Kamis, Maret 28, 2024

Peta Politik Pilkada 2018 dan Peluang Jokowi

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah

Pemilu Kepala Daerah 2018 telah memasuki tahapan suam-suam kuku. Untuk provinsi/kabupaten/kota yang tidak memiliki petahana, suasananya lebih hangat dari yang memiliki petahana. Sekadar contoh, Jawa Timur dan Jawa Barat jauh lebih hangat jika dibandingkan dengan Jawa Tengah.

Meskipun sudah ada beberapa lembaga survei yang merilis prediksi siapa yang akan jadi pemenang di wilayah-wilayah tertentu, secara umum belum bisa dijadikan alat ukur yang valid karena masih terlampau dini. Termasuk di wilayah yang sudah sedikit memanas seperti Jawa Timur, petanya masih belum jelas. Apakah Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno, ataukah  Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak, masih belum jelas benar siapa yang akan jadi pemenang.

Meskipun demikian, membaca pilkada kali ini jauh lebih menarik ketimbang sebelumnya karena faktor waktu yang lebih dekat dengan pemilu legislatif (pileg) yang dibarengkan dengan pemilu presiden (pilpres). Karena pilpres memiliki daya tarik yang sangat kuat, maka faktor partai-partai pendukung calon kepala daerah menjadi sangat penting, tidak sekadar hitung-hitungan kursi/persentase keabsahan calon, tapi juga tentang proyeksi dukungan pada pilpres mendatang.

Mengapa, misalnya, di Jawa Barat, pola dukungan partai tampak sangat rumit, lebih sulit diprediksi ketimbang di Jawa Timur? Karena di provinsi berpenduduk terbesar di Indonesia ini, dalam Pilpres 2014 lalu Presiden Joko Widodo kalah. Partai-partai pendukung Jokowi harus mengkalkulasi secara ekstra hati-hati agar capres yang didukungnya tidak kalah lagi. Partai-partai pendukung Jokowi diupayakan semaksimal mungkin untuk memilih calon yang menang dalam pilkada.

Kemenangan dalam pilkada bisa dijadikan indikator, atau setidaknya berpengaruh, dalam Pilpres 2019. Dalil ini, meskipun belum tentu benar, sudah menjadi keyakinan di kalangan aktivis-aktivis partai. Maka, partai-partai pendukung Anies-Sandi di DKI Jakarta sudah merasa yakin akan bisa mengalahkan Jokowi di ibu kota. Apakah keyakinan mereka akan terbukti? Hanya segenap warga Jakarta yang bisa menjawabnya.

Cara berpikir linier semacam itu memang paling mudah dan sekilas sangat masuk akal. Kita lupa bahwa politik di Indonesia dalam tataran praktis penuh dengan keajaiban-keajaiban. Kalkulasi politik kadang hanya masuk akal di atas meja atau di ruang-ruang akademis. Di lapangan, situasinya sangat berbeda. Coba, siapa yang menduga alumnus Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), yang pernah jadi pengusaha mebel atau tukang kayu, bisa jadi Presiden RI.

Fakta bahwa Jokowi yang “hanya” tukang kayu bisa menjadi presiden inilah yang sampai detik ini masih sulit diterima kalangan yang terbiasa menerapkan secara ketat logika-logika akademik. Kata kids zaman now, mereka sulit move on. Kalau sekadar belum bisa melihat kenyataan mungkin sedikit bisa dipahami, tapi kalau sudah sampai pada tahap ikut memproduksi dan menyebarkan hoaks, ini jelas tragedi.

Oleh karena itu, menurut saya, dalam mengkalkulasi politik Pilkada 2018, dikaitkan dengan Pilpres 2019, harus memakai teori yang tidak baku. Mungkin teori enigma, yakni teori ketidakjelasan, penuh teka-teki dan misterius dalam menggambarkan suatu situasi sosial.

