Kamis, April 25, 2024

Santri, Nasionalisme, dan Jihad Zaman Now

Ribut Lupiyanto
Ribut Lupiyanto
Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration); Penggemar Sepakbola
Sejumlah anggota Banser dan santri mengikuti Napak Tilas sambut Hari Santri Nasional di Kudus, Jawa Tengah (20/10). Napak Tilas dalam rangka menyambut Hari Santri Nasional itu diikuti 2.500 Santri dan Barisan Serba Guna untuk mengenang perjuangan pahlawan, santri, dan ulama dalam merebut dan mempertahankan kedaulatan NKRI. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

“..Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itoe djadi fardloe kifayah (jang tjoekoep kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…).”
(Hadlaratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari, 1945)

Petikan di atas merupakan penggalan isi Resolusi Jihad NU yang dibacakan Hadlaratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama kala itu, 22 Oktober 1945. Resolusi Jihad NU menjadi pijakan perjuangan hingga mencapai puncaknya pada peristiwa 10 November di Surabaya yang juga diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Atas dasar inilah setiap 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional. Hari Santri Nasional  ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Penetapan tersebut memberi pengakuan bahwa ulama dan santri pondok pesantren memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia dan mempertahankan NKRI serta mengisi kemerdekaan.

Peringatan Hari Santri penting direfleksikan dan menjadi momentum guna memupuk rasa nasionalisme dan menggelorakannya dalam aktualisasi kebangsaan. Salah satu aktualisasi yang dibutuhkan bangsa di era sekarang atau zaman now adalah jihad membangun bangsa.

Teologi Nasionalisme

Teologi Islam memang bersifat universal dan berskala global. Namun pengakuan terhadap identitas kebangsaaan masuk dalam cakupan ajaran. Itulah bukti ajaran Islam adalah utuh dan menyeluruh (syammil wa mutakammil). Tidak ada aspek kehidupan yang luput dari teropongnya.

Diskursus Islam dan nasionalisme selalu hangat menjadi polemik. Sebagian menganggap nasionalisme merupakan produk Barat dan termasuk toghut, artinya tidak sesuai Islam. Sebagian besar sebaliknya, menganggap nasionalisme merupakan bagian ajaran Islam.

Relasi Islam dan nasionalisme tidak selalu bersifat tadhadhud atau kontradiktif. Demikian ungkap ulama moderat Mesir, Al-Banna. Muslim yang baik semestinya tidaklah antinasionalisme. Pandangan jernih semacam ini mesti diresapi kaum muslimin Indonesia guna menanamkan nasionalisme dan kecintaan terhadap NKRI. Lebih jauh lagi, nasionalisme yang tergerak atas landasan fundamental teologis semacam ini menjadi energi besar untuk dilanjutkan dalam aktualisasi kebangsaan.

Secara umum nasionalisme memuat beberapa prinsip. Antara lain prinsip kesatuan, kebebasan, kesamaan, kepribadian, dan prestasi. Smith (2003) mendefinisikan nasionalisme sebagai perpaduan dari rasa kebangsaan dan paham kebangsaan. Semangat kebangsaan yang tinggi dapat meminimalisasi kekhawatiran akan terjadinya ancaman disintegrasi bangsa.

Gelora jihad yang berangkat dari pemaknaan teologis yang utuh terbukti telah menjadi senjata ampuh mengusir penjajah dalam upaya mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Banyak pejuang dan pahlawan kemerdekaan merupakan ulama atau berasal dari kalangan pesantren.
Pekik takbir mendominasi peperangan kala itu. Bung Tomo salah satunya. Perang Surabaya bahkan dikobarkan dengan dukungan ulama melalui deklarasi “Resolusi Jihad” yang direstui KH Hasyim Asy’ari dan kalangan ulama di Jawa Timur.

Selain takbir juga dikobarkan oleh semboyan “Isy Kariiman Aumut Syahidan” atau “Hidup mulia atau mati syahid.” Beberapa ayat Al-Qur’an yang memuat kata “Jihad”, seperti surat Ash-Shaff ayat 10 dan 11 serta Al-Baqarah ayat 154.

Aktualisasi Jihad

Diksi pembangunan telah menyebabkan trauma bagi bangsa ini. Pembangunan yang diwujudkan sebagai produk developmentalisme selama 32 tahun selama Orde Baru meninggalkan luka bagi bangsa. Beragam penyakit kronis muncul karenanya, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Pembangunan mesti didudukkan pada tempatnya sebagai upaya yang mengarah pada perbaikan. Tantangan ke depan semakin kompleks baik secara internal dan eksternal. Penyakit warisan berupa korupsi masih mewabah dan belum ada tanda-tanda mengalami kesembuhan signifikan. Masalah kemiskinan, kriminalitas, penegakan hukum dan lainnya juga masih hadir.

Sedangkan tantangan global menuntut daya saing tinggi dan kecepatan dalam berdinamika. Beragam isu global masuk bertubi-tubi dan bersamaan, seperti terorisme, perubahan iklim, bonus demografi, resesi ekonomi, dan lainnya.

Kesungguhan dalam membangun bangsa mesti ditunjukkan dan dibuktikan oleh semua komponen bangsa. Di sinilah urgensi ruh jihad mesti hadir di semua sendi kehidupan bernegara dan di setiap diri anak bangsa.

Pemerintah penting menggunakan pengobaran jihad sebagai salah satu strategi dalam mengakselerasi pembangunan bangsa. Ulama, kalangan pesantren, lembaga pendidikan Islam, dan institusi ke-Islaman lainnya mesti digandeng dalam upaya ini. Doktrin jihad pembangunan penting ditanamkan kepada umat Islam sejak dini. Baik melalui pengajian di masjid, forum keagamaan, pendidikan di sekolah dan pesantren dan media lainnya.

Kalangan Islam, baik dari pesantren, ustadz, pendidikan Islam dan lainnya juga penting pro aktif mengajarkan dan menggerakkan ruh jihad pembangunan. Konteks jihad membangun di masa kini adalah bagaimana peran umat dan konsep Islam dalam pengentasan kemiskinan, pemberantasan korupsi, penanggulangan terorisme dan radikalisme, keadilan ekonomi, peningkatan iklim kompetisi global dan lainnya.

Potensi demografis sebagai negara berpenduduk Islam terbesar sedunia harus dioptimalkan. Peta jalan dan keteladanan dalam aktualisasi jihad pembangunan dapat menjadi role model bagi negara-negara lain.

Polemik antara ajaran Islam, jihad, dan nasionalisme mesti segera diakhiri dan menatap ke depan. Diskusi yang produktif justru yang harus dikembangkan. Sesekali debat memang diperlukan dalam kerangka ilmiah dan toleransi. Jika akhirnya tetap dalam posisi berbeda pendapat, maka iklim penghargaan atas perdebaan mesti dikedepankan. Kompetitor bangsa ini semakin maju ke depan dan membutuhkan akselerasi bangsa ini.

Umat Islam di Indonesia memiliki potensi kualitas guna mengimbanginya. Energi polemik tidak akan ada hasilnya jika terus dibudidayakan sekadar di mimbar perdebatan. Semangat memberikan peran bagi pembangunan mesti diprioritaskan.

Kolom terkait:

Syekh Hasyim Asy’ari dan Spirit Hari Santri

Merayakan Hari Santri dengan Puisi

Jihad Kebangsaan Kaum Santri

Mau Apa Santri di Zaman Now?

Hari Santri: Pelecehan Seksual dan Wajah Layu Santri

Ribut Lupiyanto
Ribut Lupiyanto
Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration); Penggemar Sepakbola
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.