Selasa, Oktober 15, 2024

Prabowo, Oposisi Integratif, dan Demokrasi Kita

Jannus TH Siahaan
Jannus TH Siahaan
Doktor sosiologi dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Tinggal di Bogor.

“Pendekar tak takut berjalan sendiri,” demikian ucapan pamungkas Prabowo Subianto kepada awak media setelah acara Peringatan Ulang Tahun ke-8 Partai Gerindra di Kantor DPP Partai Gerindra, Ragunan, Jakarta Selatan, sekira awal Februari tahun lalu (6/2/2016). Jawaban tersebut nampaknya sekaligus menjadi penegasan bahwa beberapa partai pentolan dalam Koalisi Merah Putih (KMP) ketika itu akan merapat dan parkir di istana. Sebut saja misalnya Partai Amanat Nasional (PAN), Golkar versi Bali dan Ancol, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi Munas Jakarta.

Mantan calon presiden nomor urut satu itu menegaskan, Gerindra tetap setia kepada rakyat Indonesia dan tak pernah takut untuk membela kepentingan bangsa dan negara. “Gerindra setia kepada rakyat Indonesia, setia kepada merah putih, setia kepada Republik Indonesia. Kita enggak pernah surut cinta kita kepada bangsa negara. Kita enggak pernah takut yang benar itu benar, yang salah itu salah. Kita tak akan takut membela kepentingan bangsa dan negara. Kalau enggak sanggup lebih baik kita minggir saja,” seru Prabowo.

Nampaknya cukup dalam pernyataan-pernyataan beliau ketika itu. Pendekar yang lari tunggang langgang, kehabisan jurus, kemudian tanpa teding aling-aling meninggalkan markasnya untuk mendapat berbagai konsesi dari lawan lama yang belum juga puas dengan kemenanganya, langsung terkena poin-poin penyataan beliau. Ucapan tersebut adalah pernyataan ikhlas menjomblo tapi penuh dengan analogi-analogi logika terbalik yang menyatakan kekecewaan atas mantan kawan-kawan dekatnya.

Prabowo maupun Gerindra nampaknya sadar betul bahwa tak ada kawan yang abadi di dalam politik. Maka, memahami segala model keputusan yang diambil oleh mantan kawan-kawan sekoalisinya, off the record maupun on the record, mau tak mau adalah sikap politik realistis yang layak diambil untuk saat itu. Perkara kemudian hanya tersisa Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS),  tentu itu perkara lain.

Dalam konstelasi politik yang masih sangat fleksible, di mana gambar jelas tentang arsitektur politik istana belum terlihat ketika itu, peta konfigurasi dukungan politik belum baku, tarikan dan dorongan masih sangat dinamis. Karenanya, peluang-peluang bagi yang belum mendapatkan konsesi politik masih sangatlah besar. Para pihak yang terpaksa bergabung dengan pemerintah akibat buah pahit  kekisruhan internal atau yang memang menjilat sana sini untuk diajak masuk ke dalam istana adalah mangsa empuk dari konstelasi politik semacam itu.

Namun, ada logika analogis Prabowo yang agak berbeda saat itu. Pernyataanya terdengar netral, tapi terkesan dalam dan menendang. Di balik pernyataan itu, tersimpan cibiran sarkastis bahwa yang keluar dari rumah besar bernama KMP adalah pendekar-pendekar gagal yang ketakutan berlama-lama di luar lingkaran kekuasaan istana. Apalagi jika disandingkan dengan pernyataan Ade Komarudin beberapa waktu sebelumnya yang juga membawa-bawa kata “ikhlas” sebagai aksentuasi pernyataan kebersediaan Golkar bergabung dengan lapak istana. Keduanya terkesan sangat kontras, walau menggunakan kata sifat yang sama, yaitu ikhlas. Yang satu ikhlas ditinggalkan dan yang satu ikhlas meninggalkan.

Terlepas ada atau tidak logika sindir-menyindir di balik pernyataan itu, kesamaan pada satu kata itu menandakan satu hal: mereka bercerai dengan baik-baik, tanpa intimidasi dan paksaan, apalagi KDRT politik. Mungkin saja pihak Gerindra merasa dikhianati, atau pihak Golkar dan PAN merasa tak dinafkahi, tapi at the end, mereka sepakat berpisah baik-baik, tanpa keributan dan aksi saling caci maki layaknya yang terjadi di dalam internal Golkar saat muncul kongres kembar Bali dan Ancol.

Setidaknya aksi reaksi ketika itu menjadi poin penting dari kedewasaan politik kedua belah pihak. Pesan moralnya, jikapun harus bercerai, bercerailah dengan ikhlas dan baik-baik. Jika yang satu ingin berselingkuh, berselingkuhlah dengan ikhlas layaknya Golkar dan PAN. Dan jikapun tak beruntung alias ada di posisi terkhianati karena ada yang berselingkuh, maka terimalah dengan ikhlas. Karena, bagi yang berselingkuh, logikanya tetaplah sama, berselingkuh itu indah.

Karena itu, menerima dengan ikhlas adalah pilihan yang rasional. Logikanya, wong yang berselingkuh saja  ikhlas kok, masak yang tidak berselingkuh memaksakan diri untuk tidak ikhlas. Tentu tidak lucu!

Secara komparatif, meskipun agak berbeda dengan sikap Megawati dan PDIP saat dua periode memilih bertahan di jalan oposisi, Prabowo dan Gerindra juga memilih jalur oposisi, tapi oposisi yang inklusif. Di satu sisi, tetap konsisten dengan visi misinya alias tetap berdiri konsisten di luar pemerintahan, tapi di sisi lain juga percaya bahwa komunikasi politik dengan siapa pun adalah hal yang sangat penting.

