nyali yang tadinya menyala-nyala pun bisa segera padam.
Sementara KPK yang tetap bergeming dengan tindakannya di atas sebaliknya akan semakin kuat. Meski DPR terus melakukan pelemahan terhadapnya melalui Pansus Angket, lembaga ini tidak mengenal kata mundur. Dan kini, dengan tindakannya menetapkan Setya sebagai tersangka justru semakin mendapatkan kekuatan moral. Sebagian besar publik kemungkinan besar akan mendukungnya.
Dengan kata lain, DPR kian terdeligitimasikan dengan penetapan elite pimpinannya sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP. Besar kemungkinan anggota-anggotanya yang lain pun, yang sudah disebut-sebut dalam kasus ini, statusnya akan segera menyusul seperti disandang Setya. Maka, Pansus Angket tentu akan semakin sulit untuk melangkah lebih jauh, kecuali mereka ingin terus dihujat publik.