Kamis, Desember 5, 2024

Politik Memaafkan Masa Lalu

- Advertisement -

[ilustrasi]
Politik yang berkembang di Indonesia adalah politik yang sangat mempertimbangkan masa lalu. Setiap orang yang hendak menjadi pejabat publik, di semua level, akan dilihat rekam jejaknya, dikorek-korek masa lalunya. Jika punya masa lalu yang buruk, kemungkinan besar tidak akan lulus ujian menjadi pejabat publik.

 

Maka, bisa dikatakan percuma saja Anda sekarang berprestasi, jika punya masa lalu yang buruk. Percuma Anda kreatif dan memiliki banyak inovasi, jika ternyata pernah menipu di masa lalu .

Dunia politik kadang bertindak kejam, terutama bagi siapa pun yang punya masa lalu yang kelam.

Padahal kalau kita baca sejarah manusia-manusia hebat, tak semuanya lahir dan tumbuh sempurna. Tidak sedikit di antara mereka yang terpuruk, bahkan terjerembab dalam kenistaan, sebelum akhirnya benar-benar bangkit dan sukses. Bahkan mungkin ada juga yang terbuang sebelum akhirnya menjadi bintang.

Simaklah, misalnya, riwayat para sahabat Rasulullah SAW, ada di antara mereka yang hendak membunuh utusan Tuhan itu sebelum akhirnya bertaubat dan menjadi sahabat dan pengikut setianya. Contoh yang paling nyata adalah Umar bin Khattab. Sebelum menjadi sahabat sejati sang Nabi, Umar adalah orang yang bernafsu untuk mengenyahkannya.

Dalam ajaran Islam ada suratan nasib “su’ul khatimah” dan “husnul khatimah”. Yang pertama adalah orang yang akhir hidupnya dalam gelimang dosa, bahkan jika ia punya masa lalu yang baik, sama sekali tidak penting. Sedangkan yang kedua adalah sebaliknya, orang yang akhir hidupnya dalam kebajikan, walaupun mungkin masa lalunya sangat tidak baik.

Bahkan untuk menjadi husnul khatimah (akhir hidup yang baik) syaratnya cukup sederhana, yakni pada saat menjelang ajalnya mengucapkan “laa ilaha illallah” (tidak ada Tuhan selain Allah). Kalimat sederhana yang kabarnya amat sulit diucapkan bagi yang bergelimang dosa.

Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yang menjadikan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dari Pancasila. Tapi dalam praktik, agama seperti dicampakkan pada saat kita menjawab pertanyaan, bagaimana seharusnya kita memperlakukan (kesalahan-kesalahan) masa lalu. Alih-alih memaafkan, yang kita pupuk adalah dendam.

Dendam terhadap masa lalu kita abadikan dalam Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR), dalam Undang-undang, yang sejauh ini tidak bisa kita ubah, apalagi kita hapus. Apakah dendam bisa menuntun kita ke jalan yang lebih baik? Tidak. Kata Nelson Mandela, dendam ibarat minum racun dengan harapan musuh kita mati karenanya.

- Advertisement -

Menurut junjungan umat Muslim, Muhammad SAW: “Orang yang paling dibenci di sisi Allah adalah orang yang menaruh dendam kesumat” (HR. Muslim). Dalam Islam memang ada qishash, yakni hukuman setimpal bagi pelaku kejahatan, misalnya mata dibayar dengan mata, hidung dibayar dengan hidung, dan nyawa pun harus dibayar dengan nyawa. Akan tetapi, dalam dalil-dalil qishah senantiasa diikuti prasa bahwa memaafkan jauh lebih baik dan mulia.

Itulah ajaran Islam yang menjadi agama utama di Indonesia. Lantas, diambil dari ajaran agama apakah ketentuan-ketentuan hukum yang mengabadikan dendam kita terhadap kesalahan masa lalu itu?

Hidup manusia akan selalu dilihat dalam sejarah yang utuh, dari lahir, tumbuh besar, dewasa, tua, dan meninggal dunia. Bagaimana cara memberlakukan masa lalu yang proporsional, ada kata-kata bijak dari Sukarno, presiden pertama RI: “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa lampau sangat berguna sebagai kaca benggala daripada masa yang akan datang.”

Artinya, kira-kira, kita tidak boleh dibutakan oleh masa lalu. Masa lalu adalah cermin untuk melangkah ke masa depan. Masa lalu yang buruk cukup dijadikan pelajaran, jangan dijadikan beban hidup di masa depan.

Lantas, bagaimana sikap kita terhadap kejahatan masa lalu yang dilakukan orang lain?

Nelson Mandela memberi jawaban: “Memaafkan memang tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi di masa lalu, namun akan melapangkan jalan kita di masa depan.” “Pengampunan adalah hadiah terbaik yang bisa kita berikan kepada orang lain dan diri kita sendiri.”

Nelson Mandela adalah pemimpin yang dijebloskan dalam penjara selama 27 tahun oleh lawan-lawan politiknya. Setelah ia bebas dan menjadi Presiden Afrika Selatan, hal pertama yang ia lakukan adalah memaafkan sipir yang selalu menyiksanya dalam penjara.

Apa yang dilakukan Mandela mirip dengan cara Rasulullah SAW pada saat menaklukkan kota kelahirannya (Mekkah). Yang beliau lakukan adalah memaafkan semua musuh-musuhnya, tanpa kecuali, termasuk yang gemar menghina dirinya, dan membunuh sahabat-sahabatnya.

Negeri ini membutuhkan tampilnya generasi baru yang tidak menjadikan agama jargon semata. Agama dijadikan pedoman hidup yang utuh. Dalam memperlakukan lawan-lawan politik, Islam mengajarkan kita untuk memaafkan kesalahan masa lalu. Tentu bukan berarti melupakannya, karena masa lalu adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita.

Baca juga:

Memaafkan Ahok?

Negara dan Sulitnya Meminta Maaf

GM, Negara, dan Maaf

 

Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.