Tanggal 24 Maret 2018 merupakan refleksi 72 tahun tragedi Bandung Lautan Api. Sebuah peristiwa heroik rakyat Bandung yang berjuang melawan penjajah untuk menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Momentum ini sangat tepat dengan Pilkada 2018, sehingga gerakan membangun daerah selalu terkait dengan perjuangan masyarakat lokal masing-masing.
Demokrasi lokal dibangun dari serpihan kesadaran masa silam, sehingga pemimpin daerah mampu menjemput ide perubahan dan kemajuan demokrasi lokal.
24 Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara sekutu dan tentara NICA Belanda yang ingin menguasai lagi kota Bandung sebagai salah satu markas militer dalam merebut kembali Indonesia yang telah merdeka.
Perjuangan rakyat Bandung ini menjadi salah satu babakan penting dalam sejarah perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia. Tragedi yang terjadi 220 hari setelah kemerdekaan ini terkait erat dengan beberapa kisah perjuangan anak negeri yang berjibaku dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Peristiwa yang menjadi tonggak lahirnya gerakan perlawanan terhadap penjajah yang hendak menjajah kembali Indonesia adalah gerakan 10 November 1945 di Surabaya. Peristiwa yang dikenal dengan Hari Pahlawan itu menjadi tonggak pertama lahirnya gerakan perlawanan di Indonesia yang menggugat penjajah pasca kemerdekaan.
Semangat arek Suroboyo ini juga yang, setidaknya, menjadi ilham lahirnya gerakan Bandung Lautan Api. Peristiwa Bandung Lautan Api ini, 24 Maret 1946, terjadi persis 136 hari setelah perjuangan arek Suroboyo, 10 November 1945. Keterpautan waktu ini merupakan perihal kisah sejarah Indonesia yang terus bergegas tanpa henti dalam menghadang penjajah.
Semangat perjuangan arek Suroboyo yang begitu gigih kemudian menjalar sebagai “semangat Indonesia” yang terus berkobar di berbagai pelosok Nusantara. Kota Bandung menjadi saksi sejarah bahwa penjajah memang sudah tak layak lagi menghuni Indonesia. Rakyat Indonesia jauh lebih berhak untuk menentukan nasibnya sendiri, tanpa harus diintervensi oleh penjajah.
Semangat Perjuangan
Sebagaimana yang terjadi di Surabaya, Sekutu memberikan ultimatum kepada rakyat Bandung untuk meninggalkan kota Bandung. Oleh Sekutu, kota Bandung akan dijadikan markas militer yang akan kembali menguasai rakyat Indonesia, yang akan merebut kemerdekaan dari tangan rakyat. Ultimatum ini bukannya membuat rakyat Bandung jera dan takut, tetapi justru makin membara semangat perjuangannya.
Ultimatum ini juga menjadi “momentum” bagi rakyat Bandung untuk membuktikan diri kepada penjajah bahwa Indonesia tidak akan menyerah, akan berjuang sampai titik darah penghabisan.
Jenderal Abdul Haris Nasution merupakan sosok militer yang berperan penting dalam kisah Bandung Lautan Api. Jenderal A.H. Nasution saat itu menjadi Komandan Divisi III TRI (Tentara Rakyat Indonesia) yang bertugas menjaga daerah Jawa Barat. Setelah bermusyawarah dengan Sutan Syahrir, Perdana Menteri Indonesia saat itu, Jenderal A.H. Nasution kemudian mengumumkan kepada rakyat Bandung agar mengosongkan rumahnya.
Rakyat sengaja membakar rumahnya agar Sekutu tidak bisa menggunakan kota Bandung sebagai markas militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tak lain karena kekuatan Tentara Republik Indonesia (TRI) dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah sangat besar.
Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Seperti dilakukan Jenderal Sudirman, rakyat Bandung berjuang habis-habisan dalam gerilya, sehingga Sekutu kesulitan untuk mencari titik pusat gerakan rakyat.
Strategi gerilya menjadi sangat menarik, karena rakyat bisa membantu tentara dan milisi rakyat. Rakyat kecil secara langsung bisa memberikan bantuan apa pun yang dimiliki demi sebuah cita-cita bersama: tegaknya NKRI.
Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih diperdebatkan sampai sekarang. Tetapi beberapa tahun kemudian pasca tragedi 24 Maret 1946, lagu Halo, Halo Bandung secara resmi ditulis, menjadi kenangan sebuah emosi perjuangan para pejuang yang ikhlas demi Indonesia.
Para pejuang saat itu ingin kembali ke kota tercinta yang telah menjadi lautan api. Walaupun wujud Bandung saat itu menjadi api, tak lagi ada harta yang berharga, tetapi abu rumah mereka menjadi saksi yang membuat mereka bisa mengenang untuk selamanya. Abu rumah mereka menjadi saksi sejarah bahwa Indonesia wajib dicintai dengan segalanya.
Refleksi Demokrasi Lokal
Kisah Bandung Lautan Api ini layak menjadi refleksi kritis dalam menghadapi Pilkada 2018. Perjuangan rakyat Bandung bukan untuk masuk arsip sejarah bangsa yang disimpan oleh lembaga arsip nasional, tetapi sebagai catatan sejarah yang bisa menggerakkan para pemimpin daerah dalam membangun demokrasi lokal di Indonesia. Jangan sampai pemimpin daerah pikun dengan sejarah daerahnya, karena menyusun arah gerakan hari ini selalu terkait historiografi politik daerah di Indonesia. Masa depan merupakan jerih payah yang telah dihasilkan sejak masa silam.
Saatnya para pemimpin daerah bergegas untuk belajar kepada pejuang yang tulus dalam heroisme Bandung menjadi lautan api. Jejak perjuangan mereka bisa menjadi ilham para elite bangsa untuk memperbaiki niatnya dalam berjuang. Kalau niatnya sudah baik, sudah tentu akan menempuh jalan yang baik pula.
Niat yang baik akan mengantarkan rakyat Indonesia berjuang dengan sekuat tenaga demi kejayaan Indonesia. Kepentingan pribadi dan kelompok sebaiknya dimusiumkan saja, biar bisa cermin bagi kita tidak lagi mengulangi kegagalan dan kesalahan. Dalam konteks ini, benar yang diucapkan Bung Karno, “jangan sekali-kali melupakan sejarah.”
Kolom terkait:
Mencari Gubernur Ramah Perempuan di Jawa Barat
Pilkada 2018, Outsourcing Politik, dan Sakralisasi Figur