Anda boleh setuju boleh tidak, sampai saat ini belum ada teori politik baku yang bisa menjelaskan mengapa Jokowi bisa jadi presiden. Yang ada hanya teka-teki, atau bahkan teori konspirasi. Saya, misalnya, pernah mendengar langsung dari seorang politisi senior yang mengatakan bahwa kepresidenan Jokowi sudah “diatur” sejak masih sebagai Walikota Solo. Siapa yang mengatur? Diplomat Amerika dan para konglomerat China yang berkolaborasi dengan para elite partai besar dalam negeri.

Anehnya pula, waktu itu saya benar-benar percaya! Karena, di mata saya, yang berpendapat ini adalah orang yang sangat dihormati baik oleh kawan maupun lawan, karena kredibilitasnya yang tinggi dan kemampuan akademisnya yang mumpuni.

Tapi, saya mulai sangsi pada saat dia mengusulkan jalan keluarnya: kudeta secara perlahan. What? Saya kaget, tentu hanya dalam hati. Mau membantah, rasanya kok saya hanya butiran debu yang mustahil bisa mengubah pandangannya. Tokoh ini begitu yakin, Jokowi harus dihentikan dengan cara kudeta perlahan-lahan.

Andaikan dia mengatakan, “ya beginilah kondisinya, kita harus mendidik masyarakat agar dalam pilpres mendatang memilih presiden yang lebih baik,” mungkin saya akan terus percaya. Tapi, karena usulan jalan keluarnya tidak masuk akal dan berpotensi merusak tatanan demokrasi yang sudah kita bangun bersama, saya anggap pendapat tokoh ini hanya sebagai “pelajaran penting” bahwa cara berpikir aneh-aneh di negeri ini sudah merasuk kalangan intelektual dan akademisi.

Kembali pada soal peta pilkada. Kalau kemenangan partai-partai oposisi dalam pilkada dianggap tanda-tanda kekalahan Jokowi, nanti dulu. Dalam kasus DKI Jakarta, faktor Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) lebih dominan. Tak sedikit kalangan yang tidak suka Ahok, tapi menjadi pendukung berat Jokowi. Apalagi jika (nanti) terbukti, gubernur pengganti Ahok tidak sebaik yang diharapkan. Bukan tidak mungkin, Jokowi akan menang signifikan di Jakarta.

Upaya untuk mereplikasi “strategi Pilkada DKI” juga tampaknya akan gagal karena calon-calon yang mirip “Anies-Sandi” di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih kalah populer dibandingkan pasangan yang difavoritkan akan memenangkan pilkada. Sedangkan untuk Sumatera Utara dan Jawa Timur, kandidatnya sudah “bercampur” antara partai yang mendukung Jokowi dengan yang tidak. Percampuran serupa banyak terjadi di wilayah/daerah lain.

Melihat peta politik pilkada dengan banyak percampuran tampaknya kurang begitu relevan mengaitkan kemenangan atau kekalahan pilkada dengan peluang Jokowi pada 2019. Peluang kemenangan Jokowi akan lebih ditentukan oleh keberhasilannya merealisasikan janji-janjinya dalam kampanye Pilpres 2014 lalu.

Di samping itu, yang tidak kalah penting adalah kemampuannya menepis berbagai tuduhan negatif dan atau kampanye hitam seperti keterkaitannya dengan PKI, kecondongan keberpihakannya pada non-pribumi, dan ketidakadilannya terhadap umat Islam.

Meskipun tuduhan-tuduhan ini jauh dari kenyataan, lawan-lawan politik Jokowi akan terus memproduksi dan menyebarluaskannya melalui berbagai media. Ini bukan soal benar-salah, tapi soal perebutan persepsi publik yang bisa mewarnai wacana politik.

Saat kandidat kalah dalam membangun persepsi dan gagal mewarnai wacana politik, kampanye keberhasilan tidak akan banyak berpengaruh. Karenanya, Jokowi membutuhkan kerja ekstra keras untuk meyakinkan publik agar keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapainya tidak tergerus kampanye hitam lawan-lawan politiknya.

Kolom terkait:

Anies dan Kebohongan Kita

Menimbang Pemenang Pilpres 2019

Aliansi Dua Jenderal?

Yang Memilih Lalu Kecewa

Jokowi Bukan Ahok

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.