Satuan Tugas Tinombala sukses melumpuhkan gembong teroris Santoso alias Abu Wardah, Senin (18/7). Capaian tersebut laik diapresiasi mengingat Satgas sebelumnya yang sejak 2015 menjalankan Operasi Camar Maleo belum berhasil menangkap Santoso lantaran TNI dan Polri belum kompak.
Namun, perlu dipahami bahwa terbunuhnya pemimpin Mujahidin Indonesia Timur yang telah berbaiat ke ISIS (Daesh) itu tidak menandakan kelompok teroris di Tanah Air telah habis.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan kelompok Santoso hanya satu komponen jaringan teroris di Sulawesi Tengah. Sel-sel teror di luar Mujahidin Indonesia Timur masih banyak dan tersebar di seluruh Indonesia. Tito sendiri mengakui aparat masih punya tugas berat melumpuhkan jaringan teroris di Jawa dan Nusa Tenggara Barat.
Jika dicermati seksama, setidaknya ada empat hal yang bisa kita baca dari kematian Santoso. Pertama, penangkapan teroris Abu Wardah terjadi saat usia Tito menjabat Kapolri baru lima hari. Fakta ini menandakan bahwa Jenderal Polri termuda dalam sejarah itu serius dan berketetapan kuat menumpas terorisme.
Rekam jejak kemampuan Tito menangani urusan teror memang menonjol. Pada tahun 2004 hingga 2010 karir Tito berkutat di bagian detasemen antiteror. Pada Maret lalu, Presiden Joko Widodo mengamanatkan jabatan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kepadanya sebelum akhirnya dua bulan kemudian ia dilantik menjadi Kapolri.
Kedua, kesuksesan Satuan Tugas Tinombala melumpuhkan Santoso menyiratkan kesolidan TNI dan Polri menumpas terorisme. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sendiri menyatakan keberhasilan Satgas menembak teroris Santoso sebagai “hadiah” untuk Tito sebagai Kapolri baru sekaligus kenang-kenangan bagi Kapolri yang telah purnatugas, Jenderal Badrodin Haiti.
Ketiga, lima hari setelah kematian Santoso, ada pemakaman yang dihadiri ratusan orang di Poso. Para pengantar jenazah DPO teroris meneriakkan takbir sebagai ekspresi simpatik dan propaganda dukungan mereka. Liputan di berbagai media lebih terasa menjadi glorifikasi heroik masyarakat atas kiprah Santoso selama mengangkat senjata ketimbang menjadi sebuah laporan informasi ke publik.
Di samping mengabarkan penindakan aksi teror, pemberitaan media atas isu terorisme semestinya juga menyorot perspektif korban. Tak salah media melaporkan berita penangkapan teroris, namun lebih bijak bila liputan tentang para korban atau keluarga korban juga menjadi bagian tak terpisahkan dari pemberitaan.
Tak keliru media meliput pemakaman teroris, namun semestinya ada pembatasan untuk tidak memuat glorifikasi atau heroisme para pelaku.
Menyaksikan berita pemakaman Santoso mengingatkan kita akan peristiwa penyemayaman terpidana mati kasus Bom Bali I, Abdul Aziz alias Imam Samudra, di Serang, di tahun 2008. Meskipun tidak terlibat jaringan teroris, ratusan orang bangga dan berkobar semangatnya kala menyambut lalu mengiringi jenazah Samudra ke pemakaman.
Fenomena bangga dan bergetar hati menyambut kedatangan teroris tampaknya telah membudaya di sebagian kelompok masyarakat. Maka, menjadi kewajiban bersama segenap elemen bangsa untuk mencegah masyarakat semakin jauh menyalahtafsirkan penangkapan atau pemakaman teroris. Tak terkecuali kalangan media, di mana heroisme dukungan dalam pemakaman teroris semestinya tidak mengalahkan empati kepada korban atau keluarga korban yang hampir pasti juga menyaksikan berita tersebut.
Liputan berita yang memuat glorifikasi para teroris bisa jadi tak ubahnya menjadi teror kedua bagi korban dan keluarganya. Memang, tak ada aturan di negeri ini yang melarang membuat glorifikasi dalam pemakaman teroris, tapi di mana rasa kemanusiaan kita hingga melupakan kepedihan orang-orang yang menjadi korban.
Membangun Perdamaian Positif
Penumpasan kelompok Santoso seharusnya menjadi masa depan cerah pembangunan perdamaian, khususnya di kawasan timur Indonesia. Sejarah mencatat pada masa transformasi politik pascarezim Orde Baru terjadi tragedi berdarah di wilayah Maluku dan Sulawesi Tengah yang hampir memecah belah bangsa. Sebelum bergerilya bersama pengikut Mujahidin Indonesia Timur, Santoso merupakan mantan kombatan yang bergelut dengan konflik horisontal di Poso.
Penangkapan dan kematian Santoso menjadi preseden baik peredaman potensi teror ataupun konflik di Sulawesi Tengah. Ini mengingat rencana Mujahidin Indonesia Timur menjadikan Poso sebagai qaidah aminah (basis aman kelompok teror) dapat dicegah aparat. Dengan ditangkapnya Jumiatun alias Umi Delima, istri Santoso yang kabur dalam penyergapan, kekuatan Mujahidin Indonesia Timur diperkirakan semakin melemah hingga hanya menyisakan 18 orang.
Pemerintah dituntut sigap membaca momentum ini. Pendekatan dengan cara keras pemberantasan terorisme telah ditempuh dan cukup menghasilkan. Banyaknya warga Poso yang menunjukkan simpati saat pemakaman Santoso harus ditandai sebagai lampu kuning potensi ide pendirian qaidah aminah tetap ada.
Tak menunggu lama setelah pendekatan keras, strategi pembangunan perdamaian positif harus diterapkan. Perdamaian positif merangkul seluruh elemen untuk secara simultan mengeliminasi hambatan yang menyumbat potensi kesejahteraan masyarakat dengan pendekatan multidisipliner (Galtung, 1960).
Jalinan dialog antarumat beragama dan kerukunan antaretnis harus diperkuat sehingga yang terbangun adalah perdamaian hasil jerih payah semua pihak. Bukan perdamaian negatif yang hanya berhenti pada upaya meniadakan perang.