Sepertinya pertarungan Pemilihan Presiden 2019 dimulai pada saat Anies Baswedan dan Sandiaga Uno usai dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Joko Widodo. Kita tahu pasangan Anies-Sandi dicalonkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Gerindra. Kedua partai ini memposisikan diri sebagai oposisi. Bahkan dalam banyak kasus terlihat sebagai oposisi yang nyinyir.
Tentu saja posisi gubernur di Ibu Kota merupakan posisi yang strategis. Lebih dari setengah perputaran ekonomi ada di Jakarta. Isu-isu yang berhembus dari Jakarta akan berdampak besar di seluruh Indonesia.
Inilah yang tampaknya bakal dimanfaatkan PKS dan Gerindra untuk meraih simpati juga menebarkan pengaruhnya. Lumayan, 2019 masih dua tahun lagi.
Jalannya adalah dengan memposisikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai antitesa dari kebijakan pemerintah pusat. Saya membayangkan akan banyak isu yang akan menyeruak, yang merupakan perdebatan kebijakan pemerintah pusat dan Pemprov Jakarta.
Di awal saja kita sudah merasakan kebijakan soal reklamasi Teluk Jakarta yang menjadi perdebatan. Pemerintah pusat punya wewenang hukum untuk melanjutkan. Sementara Anies-Sandi sesuai dengan janji kampanyenya menolak reklamasi pantai Jakarta. Keduanya punya argumen dan tentu saja punya kepentingan.
Penolakan reklamasi bisa saja diberikan pembobotan dengan jargon soal non-pribumi. Jargon ini, meskipun disangkal oleh Anies sebagai ujaran rasis, kita semua tahu dalam konteks apa kosakata pribumi disampaikan dalam pidato pertama Gubernur Jakarta di depan pendukungnya.
Isu pribumi merupakan titik yang paling sensitif dan emosional karena berkenaan dengan kesenjangan ekonomi yang menjadi masalah di semua wilayah di Indonesia. Sasaran tembaknya adalah WNI keturunan Tionghoa yang memang memiliki kemampuan finansial rata-rata jauh lebih baik dari rakyat kebanyakan.
Dalam politik, isu kesenjangan ekonomi adalah bahan baku yang sangat efektif untuk menarik dukungan massa. Dengan isu seperi ini, massa akan terikat lebih emosional. Di Jerman, rasa frustrasi publik karena ekonomi morat-marit akibat Perang Dunia I dimanfaatkan Hitler dengan baik. Kesenjangan dan kecemburuan sosial itu dibungkus dengan isu pribumi (keunggulan ras Aria). Dari sanalah dunia mengenal PD II yang mahadahsyat itu.
Karl Marx juga menggunakan kesenjangan sosial. Bedanya jika Marx menunjuk konflik kaum borjuis dan proletar sebagai pencetus revolusi sosial, di Indonesia makna borjuis itu bisa diartikan sebagai non-pribumi dan proletar itu bisa disejajarkan dengan pribumi. Setidaknya makna itulah yang terekam dalam benak publik waktu kita bicara soal pribumi dan non-pribumi.
Apalagi, di Indonesia ini, isu pribumi dipadukan dengan sentimen keislaman. Kita bisa bayangkan dampak yang akan dihasilkannya.
Masalahnya, soal kesenjangan ekonomi dan sosial ini memang menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Kita semua tahu kesenjangan ini terjadi tidak tiba-tiba, tapi terbentuk sejak sekian lama, khususnya pada zaman Orde Baru. Tapi, toh sekarang pemerintahan dipegang Joko Widodo. Jika kita bicara soal kesenjangan sosial, telunjuk akan dengan mudah diarahkan kepada pemerintah pusat sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Apalagi sebelumnya sudah digembar gemborkan soal aseng-asing yang menguasai ekonomi Indonesia.
Tampak jelas ke mana arah kebijakan politik Pemprov Jakarta nanti. Di masa depan seluruh energi politik Anies diperkirakan akan diarahkan untuk menjadi kekuatan antagonis berhadapan dengan pemerintahan Jokowi.
Jadi, jangan kaget jika di masa-masa mendatang akan ada banyak isu yang memperhadap-hadapkan kebijakan pemerintahan pusat dengan Pemprov DKI. Diawali dengan masalah reklamasi, dibungkus dengan jargon “pribumi harus menjadi tuan rumah dinegeri sendiri”, lalu persepsi soal jurang ekonomi dan sosial akan terbentuk. Jika ini terjadi, tentu yang paling kerepotan adalah Jokowi.
Jadi, kita tahu, partarungan Pilpres 2019 dimulai saat Gubernur Jakarta dilantik beberapa hari lalu.
Kolom terkait:
Emmy Hafild di Tengah Pusaran Polemik Reklamasi
“Pribumi” Anies, 2019, dan Politik Sentrifugal