Rabu, April 24, 2024

Pilgub Jawa Barat 2018: Suara Milenial yang Menentukan

Ibrahim Ali-Fauzi
Ibrahim Ali-Fauzi
Pelancong yang kadang cuma ngupi-ngerumpi di pojok @geotimes dan Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Kasir di Kepiting++ Management: ngejepit tanpa jeda.

Pilgub Jawa Barat 2018 tinggal menghitung jam. Tentu di antara 171 daerah yang menghelat Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2018, harus diakui bahwa Jawa Barat memiliki magnet tersendiri.

Hal itu didasarkan pada tiga faktor. Pertama, Jabar merupakan provinsi dengan lumbung suara terbanyak. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat, jumlah daftar pemilih tetap (DPT) Jabar 2018 adalah 31.753.131 juta jiwa. Jumlah ini tertinggi ketimbang Jawa Timur (30.155.719) dan Jawa Tengah yang berjumlah 27.038.878 pemilih.

Kondisi tersebut memaksa setiap partai dan kandidat untuk bertarung mati-matian memperebutkan kemenangan. Banyak pihak berpandangan kemenangan Pilgub Jawa Barat 2018 akan menjadi satu tangga menuju kemenangan di Pemilihan Presiden 2019. Meski secara ilmiah pandangan tersebut tak mudah dibuktikan, dalam perspektif psikologi politik pendapat itu bisa dibenarkan.

Kedua, sekalipun PDIP merupakan partai pemenang di Jawa Barat, Joko Widodo sebagai calon presiden yang diusung mengalami kekalahan di Bumi Pasundan tersebut. Pada Pemilihan Presiden 2014 lalu, pasangan Prabowo-Hatta unggul dengan perolehan suara 59,78 persen, sedangkan Jokowi-Jusuf Kalla 40,22 persen. Peta ini menunjukkan bahwa perilaku pemilih Jabar sulit diprediksi.

Dengan kondisi itu pula, Jabar akan menjadi pertarungan tiga poros yang saat ini memegang bandul politik Tanah Air. Yakni Poros Teuku Umar dengan nakhoda Megawati Soekarnoputri, Poros Hambalang dengan tokoh sentral Prabowo Subianto, dan Poros Cikeas dengan figur kuat Susilo Bambang Yudhoyono.

Ketiga, tidak ada partai politik yang secara dominan memenangkan pertarungan elektoral di Jabar. Sebagai gambaran, pada Pemilu 2014, partai yang menang di Jabar adalah PDIP. Sedangkan Pemilu 2009 dimenangkan Partai Demokrat. Adapun Pemilu 2004 dimenangkan oleh Partai Golkar. Hal ini, misalnya, berbeda dari kasus di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Jawa Timur, kemenangan selalu didominasi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sedangkan di Jawa Tengah selalu dimenangkan PDIP.

Dengan tidak adanya partai yang secara dominan menjadi pemenang pemilu di Jabar, maka Jabar menjadi lahan potensial untuk diperebutkan. Faktor ini pula yang menyebabkan mengapa kontestan di Pilgub Jawa Barat cukup banyak, yakni empat pasangan calon. Dengan mengusung kadernya sebagai calon gubernur ataupun wakil gubernur, partai bersangkutan diharapkan mampu mendapatkan apa yang disebut “insentif elektoral”.

Dalam kajian politik, partai-partai yang mengusung kadernya untuk berlaga dalam kontestasi elektoral berharap mendapatkan efek ekor jas (coat-tail effect). Efek ekor jas dapat dimaknai sebagai pengaruh figur dalam meningkatkan suara partai di pemilu. Figur tersebut bisa berasal dari calon gubernur ataupun calon wakil gubernur yang diusung. Meskipun kajian efek ekor jas biasanya ditempatkan pada level kandidasi capres-cawapres, tetapi ia juga revelan ditempatkan di level kontestasi pilkada.

Lantas, pertanyaan mendasarnya, siapa yang berpotensi memenangkan pertarungan elektoral di Jawa Barat?

