Kamis, Desember 12, 2024

Puisi Sukmawati dan Islam Sontoloyo ala Soekarno

Munawir Aziz
Munawir Aziz
Peneliti Islam dan kebangsaan yang kini sedang riset di United Kingdom. Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Penulis buku "Gus Dur dan Jaringan Tionghoa Nusantara" (2017).
- Advertisement -

Puisi ‘Ibu Indonesia’ karya Sukmawati Soekarnoputri menggemparkan jagat netizen. Di arus komunikasi media sosial, berseliweran pendapat yang menghujat maupun yang mendukung pendapat Sukmawati. Puisi ‘Ibu Indonesia’ dibacakan Sukmawati dalam agenda ‘29 Tahun Anne Avantie Berkarya’, di Indonesia Fashion Week 2018.

Sukmawati, putri Soekarno (1901-1970) dan Fatmawati (1923-1980), menjadi komoditas perdebatan di media digital dan ruang publik, dari sepucuk puisi bergeser menjadi isu politik.

Sejumlah politisi mengkritik puisi Sukmawati yang dianggap “melecehkan agama”, dan bahkan menyinggung umat Islam. Tafsir atas puisi ini kemudian menjadi perdebatan sengit di media sosial.

Puisi ini bergeser menjadi medan kontestasi pernyataan antar politisi: Agus Harimurti Yudhoyono/AHY (Partai Demokrat), Fadli Zon (Partai Demokrat), hingga Taufik Kurniawan (PAN). Bahkan, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur juga bereaksi keras terhadap puisi karya Sukmawati tersebut.

Bagaimana memaknai puisi ‘Ibu Indonesia’ karya Sukmawati dalam konteks sosial-politik Indonesia mutakhir? Bagaimana menelisik kritik Sukmawati dari kacamata lontaran Soekarno tentang Islam Sontoloyo?

Berikut petikan puisi ‘Ibu Indonesia’, yang dibacakan Sukmawati:

Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut

Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia

Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi

Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.

- Advertisement -

Mengenai perdebatan persepsi di media sosial dan laporan media massa, Sukmawati mengklarifikasi puisinya sebagai sebuah opini dari realitas kehidupan di Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa tidak ada maksud sedikit pun untuk menyinggung isu agama, etnis dan ras tertentu.

“Saya nggak ada SARA-nya. Di dalam saya mengarang puisi. Saya sebagai budayawati berperan bukan hanya sebagai Sukmawati saja, namun saya menyelami, menghayati khususnya ibu-ibu di beberapa daerah. Ada yang banyak tidak mengerti syariat Islam, seperti di Indonesia timur di Bali dan daerah lain. Topik Indonesia Fashion Week itu adalah cultural identity. Jadi identitas kebudayaan itu kan jelas, di puisi saya seirama. Bahwa, ada identitas yang saya kisahkan dalam kata-kata berpuisi itu. Jadi, dalam pengamatan saya di dunia fashion, cadar itu bukan bahasa Indonesia. Itu adalah budaya Timur Tengah,” ungkap Sukmawati, sebagaimana dilansir Detik.com (03/04/2018).

Sukmawati menerima kritik tajam bertubi-tubi, terkait puisinya yang dianggap menyimpan kebencian. ‘Aku tak tahu Syariat Islam/ Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah/ Lebih cantik dari cadar dirimu’.

Penggalan puisi di paragraf pertama ini dianggap menyimpan penanda betapa Sukmawati tidak memahami syariat Islam, tapi dalam tarikan nafas yang sama membandingkan konde dengan cadar. Sementara, pada bagian yang lain, Sukmawati membandingkan kidung dengan suara adzan. ‘Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok/ Lebih merdu dari alunan azan mu’.

Jika kritik Sukmawati dialamatkan pada fenomena Islamisme populis, serta formalisme syariat, yang selama ini menggelembung pada konteks politik Indonesia mutakhir, tentu membutuhkan penjelasan yang lebih mendalam. Bahasa-bahasa simbolik tidak bisa dihakimi sebagai “tuduhan penistaan agama”. Namun, Sukmawati terasa salah alamat jika ingin mengusik lapisan kelompok Muslim.

Dengan puisi ini, yang hadir bukan simpati terhadap dirinya maupun trah keluarganya, melainkan cibiran sekaligus tantangan terhadap komunitas-komunitas islami yang sedang menggeliat.

Meraba Islam Sontoloyo

Reaksi berlebihan atas puisi ini sebagai komoditas politik maupun isu kepemimpinan terhadap trah Soekarno akan menciptakan perdebatan tak mendasar. Perdebatan-perdebatan di media sosial yang melebar pada pertanyaan tentang Islamnya Soekarno, merupakan upaya dekonstruksi atas legitimasi politik Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, dan pada etape berikutnya serangan terhadap PDI Perjuangan sebagai partai pendukung pemerintah.

Padahal, selama hidupnya, Bung Karno hidup dan memperjuangkan gagasan-gagasan keislaman yang tajam dan mengena.  Dalam esai-esainya sebagaimana buku Islam Sontoloyo, Soekarno melontarkan kritik tajam atas pemahaman tekstual yang mengabaikan konteks dalam memahami Islam.

“Kita royal sekali dengan perkataan ‘kafir’, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap ‘kafir’. Pengetahuan Barat itu kafir; sendok dan garpu dan kursi kafir; tulisan Latin kafir; yang bergaul dengan bangsa yang bukan bangsa Islam pun kafir!” tulis Bung Karno. Terlihat betapa kata-kata Soekarno menyimpan api.

Di sisi lain, Soekarno juga mengungkap betapa bahayanya memendam akal, melupakan sejarah, serta hanya melihat fikih tanpa pemahaman mendalam. “Hampir seribu tahun akal dikungkung sejak kaum Mu’tazilah sampai Ibn Rusyd dan lainnya. Asy’arisme pangkal taklidisme dalam Islam. Akal tidak diperkenankan lagi. Akal dikutuk seakan-akan dari setan datangnya,” jelas Soekarno.

“Kebanyakan mereka tidak mengetahui sedikitpun dari sejarah itu. Sejarah, apalagi bagian ‘yang lebih dalam’, yakni mempelajari kekuatan-kekuatan masyarakat yang menyebabkan kemajuan atau kemundurannya sesuatu bangsa. Sejarah itu sama sekali tidak menarik mereka punya perhatian,” ungkap Soekarno dalam “Surat-Surat Islam dari Endeh”. “Janganlah kita kira diri kita sudah mukmin tetapi hendaklah kita insyaf.. bahwa banyak di kalangan kita yang Islamnya masih Islam sontoloyo…” begitu kritik tajam Soekarno.

Kritik tajam Soekarno dilengkapi dengan kerumunan argumentasi yang solid dan terukur, sedangkan kritik pada puisi Sukmawati terbang dengan sayap tafsirnya. Untuk menjernihkan kondisi, Sukmawati perlu memberi “sukma” pada puisi-puisinya, agar lebih mengena sebagai kegelisahan sekaligus kritik atas fenomena Indonesia mutakhir.

Menginjeksikan sukma pada puisi lebih penting dari pada menyimpan bara api kebencian dan prasangka.

Munawir Aziz
Munawir Aziz
Peneliti Islam dan kebangsaan yang kini sedang riset di United Kingdom. Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Penulis buku "Gus Dur dan Jaringan Tionghoa Nusantara" (2017).
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.