Prabowo menyempatkan diri hadir dalam pelantikan Presiden Joko Widodo dan meluangkan waktu untuk kembali bertemu dengan Sang Presiden di Istana Bogor saat ketakutan atas semakin membesarnya konflik internal di dalam kubu pendukung presiden kian menyeruak. Sementara itu, ketika Megawati ada di jalan yang sama, hampir sepanjang pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), beliau mengambil jalan oposisi yang eksklusif dan menutup diri dengan mantan lawan tanding dan penentang-penentangnya.

Karenanya, kenaikan suara PDIP lebih banyak dianggap sebagai implikasi positif dari pembusukan-pembusukan yang dialami oleh lawan-lawan utamanya, seperti hantaman bertubi-tubi yang menyeret Ketua Umum Demokrat ketika itu, Anas Urbaningrum, dan kasus yang menimpa presiden PKS.

Berbeda dengan Gerindra, extra effort dari partai yang didirikan oleh Prabowo itu terasa lebih dahsyat. Ya, karena, selain mendulang untung dari pembusukan politik yang dialami partai-partai utama, Gerindra juga membuktikan bahwa ada usaha-usaha strategis partai yang terlihat dari diraihnya peringkat ketiga partai pemenang pasca pileg dengan kenaikan yang sangat bombastis. Adapun PDIP hanya mengantongi suara lama yang hilang dengan kenaikan yang tidak terlalu drastis, meski keduanya sama-sama ada di jalur oposisi ketika itu.

Selain itu, konsistensi Gerindra juga terlihat lebih lurus. Sebab, meskipun PDIP ada di luar kekuasaan kala itu, tapi kader-kadernya yang terlibat kasus korupsi juga terhitung tidak sedikit. Jadi, tak jauh berbeda dengan kader-kader partai yang masuk ke dalam pemerintahan, sementara Gerindra nyaris tidak memiliki kader yang bermasalah secara hukum ketika itu.

Hanya beberapa waktu belakangan, setelah banyak kadernya yang mendapat tempat di pusat maupun daerah, Gerindra akhirnya ikut banyak menyumbang jumlah koruptor yang dijaring KPK. Tapi terlepas dari itu semua, toh terbukti  setelah dua periode puasa, PDIP akhirnya kembali meraih masa jayanya, walau bukan lagi menjual nama Megawati.

Lalu pertanyaanya, apakah Gerindra akan mendulang sukses yang sama di tahun 2019 nanti, meskipun mengambil jalan oposisi yang lebih inklusif? Peluang tentu sangat besar, apalagi jika Gerindra dan Prabowo memainkan kartu yang tepat. Tetap konsisten dengan posisi politik, kritis terhadap penguasa dan patriotis terhadap kepentingan bangsa, serta tetap memainkan politik bersahabat dengan istana dan terbuka berkomunikasi dengan siapa pun, plus mampu memainkan kartu muda mengingat besarnya jumlah pemilih muda di gelaran pileg mendatang.

Jika tetap bersikap apresiatif terhadap segala prestasi istana yang mendulang decak kagum pemilih, besar kemungkinan Gerindra akan mampu mendulang suara  swing voter yang kritis, sama dengan ketika Gerindra berteriak lantang menolak aksi-aksi tak menguntungkan rakyat yang dipertontonkan istana.

Sejatinya, kartu oposisi yang dimainkan Gerindra dan Prabowo terbilang cukup unik. Tidak semua aksi penguasa direaksi secara oposisionis oleh Gerindra, terutama oleh Prabowo. Yang paling mutakhir, saat Istana khawatir dengan Aksi 212 dan segala turunannya, yang ditengarai sebagai salah satu kartu yang dimainkan oleh Cikeas, Prabowo berdiri tegak dan memberikan dukungan penuh pada Jokowi. Mereka saling mengunjungi dan memberi dukungan politik, yang akhirnya membuat Jokowi yakin bahwa pemerintahannya tak akan terkena imbas lebih jauh dari gerakan massif tersebut.

Singkatnya, berdiri di luar pemerintah dan menjadi oposisi memang tidak sama dengan pemberontak; persisnya saat penguasa lengah dan giyah, mereka justru mengambil peluang.

Nampaknya Prabowo cukup percaya dengan demokrasi yang membutuhkan ritme pemilihan untuk melangsungkan pergantian kekuasaan. Dan yang cukup melegakan, bagi Prabowo, persatuan dan kesatuan adalah di atas segalanya, alias di atas intrik dan kepentingan politik sesaat. Sementara itu, dari sisi yang lebih luas, keputusan Gerindra (termasuk PKS tentunya) untuk tetap berjuang di luar pemerintahan adalah keputusan yang cukup menguntungkan bagi demokrasi kita.

Istana membutuhkan penetang agar kebenaran tidak menjadi monopoli satu pihak. Istana membutuhkan oposisi untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambilnya bisa dikoreksi secara bersama-sama. Dan istana membutuhkan oposisi agar popularitas di balik kemenangan penguasa tidak melenakan publik dan tidak menjerumuskan penguasa ke dalam kebijakan-kebijakan sepihak yang seenaknya berlindung di balik nama rakyat pemilih.

Di sinilah signifikansi oposisi sebenarnya. Kritik dan tekanan terhadap penguasa memang sangat diperlukan, tapi integrasi dan keutuhan Indonesia sebagai negara bangsa adalah di atas segalanya.

Kolom terkait:

Peluang Prabowo Pasca Pilkada Jakarta

Jokowi dan Koalisi Gondrong yang Sehat

Jokowi, Golkar, dan Nyinyiran Fadli Zon

Aliansi Dua Jenderal?

Menakar Siasat Politik Dua Jenderal

Jannus TH Siahaan
Jannus TH Siahaan
Doktor sosiologi dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Tinggal di Bogor.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.