Kompetitif di Dua Pasangan Calon

Siapa pemenang Pilkada Jabar 2018 tentu hanyalah Tuhan yang tahu. Itulah jawaban yang pasti. Karena politik adalah seni kemungkinan. Namun, jika ditilik dari optik sejumlah hasil survei, terdapat dua pasangan calon yang kini cukup kompetitif dalam Pilgub Jabar 2018.

Sebagai contoh, hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebutkan bahwa tingkat keterpilihan atau elektabilitas pasangan Ridwan Kamil-UU Ruzhanul Ulum unggul dengan angka 43,1 persen, disusul pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi sebagai runner up (34,1 persen), sedangkan pasangan Sudrajat-Achmad Syaikhu 7.9 persen, dan TB Hasanuddin-Anton Charliyan 6,5 persen. Sementara itu, 8,4 persen mengaku belum menentukan pilihan (undecided voters).

Survei tersebut digelar pada 22 Mei-1 Juni 2018. Jumlah sampel adalah 820 responden, menggunakan metode multistage random sampling dengan margin of error sebesar 3.5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Berdasarkan data di atas, terdapat dua pasangan calon yang kompetitif: pasangan Ridwan Kamil-UU Ruzhanul Ulum dan pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi. Meski begitu, hasil survei merekam persepsi publik saat survei tersebut digelar, yakni 22 Mei-1 Juni 2018. Ini artinya, data tersebut masih berpotensi berubah dalam rentang 1-27 Juni 2018, tergantung apakah ada isu tertentu ataupun “operasi politik” tertentu yang mampu mempengaruhi pemilih dalam rentang tersebut. Apalagi masih ada 8,4 persen pemilih belum menentukan pilihan (undecided voters).

Suara Milenial yang Menentukan

Di samping itu, salah satu faktor penting yang dapat mengubah peta elektoral adalah keberadaan pemilih milenial di Jabar yang jumlahnya cukup signifikan. KPU Jabar mencatat  ada sekitar 12 juta jiwa pemilih milenial di Jabar. Dalam perspektif perilaku pemilih, pemilih milenial masuk kategori pemilih rasional. Pemilih rasional adalah mereka yang memilih berdasarkan visi-misi dan gagasan, rekam jejak, serta prestasi sang calon.

Pemilih milenial punya karakteristik menonjol seperti sikap apatisme terhadap politik. Penelitian Pew Research Center (2010) menyebutkan bahwa 50 persen dari generasi milenial mengaku tidak memiliki afiliasi politik. Bahkan hasil kajian Boston Consulting Group (2011) menemukan bahwa ciri generasi milenial, antara lain, lebih percaya user generated content (UGC) daripada informasi searah. Mereka juga masuk kategori pemilih kritis yang tidak suka didikte.

Dalam konteks pemilu, pemilih milenial membutuhkan waktu lama untuk menentukan pilihan. Mereka adalah pemilih yang suka transit dan berpindah-pindah—yakni undecided voters dan swing voters. Artinya, 8,4 persen undecided voters biasanya juga didominasi oleh pemilih milenial.

Karena itu, sekali lagi, dengan rentang 1-27 Juni 2018 pascasurvei digelar (versi SMRC), pergeseran suara bisa saja terjadi. Apalagi debat Pilgub Jabar terakhir dilaksanakan usai hasil survei digelar. Meskipun harus diakui bahwa dalam rentang yang pendek pergeseran suara biasanya tidak terlampau signifikan.

Apabila dirinci, pergeseran suara bisa terjadi karena faktor isu yang bergulir, operasi politik yang ada, hasil debat kandidat terakhir, ataupun karena keberadaan pemilih milenial yang suka transit dan berpindah-pindah. Tentu semua ini akan terlihat pada hari ini. Selamat berpartisipasi warga Jabar!

Kolom terkait:

Suara Milenial dalam Jaket Denim Jokowi

Mitos Pemilih Rasional di Antara Ahokers, Agusers, dan Aniesers

Politik Berpijak Akal Sehat

Menyelamatkan Akal Sehat

Menjaga Kewarasan di Era Pasca Kebenaran

Ibrahim Ali-Fauzi
Ibrahim Ali-Fauzi
Pelancong yang kadang cuma ngupi-ngerumpi di pojok @geotimes dan Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Kasir di Kepiting++ Management: ngejepit tanpa jeda.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.