Dilirik sepintas dari judulnya, tentu besar kemungkinan tulisan ini akan dipahami pembaca Geotimes sebagai bentuk dukungan saya terhadap usulan Partai Demokrat. Memilih berbeda yang lain, anti-mainstream, Partai Demokrat menjadi satu-satunya partai politik yang menghendaki tiadanya ambang batas dalam pencalonan presiden alias presidential threshold 0%.
Tak mengapa. Sebagai penulis, saya harus menerima kenyataan pahit jika sampai pembaca menilai demikian. Tapi satu hal yang pasti, terlepas apa pun tujuan Partai Demokrat, presidential threshold 0% adalah ide yang bagi saya sendiri benar-benar sejalan dengan cita-cita kemerdekaan bangsa ini: menjamin kebebasan tiap-tiap individu; menjamin hak politiknya, hak memilih dan dipilih sebagai warga negara.
Saya selalu yakin, jika Indonesia benar-benar mau keluar dan tampil sebagai bangsa pemenang, yang merdeka, yang mandiri, dan yang optimistis menatap masa depan, maka tak ada jalan lain kecuali demokrasi sebagai sistem politiknya wajib menjamin tiap-tiap kebebasan individu warganya tanpa kecuali. Dan ini bukan semata persoalan hak, melainkan konsekuensi logis (kewajiban) yang mesti negara tanggung sebagai bangsa yang sudah mendeklarasikan diri menjadi bangsa yang bebas-merdeka.
Memang, demokrasi tidak serta-merta memberi jaminan akan kondisi yang demikian. Di banyak negara, ada demokrasi yang benar-benar bisa menjamin. Tetapi tidak sedikit pula yang hanya mampu berlaku sebaliknya. Tentu semua tergantung kepada siapa yang berkuasa, tergantung pada kebijakan apa yang diketuk atau ditetapkan elite politiknya di atas sana.
Tetapi untuk konteks Indonesia, bersandar pada prinsip atau cita-cita kemerdekaan yang sudah diproklamirkan secara gagah nan lantang puluhan tahun silam, maka tak ada alasan untuk tidak memanifestasikan demokrasi dalam bentuknya yang membebaskan. Sekali lagi, ini konsekuensi logis yang mesti negara tanggung!
Namun, sayang ribuan sayang, mewujud-nyatakan cita-cita nyatanya tak semudah membalik telapak tangan. Alih-alih negara mengambil banyak peran dalam upaya perwujudannya, justru negara sendiri yang tampak mengkhianati kesepakatan bersama. Negara seolah melupakan apa yang sudah dirumuskan mati-matian oleh founding fathers negeri ini sebelumnya.
Salah satu bentuk pengkhianatan itu tercermin erat dalam upaya pemberlakukan presidential threshold. Negara sampai ngotot-ngototan segala, bahkan mengancam akan menarik diri dari pembahasan jika keinginannya tidak terakomodasi. Lantas, apa yang tampil mencolok dari sikap negara seperti ini? Tak lain hanya satu: pembungkaman kebebasan individu atas nama demokrasi.
Demokrasi Menjamin Kesamaan Kesempatan
Mungkin negara tak sadar atau mungkin benar-benar tak memahami bahwa demokrasi itu bukanlah menjamin kesamaan kondisi, melainkan menjamin kesamaan kesempatan. Jika presidential threshold sebesar 20-25% dijadikan syarat umum, maka di sana demokrasi dipaksakan hanya untuk menjamin kesamaan kondisi, dan bukan pada kesamaan kesempatan.
Tidak mudah memang menemui ujung dari perdebatan yang hanya diwarnai dengan pragmatisme politik. Apalagi negara (yang berkuasa hari ini) sendiri ikut-ikutan dalam pertarungan kepentingan, yang saya duga-duga, hanya demi memantapkan jaminan kekuasaan di masa depan berikutnya.
Bersama tiga partai pendukungnya, yakni PDI Perjuangan, Golkar, dan Nasdem, negara tampak memainkan kekuasaan dengan mengancam sana-sini jika sampai presidential threshold berjumlah 20-25% itu tidak terpenuhi.
Di kelompok yang lain, mungkin bisa dikatakan sebagai barisan sakit hati, meski posisinya sebenarnya merupakan partai pendukung pemerintah, yakni PKB, PPP, Hanura, dan PAN, juga tampak ngotot memaksakan 10-15%. Terlebih kepentingan ini diusung dan didukung juga oleh partai oposisi, yakni Gerindra dan PKS.
Satu-satunya partai yang paling berbeda sendiri, yang mengusulkan 0%, adalah Partai Demokrat. Dan, sialnya, saya cenderung sepakat dengan usulan partai terakhir ini. Bukan karena berbeda sendiri, anti-mainstream, melainkan—sekali lagi—sejalan dengan cita-cita kemerdekaan yang saya hayati.
