Pak Gub dan Pak Wagub yang terhormat,
Selamat atas pelantikan Bapak berdua menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta untuk periode 2017 – 2022.
Mulai hari ini, saya harap Bapak berdua berbicara dengan sederhana, hemat kosa kata dan tidak muter-muter untuk menghindari kesalahmengertian warga atas maksud Bapak berdua. Saya tahu bahwa “kesalahmengertian” pendengar kadang-kadang memang menjadi tujuan politisi saat kampanye. Apakah Bapak berdua juga melakukan hal itu saat kampanye dulu, hanya Bapak berdualah yang tahu.
Biarlah semua kesalahmengertian di masa lalu, baik yang disengaja (jika ada) maupun yang tak disengaja, tertinggal di masa lalu. Terhitung mulai hari ini, saya harap Bapak berdua dapat berbicara secara lugas dan tegas agar pesan dapat dipahami oleh warga dengan baik dan agar Bapak berdua tak perlu melakukan klarifikasi sana sini di belakang hari nanti.
Yang tak kalah penting dari kelugasaan dan ketegasan adalah kejujuran. Saya yakin di tahap ini Bapak berdua paham bahwa mau menjadi jujur atau tidak, Bapak berdua akan tetap menjabat gubernur dan wakil gubernur hingga 2022. Walaupun begitu, demi kebaikan Bapak berdua di dunia dan akhirat, saya sarankan Bapak berdua memilih menjadi pribadi yang jujur tanpa kepalsuan atau kepuraa-puraan.
Kawan baik saya pernah bilang bahwa ia lebih suka kepada pejabat yang jujur, lugas, dan tegas tanpa kepura-puraan daripada pejabat yang berdusta dengan lemah lembut disertai senyuman lebar. Saya tak begitu setuju dengan kawan itu karena saya sendiri merindukan pejabat yang jujur, lugas, tegas, tanpa kepura-puraan namun lemah lembut dan menyertakan senyuman lebar.
Saya akui bahwa meminta Bapak berdua menjadi pejabat seperti yang saya idam-idamkan adalah hal yang berlebihan, walaupun sebetulnya saya akan bersorak kegirangan sekiranya Bapak berdua bersedia memenuhinya. Namun, sekiranya ini berat bagi Bapak berdua, saya harap pesan kawan saya itu saja yang Bapak berdua ingat, yaitu: “Jujur, lugas, dan tegas tanpa kepura-puraan lebih berharga daripada dusta yang lemah lembut disertai senyuman lebar”.
Pak Gub dan Pak Wagub yang terhormat,
Saya tahu Bapak berdua tak suka dibanding-bandingkan dengan pejabat lain, baik yang sudah tidak menjabat maupun yang sedang menjabat. Sepengetahuan saya, Bapak berdua juga adalah pribadi-pribadi yang selalu berusaha tampil otentik atau orisinil di hadapan publik.
Karenanya, walaupun saya sesungguhnya ingin sekali menyarankan Bapak berdua untuk meniru slogan “Kerja, Kerja, Kerja”, saya tak akan melakukan itu. Sebab, saran seperti itu akan mengingatkan Bapak berdua kepada dia, seseorang yang karakter dan gaya kerjanya belum tentu sejalan dengan Bapak berdua. Selain itu, meniru slogan demikian akan menghilangkan keotentikan karakter Bapak berdua.
Jadi, sekali lagi, saya tak akan melakukan itu. Tetapi, mohon dipahami, Pak, hati kecil ini terus saja mendorong saya untuk menyampaikan isi pesan yang terkandung dalam slogan itu kepada Bapak berdua. Mengapa? Karena saya tak ingin melihat Bapak berdua suatu saat disamakan dengan oknum pejabat yang bisanya hanya “Ngomong, Ngeles, Mbacot”.
Jadi, mohon izin, Pak, saya harus tetap menyampaikan isi pesan itu kepada Bapak berdua namun dengan cara berbeda agar tidak terkesan meniru slogan orang itu. Bolehkah saya menyarankan Bapak berdua memakai slogan yang lebih otentik, “Act, Do, Work”?
Nanti, kalau Bapak berdua meneliti dokumen anggaran di meja kerja Bapak dan menemukan ada yang tidak beres di dokumen itu, saya sebetulnya juga berniat menyarankan Bapak berdua untuk tidak ragu-ragu menulis pesan/catatan tegas seperti “Gila!” atau “Pemahaman Nenek Lu!” Tapi saran seperti ini mungkin juga akan mengingatkan Bapak berdua kepada dia, seseorang yang karakter dan gaya kerjanya belum tentu cocok dengan Bapak berdua.
