Partai Hati Nurani Rakyat sedang membara. Pengurus pusatnya terbelah. Ada kubu Manhattan, ada kubu Ambhara. Masing-masing mendaku sebagai pemilik partai yang sah.
Konon, konflik di tubuh Partai Hanura dipicu masalah mahar di pemilihan kepala daerah. Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) diduga mengutip sejumlah uang mahar dari calon-calon kepala daerah yang akan diusung Hanura. Kader-kader Hanura yang tidak setuju dengan ulah sang ketua menyatakan mosi tidak percaya. Dipimpin Sekretaris Jenderal Hanura Syarifuddin Sudding, mereka mengumumkan pemecatan OSO dari jabatannya di Hotel Ambhara (15/1/2018).
Tak mau kalah, pada hari yang sama OSO bersama para loyalisnya mengumumkan pemecatan Syarifuddin Sudding di Hotel Manhattan. Kubu Manhattan menganggap manuver Sudding sebagai gerakan liar; memecat ketua umum di luar prosedur yang digariskan AD/ART partai.
Tudingan itu dijawab kubu Ambhara dengan menggelar musyawarah luar biasa (munaslub) di kantor DPP Partai Hanura (18/1/2018). Dalam munaslub yang diikuti 27 DPD dan 418 DPC tersebut jabatan ketua umum Hanura dipercayakan kepada Marsekal Madya TNI (Purn.) Daryatmo.
Persoalannya menjadi pelik karena sebelum munaslub itu digelar, OSO sudah terlebih dahulu menyingkirkan tokoh-tokoh Ambhara dari formasi baru pengurus Partai Hanura yang disebutnya telah disahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Artinya, perpecahan pengurus di tubuh Hanura saat ini sudah mulai memasuki fase sengketa antara kubu de facto dan kubu de jure.
Dengan postur konflik seperti itu, mengharapkan prahara yang melanda Hanura segera reda sangat kecil peluangnya. Dan peluang yang kecil itu ada di tangan Jenderal TNI (Purn.) Wiranto. Sebagai tokoh pendiri sekaligus ikon Hanura, Wiranto, dengan kharisma yang dimilikinya, belum terlambat untuk mencoba mendamaikan dua kubu yang berseteru itu. Terkecuali bila ia terlibat dalam “desain” konflik itu (untuk menghidupkan kartu pada tahun 2019, misalnya), maka persoalannya menjadi lain.
Upaya pengambilalihan kekuatan politik melalui skema pemecahan pengurus partai sangat berisiko. Konflik berkepanjangan yang mendera Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) beberapa waktu lalu membuktikan hal itu. Keduanya tampak kesulitan menemukan mekanisme penyelesaian konflik yang jitu. Bakan, mekanisme penyelesaian melalui jalur hukum pun tak memadai.
Lingkaran Setan Penyelesaian
Upaya penyelesaian konflik kepengurusan partai sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) dapat ditempuh melalui tiga jalur. Pertama, keputusan pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. UU Parpol mengatur agar kepengurusan partai didaftarkan kepada kementerian. Pengakuan pemerintah terhadap kepengurusan partai, meskipun sifatnya sebatas administratif, menjadi penentu apakah sebuah partai dapat mengikuti pemilu atau tidak. Sebesar apa pun sebuah partai jika tidak dapat mengikuti pemilu tentu tidak akan mampu mencapai tujuannya.
Kedua, putusan mahkamah partai. Eksistensi mahkamah partai diakui oleh UU Parpol sebagai sarana partai untuk menyelesaikan konflik-konflik internalnya. Putusan mahkamah partai bersifat final dan mengikat.
Ketiga, putusan pengadilan negeri (PN). Penyelesaian melalui jalur PN dapat ditempuh apabila konflik tidak dapat diselesaikan oleh mahkamah partai. Perkara konflik internal partai di PN masuk dalam domain perdata sehingga putusannya hanya berlaku mengikat pada pihak-pihak yang bertikai.
Pengalaman menunjukkan, saat konflik internal terjadi di tubuh Partai Golkar dan PPP, beberapa skema penyelesaian tersebut ditempuh sekaligus. Celakanya, hasil yang didapatkan tidak sinkron antara jalur yang satu dengan jalur yang lain, sehingga penyelesaian menemui jalan buntu.
Belum lagi jika melihat banyaknya celah dalam ketentuan UU Parpol yang bisa dimanfaatkan oleh pihak yang bertikai untuk berkilah. Keputusan pemerintah, misalnya, bisa dipersoalkan oleh pihak yang kalah dengan menuduh keputusan itu sarat dengan kepentingan politik penguasa. Tuduhan adanya campur tangan politik penguasa biasanya akan berujung pada gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Itulah yang terjadi pada konflik DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jawa Timur (2006) dan DPP PKB (2008).
Sementara putusan mahkamah partai juga tidak akan efektif. Pihak yang kalah dengan mudah dapat menuduh para personel mahkamah partai punya konflik kepentingan. Pasalnya, anggota mahkamah partai adalah kader partai yang sudah pasti memiliki “nasab politik” dengan pihak yang berkonflik. Kurangnya penghormatan terhadap putusan mahkamah partai dapat dilihat dari sikap salah satu kubu dalam menanggapi putusan Mahkamah Partai Golkar (2015).
Begitu juga dengan putusan pengadilan negeri yang tidak menjamin akan meredakan persoalan. Memang putusan PN (seharusnya) menjadi dasar keputusan pemerintah dalam mengesahkan kepengurusan partai. Namun, setelah menjadi keputusan pemerintah, keputusan itu masih bisa digugat ke PTUN apabila proses perkara di jalur PN tidak memberi kesempatan kepada mahkamah partai untuk menyelesaikannya.
Pendeknya, selagi pihak yang kalah masih memiliki energi dan celah untuk membalik keadaan, konflik internal yang panjang dan melingkar-lingkar itu akan terus dijalani. Meskipun melelahkan dan hanya menemukan lingkaran setan, perebutan tampuk pimpinan partai tampaknya masih mending untuk ditempuh daripada harus mendirikan partai sempalan. Alasannya jelas, mendirikan partai baru dalam sistem kepartaian saat ini bukan perkara mudah. Bukan pula perkara murah.
Bagaimana Hanura? Konflik dilanjut? Jawab dengan hati nurani-mu sendiri.