Terlepas dari itu, yang ingin saya tekankan di sini adalah mengapa tidak kita menganulir saja presidential threshold 0%? Bukankah semua golongan justru bisa ikut maju dalam pertarungan politik dengan sistem yang seperti ini? Mengapa negara seolah takut jika aturan di UU Pemilu lama itu berubah?
Ok-lah, alasannya mungkin karena proses pemilihan calon presiden memerlukan dukungan riil. Dukungan tersebut terlihat dari jumlah suara yang diperoleh partai politik. Dan partai politik, suara yang ia raih, adalah representasi suara rakyat.
Pertanyaannya, apakah kebenaran melulu ditentukan oleh pilihan mayoritas? Jika alasannya hanya untuk menghadirkan calon-calon yang berkualitas, justru dengan pertarungan bebas tanpa bataslah maka semuanya akan berakhir dengan yang terbaik. Itu jika kita mau optimistis memandang tiap-tiap individu manusia.
Sungguh, saya tidak melihat ada upaya nyata ke arah pengisian cita-cita kemerdekaan itu seketika negara ngotot mempertahankan ambang batas. Hanya demi menyambut Pemilihan Umum 2019 mendatang, negara seolah kembali melakoni kejahatan akan kebebasan.
Padahal, di negara yang menggunakan demokrasi sebagai sistem politiknya, tentu hak politik tiap warga harus menjadi tumpuan utamanya. Aturan apa pun yang bisa menciderai dan apalagi melanggar hak-hak politik warga, ia tak bisa ditolerir dengan atau tanpa alasan apa pun. Itu harus tersimpul mati. Tidak bisa tidak.
Jika alasannya hanya untuk tampil konsisten seperti yang sudah-sudah (Pilpres 2014) sebagaimana Presiden Jokowi serukan, saya rasa itu bukan bentuk kekonsistenan pada sistem demokrasi. Itu tak lebih sebagai bentuk pengulangan kesalahan-kesalahan saja alias hanya “konsisten” pada kesalahan.
Jangankan 20-25%, 0,0001% saja itu sudah ternilai pelanggaran. Sekali lagi, ketika itu menyangkut hak politik warga, sekecil apa pun rintangannya, jika benar-benar ingin konsisten pada sistem politik demokrasi, maka selamanya tak bisa kita benarkan.
Sebagai warga negara, tentu saya sangat menyesalkan sikap negara seperti itu. Padahal cita-cita kemerdekaan kita sendiri sudah mematrikan bahwa kebebasan di mana hak-hak politik warga sepenuhnya menjadi tumpuan utama dalam pengambilan keputusan. Dan demokrasi, sekali lagi, harus menjamin kesamaan kesempatan dalam partisipasi politik.
Tahu Diri
Meski saya punya pandangan seperti itu, bahwa presidential threshold tidak bisa dimungkinkan kehadirannya di negara yang bersistem demokrasi, saya juga harus tahu diri, tahu sistem demokrasi yang bagaimana yang menaungi saya. Artinya, presidential threshold 0% itu hanya dimungkinkan berlaku dalam satu konsep negara bernama Negara Kebebasan.
Tak satu pun, atau mungkin saja belum, ada negara di dunia ini yang bercorak demikian. Bahkan di negara yang menganut paham kebebasan sekalipun seperti Amerika misalnya, tetapi dalam praktiknya, sistem demokrasi yang dijalankan adalah demokrasi minim kebebasan.
Seperti juga di Indonesia, dalam hal-hal tertentu, kebebasan itu memang tampak dan dijaga. Tetapi dalam hal-hal tertentu lainnya, kebebasan warga justru dibungkam. Bentuknya? Lihatlah upaya pemberlakuan presidential threshold di mana warga yang sebenarnya punya hak politik berupa hak pilih, terpaksa tereduksi karena harus melalui kendaraan politik berupa partai politik.
Kendati ada kendaraan politik, tetap saja harus melewati seleksi-seleksi jika presidential threshold 0% sampai tidak dianulir. Itu artinya, yang berpartai dan yang punya modal kursi di DPR dan atau punya suara nasional sajalah yang berhak diberi hak politik, berhak diberi hak pilihnya sebagai warga negara.
Tetapi lagi-lagi saya harus tahu diri. Ini Indonesia, bukan Negara Kebebasan sebagaimana konsep negara yang saya idam-idamkan. Meski bersistem demokrasi, sistem itu sendiri belum tentu dan pasti menganut paham kebebasan yang saya maksud. Itu baru sebatas satu syarat untuk kemudian benar-benar menghadirkan satu konsep negara semacam itu di kemudian hari.
Jadi, menjaga demokrasi adalah juga bentuk penjagaan pada kebebasan. Karena biar bagaimanapun, kebebasan hanya mungkin tercapai secara total, bukan dalam sistem politik yang aneh, seperti sosialisme atau komunisme misalnya, apalagi sistem khilafah, melainkan hanya dalam sistem demokrasi itu sendiri.