Salah satu kecantikan demokrasi adalah membiarkan yang berbeda (oposisi) tetap eksis—tentu saja dengan koridor hukum dan norma yang berlaku di dalam sebuah negara. Namun, tak jarang, melalui pemerintahannya, negara juga kebablasan. Alih-alih menjaga satu keutuhan negara, mereka melompat jauh menghadirkan wajah represif, bengis, dan buas.
Di Indonesia, fenomena di atas pernah terjadi saat Orde Baru. Pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta sengat berbau komunis, apa dan siapa pun nama kelompok dan organisasnya nyaris dibubarkan, bahkan tak jarang anggotannya ikut serta dibunuh. Beragam cara—termasuk melalui budaya—digunakan untuk melegitimasi kebengisan penguasa waktu itu.
Salah satu narasi yang menurut saya apik adalah yang terekam dalam tulisan almarhum Wijaya Herlambang tentang kekerasan budaya di zaman Orde Baru. Dalam karyanya, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme melalui Sastra dan Film (Margin Kiri, 2013), Wijaya Herlambang menggambarkan bagaimana budaya—ideologi, pengetahuan, sastra dan film—turut menjadi alat legitimasi untuk menghakimi mana yang layak dibubarkan dan dibunuh, dan mana yang layak dibiarkan tumbuh menjamur, tentu saja humanisme universal di zaman itu.
Membayangkan kondisi di atas terjadi saat ini tentu akan mendorong bulu kuduk merinding. Serba ketakutan, dengan suasana mencekam. Kita bisa membayangkan sendiri, semisal, anggaplah ada seorang atau sekelompok mahasiswa yang mengkritik suatu kebijakan pemerintah dengan menggunakan “teori kelas”, lalu tiba-tiba pihak keamanan datang meringkus, lalu membawanya ke kantor polisi, menanyakan kalau perlu dengan nada membentak, dan dengan cepat label komunis menancap ke dalam diri si mahasiswa itu.
(Oh ya, kejadian di atas sebenarnya tidak perlu diimajinasikan, bukankah beberapa kali kita melihat pihak keamanan meringkus seorang mahasiswa yang hanya menggunakan kaos bergambar palu arit? Atau kampus UIN yang tiba-tiba digeruduk salah satu ormas keagamaan hanya sebab memutar film Senyap beberapa tahun lalu? Tidak lupa juga pembubabaran salah satu pameran tokoh “kiri” di Univeritas Islam Indonesia)
Kontroversi Perppu
Ramu malam lalu saya menonton talk show di salah satu TV swasta yang mengangkat tema Tan Malaka . Saya begitu terkesima melihat tontonan itu. Bukan karena hostnya berpenampilan menarik dan cantik atau karena dia seorang anak idola penulis, Prof. Quraish Shihab. Bukan juga karena Fadli Zon hadir. Bukan.
Saya terkesima karena seorang Tan Malaka begitu luhurnya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tapi ia harus menghadapi fakta pahit di zama Orde Baru, namanya dihilangkan dari ring sejarah perjuangan hanya karena tuduhan “komunis”.
Keesokan harinya, kita dirundung kabar pembubaran HTI serta ekor penekanan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan oleh Presiden Joko Widodo. Terkait ini, pro-kontra di masyarakat berhamburan.
Di meja diskusi warung kopi hingga jagat raya media sosial ramai dengan diskursus pembubaran HTI dan Perppu itu. Di pihak yang kontra, mereka berpendapat pembubaran HTI sebagai gejala kemunduran demokrasi. Di pihak yang pro, mereka berpendapat pembubaran HTI adalah menjaga keutuhan NKRI.
Mereka juga tak jarang saling berpendapat bahwa yang mendukung pembubaran HTI serta ekornya bernama Perppu oleh pemerintah adalah sebagai sikap politik yang ikut serta mendukung negara ini ke arah otoritarianisme. Sedangkan yang berpendapat membiarkan HTI dan Perppu itu eksis adalah sikap dukungan ke arah runtuhnya NKRI.
Menurut saya, silang pendapat ini mengarah pada ektremisme berpikir tentang sebuah kebijakan dan fakta-fakta sosial yang selalu mengikutinya. Yang terlihat justru bukan tentang dialektika, tetapi mengarah pada keterpecahan sosial masyarakat. Dengan mudah kita mengidentifikasi dan gampang berujar, yang pro adalah antek pemerintah, yang kontra adalah pengkhianat pemerintah. Implikasinya adalah tidak terwujudnya sintesa dari perdebatan tesis dan antitesis ini, yakni kesejahteraan dan kerukunan rakyat Indonesia.
Padahal, pengalaman saya mengajarkan anggapan di atas tidak semuanya benar. Saya kerap berhadap-hadapan dengan kawan yang berasal dari organisasi mahasiswa yang merupakan sayap HTI. Saya menyukai cara dia menarasikan serta menganalisis realitas dan problem sosial. Tapi saya tidak menyepakati apa yang selalu mereka sodorkan sebagai solusi dari problem sosial yang terjadi.
Nah, yang ingin saya cakapkan di sini sebenarnya adalah bagaimana Perppu dan pembubaran HTI tidak mengarah pada otoritarinesme negara yang diperankan oleh pemerintah. Secara pribadi, pembubaran HTI menurutku merupakan langkah konkret yang dikerjakan untuk menghilangkan organisasi kemasyarakatan yang tidak sepakat dan bahkan berbahaya bagi keutuhan NKRI. Terus terang, HTI terlalu berisik, kendati saya mempunyai pengalaman dialektik yang manis dengan kawan yang saya narasikan di atas.
Dan yang lebih penting adalah, pembubaran organisasi kemasyarakatan tidak dijadikan alat oleh pihak-pihak lain, termasuk oleh pemerintah sendiri, yang tentunya syarat kepentingan. Artinya, Perppu ini tidak dijadikan untuk memerangi dan membasmi pihak lain yang berbeda dengan menggunakan tangan pemerintah, atau pemerintah menggunakannya dengan dalih keutuhan NKRI.
Seperti yang saya utarakan di atas, betapa akan menakutkan dan mencemaskan, jika yang mengkritik suatu kebijakan—dengan beragam perspektif yang digunakan—melulu dianggap sebagai kelompok yang membahayakan keutuhan NKRI sehingga harus dibubarkan.