Minggu, Oktober 13, 2024

Pengkhianatan HTI dalam Aksi Bela Islam

Fadhli Lukman
Fadhli Lukman
Pelajar ilmu al-Qur'an dan sosial kemasyarakatan yang sedang menempuh PhD di Albert-Ludwigs-Universität Freiburg.

Selepas presentasi tentang tentang Aksi Bela Islam (ABI) di Friedlich-Schiller-Universität Jena, September lalu, dengan bahasa Indonesia yang patah-patah, seorang pengamat kajian Islam Asia Tenggara bertanya: “Bisa ya HTI bergabung dengan FPI?” Isu “Penistaan Agama” adalah pemersatu mereka.

Diskursus ini ditampilkan sebagai panggilan iman; siapa yang tidak mengamini adalah kafir, paling tidak munafik, dan jenazahnya tidak pantas disalatkan. Front Pembela Islam (FPI) yang sejauh ini cenderung hanya bisa memobilisasi sedikit orang, dengan diskursus penistaan agama berhasil membawa massa lintas wilayah dan ormas, termasuk massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Panggilan penistaan agama tidak berdiri sendiri dalam rangkaian Aksi Bela Islam. Ia berkaitkelindan dengan Jakarta atau NKRI Bersyariah. Poster dan orasi terkait ini ditampilkan baik pada ketiga momentum Aksi Bela Islam maupun di rilis-rilis media. Pada gelaran reuni 212 beberapa waktu lalu, Habib Rizieq Shihab kembali menekankan pentingnya untuk kembali kepada Piagam Jakarta dan menegakkan NKRI Bersyariah. Di sinilah ironi HTI.

Sebelum Aksi Bela Islam, gerak HTI cenderung senyap di lingkungan para mahasiswa atau distribusi buletin atau pamflet. Aksi massa yang mereka lakukan tidak pernah mendapatkan tanggapan yang serius. Semuanya berubah setelah UU Ormas disahkan. Ketika Wiranto secara resmi mengumumkan pelarangan organisasi yang bertentangan dengan Pancasila, HTI melunak. Juru bicara HTI Ismail Yusanto membantah klaim-klaim eksplisit yang pernah dikemukakan oleh para ideolog HTI seperti Pancasila thaghut, demokrasi itu haram, atau nasionalisme itu merusak.

Dalam wawancara bersama Aiman di Kompas TV, ia menyebut mengkritik situasi politik tidak lantas berarti HTI antidemokrasi atau merusak Pancasila. Sekarang HTI berada dalam posisi terjepit karena UU Ormas. Dengan status sebagai alumni 212, mereka mendulang simpati masyarakat. Pada saat yang sama, diskursus nasionalisme diperebutkan oleh kelompok islamisme yang diwakili oleh alumni 212 dan kelompok nasionalis. HTI tidak punya jalan lain kecuali ikut dalam perdebatan ini.

Meskipun FPI dan HTI sama-sama mengusung syariah, keduanya berbeda secara prinsipil tentang ruang lingkup menerapkannya. Konsep NKRI Bersyariah yang diusung oleh Habib Rizieq adalah nasionalisme berlandaskan agama. Dengan demikian, konsep ini tidak lepas dari Indonesia sebagai sebuah nation state.

Ditilik kembali kepada perdebatan para founding fathers di awal pembentukan negara Indonesia, ketika itu mereka telah sepakat dalam satu hal, yaitu pembentukan Negara Indonesia. Perbedaan pendapatnya adalah tentang bagaimana dan ke mana nasionalisme ini diarahkan. FPI dalam hal ini menginginkan nasionalisme yang berlandaskan kepada nilai Islam.

HTI, di sisi lain, mengharamkan nasionalisme. Felix Siaw menyebut dalam twitternya: “Membela nasionalisme, nggak ada dalilnya, nggak ada panduannya | membela Islam, jelas pahalanya, jelas contoh tauladannya.”

Di lain kesempatan, dia menyebut problem Palestina dan Israel tidak akan bisa diselesaikan dalam sekat nasionalisme. Hal senada juga disampaikan dalam sebuah orasi dalam gelaran Muktamar Khilafah Hizbut Tahrir yang ditayangkan oleh TVRI 2013 lalu. Disebutkan bahwa sekat-sekat nasionalisme harus segera dirobohkan demi menciptakan ummah wāḥidah.

Khilafah yang diinginkan oleh HTI adalah kesatuan pemerintahan tunggal yang memayungi semua komunitas Muslim. Nasionalisme dan negara adalah sekat-sekat pemecah belah umat, sehingga harus ditumbangkan. Tidak ada Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Yordania, Kuwait, Mesir, Palestina, dan sebagainya. Semua sekat nation state tersebut harus dirobohkan dan disatukan dalam satu bendera khilafah. Itulah mengapa banyak negara yang melarang organisasi ini.

Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI pada sisi lain menyampaikan narasi FPI: nasionalisme agama. Dengan demikian, kehadiran para ideolog dan simpatisan HTI di gelaran ABI dan reuni 212 bersifat setengah hati. Sepakat dengan ide penistaan agama, tapi menyimpan protes tentang narasi nasionalisme dan NKRI Bersyariah.

Ambiguitas yang sama muncul kembali terkait pengakuan Trump terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Kehadiran Felix Siaw dalam gelaran Aksi Bela Palestina mempertontonkan paradoks dalam dirinya. Artinya, HTI tidak lagi HTI; HTI mengkhianati ideologinya sendiri.

Propaganda HTI sebelum Aksi Bela Islam memiliki sebuah kelemahan tipikal, yaitu logical fallacy. Problem-problem sosial seperti korupsi, privatisasi sumber daya air, narkoba, dekadensi moral, supremasi hukum, dan sebagainya, tidak memiliki jalan keluar kecuali tegaknya khilafah. Kesimpulan ini tidak didukung oleh argumen-argumen runut dan koheren untuk meyakinkan bahwa benar mekanisme khilafah bisa dijadikan sebagai jalan keluar.

Fallacy yang sama diulangi dalam bentuk berbeda oleh Felix Siaw dalam tayangan ILC seputar Reuni 212 lalu, bahwa siapa yang menolak bendera HTI berarti menolak dua kalimat syahadat. Fallacy ini menjadikan wacana HTI tidak menarik untuk dibahas dalam skala nasional.

Perbincangan tentang khilafah di forum ILC dalam milieu 212 telah membawa diskursus ini ke fase yang baru. Isu khilafah menjadi diskursus terbuka secara nasional, terutama sekali dipantik oleh pernyataan Prof. Mahfud MD.

Hal senada sebenarnya juga pernah disampaikan oleh KH Salahuddin Wahid atau KH Hasyim Muzadi. Akan tetapi, pandangan mereka nyaris tidak mendapatkan tanggapan terbuka dari para ideolog HTI yang cenderung mengabaikannya sembari terus menyampaikan propagandanya kepada mahasiswa dan masyarakat umum. Hampir tidak ada diskusi proporsional yang terbuka kepada publik seputar isu khilafah ini.

Sekarang, perdebatan terbuka terhadap gagasan khilafah ini muncul ke publik. Beberapa post di media sosial mempertanyakan klaim Prof. Mahfud MD, menyatakan bahwa ketiadaan ayat qaṭ`i yang berbicara langsung tentang khilafah sebagai tuntunan praktis tidak lantas menyatakan bahwa ide khilafah itu tidak ada. Hukum dalam Islam tidak hanya diturunkan dari Al-Qur’an dan Hadis, tetapi juga ijma’ dan ijtihad ulama [Baca: Memahami Hadits Khilafah dan Imam Mahdi dalam Perspektif Lintas Disiplin (I)]

Sanggahan ini, meski demikian, telah membawa diskursus khilafah kepada bentuk baru bahwa memang tidak ada tuntunan siap pakai dalam Al-Qur’an tentang tata kelola pemerintah sebagaimana sejauh ini dikesankan oleh HTI.

Sanggahan ini kemudian akan berhadapan dengan narasi bahwa Pancasila adalah ijtihad para ulama tentang ideologi Indonesia. Membaca arah perdebatan ini, maka pertanyaan selanjutnya yang akan diperdebatkan adalah: jika Pancasila dan NKRI adalah produk ijtihad para ulama pendiri bangsa, apakah ia bisa disebut sebagai khilafah?

Jika perdebatan khilafah telah masuk ke wilayah ini, maka ia tidak lagi sebagai antinasionalisme sebagaimana yang selama ini dipropagandakan HTI, melainkan sebagai warna atau mazhab nasionalisme. Artinya, khilafah ala HTI mulai kehilangan tempat.

Kolom terkait:

HTI, Yahudi Madinah, dan Perongrong Negara Kesepakatan

Khilafah itu Institusi Politik, Bukan Agama!

Pemisahan Khilafah dan Otoritas Agama

Ilusi Negara Khilâfah

Sekali Lagi Soal Dalil Khilâfah HTI

Membedah Islam Politik, Politik Islam, dan Khilâfah

Fadhli Lukman
Fadhli Lukman
Pelajar ilmu al-Qur'an dan sosial kemasyarakatan yang sedang menempuh PhD di Albert-Ludwigs-Universität Freiburg.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.