Selain itu, meniru pesan/catatan demikian juga akan mengaburkan keorisinilan karakter Bapak berdua. Karenanya, saya juga membatalkan niat itu. Sebagai gantinya, saya ingin bertanya, maukah Bapak berdua mempertimbangkan untuk menuliskan pesan/catatan: “Edan iki (ditambah emotikon senyum)” atau “Can your grandma understand it (ditambah emotikon senyum)?” Tujuan saya bukan apa-apa, Pak; saya cuma ingin Bapak berdua ditakuti oleh para maling dan perampok uang rakyat.
Pesan yang satu ini khusus untuk Anda, Pak Gub.
Saya harap Bapak tidak meniru gubernur terdahulu yang maju menjadi calon presiden sebelum periode kegubernurannya selesai. Cukup beliau saja yang melakukan itu dan anggap saja keputusan beliau itu adalah takdir Tuhan untuk kebaikan bangsa ini.
Mengapa Bapak jangan sampai meniru langkah beliau? Pertama, karena takdir Tuhan biasanya tidak berulang dengan cara yang sama. Kedua, karena jika Bapak melakukannya, maka ada kemungkinan urutan peristiwa lama itu berulang. Kalau Bapak jadi Presiden, nanti Pak Wagub akan menjadi Gubernur, lalu beliau akan membujuk seseorang yang pemberani dan punya nyali untuk menjadi wakilnya.
Kemudian, beliau mencalonkan diri lagi menjadi gubernur 2022 – 2027 bersama wakilnya yang pemberani dan punya nyali itu dan berakhir kalah bahkan masuk penjara menyusul demo yang “berjilid-jilid”. Kasihan pak Wagub; kasihan rakyat, Pak.
Gak enaknya lagi, Pak, orang yang akan menjadi gubernur 2022-2027 adalah salah seorang mantan menteri Bapak sendiri. Agak gimana gitu rasanya, Pak, kalau Bapak melantik orang yang pernah diberhentikan oleh Bapak sendiri.
Jadi, agar pola itu tidak berulang, saya memohon dengan sangat kepada Bapak, please, jangan maju jadi calon presiden 2019, apa pun yang terjadi. Sekiranya Bapak bersikeras juga untuk maju menjadi capres, maka saya akan tergoda berspekulasi bahwa Bapak sebetulnya berniat menjadi gubernur semata-mata agar Bapak bisa lebih mudah maju menjadi capres. Dan, kalau memang nanti Bapak maju menjadi capres, bahkan berhasil menjadi presiden, maka, mengingat semua kekacauan dan keributan yang terjadi selama ini, mungkin saya akan mempertimbangkan untuk mempertanyakan “logika” Tuhan.
Untuk Anda, Pak Wagub, saya juga punya sedikit pesan.
Nanti kalau Bapak dipanggil polisi untuk diperiksa atas beberapa kasus hukum yang sedang menimpa Bapak, segera datang ya, Pak. Saya percaya Bapak akan menjaga kesehatan baik-baik agar tidak jatuh sakit, apalagi sampai harus dipasangi ring jantung, seperti siapa itu, saya lupa namanya.
Selain itu, beberapa waktu lalu saya mendengar kabar bahwa Bapak cukup dekat dengan perempuan-perempuan cantik. Saya tak peduli dengan kabar itu, lagipula tidak ada salahnya Bapak dekat dengan siapa saja. Yang saya pedulikan adalah bahwa Bapak mesti meneruskan sikap menghormati perempuan-perempuan yang dekat dengan Bapak, khususnya Ibu Wagub, istri Bapak.
Ada kata-kata bijak mengatakan, keindahan paras (bukan sebatas kecantikan) perempuan berusia di bawah 30 tahun dipengaruhi oleh faktor keturunan, tetapi keindahan paras perempuan berusia di atas 30 tahun ditentukan oleh keindahan pernikahannya. Jadi, Pak, sikap Bapak memperlakukan Ibu Wagub akan tercermin dari paras Ibu Wagub. Pastikanlah paras Ibu Wagub selalu indah, teduh, dan damai, Pak.
Itu saja, Pak. Sekali lagi, selamat bertugas, Pak Gub dan Pak Wagub. Mohon dimaafkan bila ada kata-kata saya yang kurang elok.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa (bukan Tuhan Yang Maha Satu, sebagaimana pemahaman seorang pengacara bukan papan atas) memberkati Bapak berdua dan keluarga. Amin.
Baca juga:
Anies-Sandi dan Mimpi Punya Rumah tanpa DP
Anies Baswedan, “Wahabib”, dan Halalbihalal yang Dipolitisasi
Menagih Janji-janji Gubernur Anies