Jumat, April 19, 2024

Patung Bernama Pahlawan

A.S. Rosyid
A.S. Rosyid
Penulis dan Peneliti di Komunitas Riset Akademi Gajah. Menekuni etika Islam, etika lingkungan hidup dan dunia literasi.

Tugu Pahlawan di Surabaya [Foto: surabayaheritage.wordpress.com]
Kapan terakhir kali kita memaknai istilah “Pahlawan”?

Konon, pahlawan berasal dari kata phala, yakni buah yang manis dalam alam pikiran Sanskerta. Maka, phala-wan, yaitu orang yang “merawat dan menebar phala” di hidupnya, mendapatkan tempat yang istimewa di hati masyarakat. Kita menyebut “pahlawan” pada orang-orang yang berjasa bagi kehidupan.

Namun, euforia kemerdekaan pada 1945 yang dipenuhi kisah-kisah heroik mempertahankan kemerdekaan—dan diimbuhi dengan ingatan masa lampau tentang era perlawanan lokal dan geliat pergerakan nasional—telah membuat konsep pahlawan sedikit bergeser kekuatannya.

Bahwa seseorang harus melakukan hal-hal besar dulu, baru bisa disebut pahlawan. Sama halnya dengan konsep kemuliaan di tengah masyarakat, yang entah sejak kapan begitu memuja kebendawian. Having adalah tren standar kemuliaan, daripada being. Yang dimaksud “berjasa bagi kehidupan” adalah yang penting-penting semata.

Benarkah harus demikian?

Berdasarkan Perpres RI Nomor 33 Tahun 1964 tentang Penetapan, Penghargaan, dan Pembinaan terhadap Pahlawan (Bab I Pasal 1), bahwa yang dimaksud dengan pahlawan adalah: warga negara Republik Indonesia yang gugur atau tewas atau meninggal dunia akibat tindak kepahlawanannya yang cukup mempunyai mutu dan nilai jasa penjuangan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela Negara dan bangsa.

Atau, mereka yang masih hidup, tapi setelah tindakan kepahlawanannya itu yang bersangkutan tidak menciderainya dengan tindakan-tindakan yang melawan marwah bangsa dan negara. Jadi, haruskah mati dulu? Pasal di atas menyiratkan kepahlawanan harus terdengar sangat heroik.

Tapi tentu, sekali lagi kita boleh bertanya: benarkah harus demikian?

Maka, naaslah kebaikan-kebaikan yang menyehari: hilang sisi-sisi kepahlawanannya. Membelikan kawan segelas jus mangga karena teringat terik-gerahnya siang hari, atau, menyampul buku yang dipinjam dari seorang kawan sebagai rasa terima kasih, takkan dianggap sebagai bagian dari kepahlawanan.

Hanya mahasiswa yang rela mengangkat mie instan sebagai pahlawan. Itu pun karena pada intinya manusia akan ringan-suara memberikan gelar pahlawan pada orang yang datang dengan hal-hal yang dirasa berharga, atau, membantu di detik-detik ujung tanduk. Bila tidak begitu, kebaikan-kebaikan tidak akan dianggap sebagai kisah kepahlawanan.

Pahlawan adalah konsep yang telah dipatungkan. Ia dipatungkan dengan peraturan, ia dipatungkan dengan anggapan sejarah, ia dipatungkan dengan kaprah-kaprah keliru yang berkembang di tengah masyarakat. Kesadaran tentang living heroism, yakni kepahlawanan yang dinamis, aktual, nyata, dan begitu kaya, telah terpinggirkan.

Pentingkah kepahlawanan dalam kesadaran semacam itu? Perlu, karena ia menuntun pada perasaan bersyukur yang berkesinambungan. Kesadaran itu membuat manusia merayakan besarnya Tuhan, dan kehidupan yang telah Dia berikan, lebih kerap. Mereka yang banyak bersyukur, adalah mereka yang berbahagia. Kebahagiaan membuahkan kedamaian.

Kepahlawanan dalam Suku Sasak

Mungkin penting kita belajar sedikit tentang konsep kepahlawanan suku Sasak (suku tua Nusantara yang kurang terkenal namun sebenarnya kaya akan khazanah budaya dan agama), yang pernah diujarkan oleh seorang Begawan yang tinggal di Gerung, Lombok Barat: Mamiq H. Lalu Anggawe.

Pada masa lampau, sebelum penaklukan Kerajaan Bali di Bumi Lombok, gelar kebangsawanan suku Sasak menganut sistem terbuka, bukan trah. Artinya, siapa pun bisa menjadi bangsawan, dengan cara diangkat oleh pemuka adat dan diakui oleh masyarakat. Pengakuan itu dilihat dari kualitas manusia Sasak yang diakui, yang inspirasinya berasal dari Islam.

Kualitas tersebut diurut dalam jenjang nilai yang diukur dari angka 1 hingga 99. “Kualitas 5” adalah kualitas terendah: mereka sudah bersyahadat, sudah tahu rukun Islam, tapi tidak melaksanakannya dalam praktek sehari-hari. Perempuan, pada masa itu, dilarang menerima lamaran lelaki dengan “Kualitas 5”.

Kemudian ada “kualitas 17”, yakni mereka yang sudah melaksanakan salat 17 rakaat sehari-semalam, meski ilmu agamanya sangat awam. “Kualitas 33” adalah kualitas selanjutnya, yakni mereka yang paham rukun Islam, rukun Iman, dan sudah melaksanakannya, sekaligus memahami sifat wajib 20 bagi Allah. Pemahaman agamanya diakui baik.

Barulah, dikenal “Kualitas 66”, yaitu mereka yang berkualitas 33 lalu bersedia mengabdi mengajarkan ilmunya pada masyarakat. Derajat orang yang berilmu lalu mengajarkannya, diyakini berlipat ganda. Merekalah yang digelari “Lalu”. Inilah gelar bangsawan yang dikenal hari ini, di kalangan Sasak.

Asal katanya adalah harful jalalah (jalala, jalla, dua lam dalam nama mulia Allah). Lalu adalah gelar sakral, saat seseorang menjadi pemuka pendidikan agama. Pada masa itu, hanya gelar Lalu saja yang ada, bukan Tuan Guru Haji (sebutan kiai di Lombok). Seorang pemuka agama adalah sekaligus pemuka adat, tidak ada dikotomi.

Barulah, di tingkatan tertinggi, dikenal “Kualitas 99”. Merekalah yang bergelar “Raden”. Asal katanya adalah rodhin, yang diridhai ucap lakunya, yang diterima dan dirujuk akhlak dan ibadahnya. Raden hidup berbaur dengan masyarakat, bertetangga rumah, dijadikan tempat bertanya tentang segala hal. Raden adalah kasta dalam kualitas, bukan dalam praktek hidup.

Menurut Mamiq H. Lalu Anggawe, seseorang yang bergelar Lalu atau Raden tidak serta merta melahirkan keturunan bergelar serupa. Mereka harus membuktikan dulu kualitasnya, dan mendapatkan pengakuan oleh masyarakat. Bukan tidak mungkin anak dari lelaki “Kualitas 66” malah menyandang “Kualitas 33” atau “Kualitas 17”. Kebangsaan sepadan dengan pembuktian.

Apa hubungannya sistem kebangsawanan dengan pahlawan?

Bangsawan, pada saat yang sama, berarti pahlawan, dalam alam pikir suku Sasak. Kerajaan Bali mengeluarkan peraturan kebangsawanan yang menganut sistem trah (kebangsawanan yang diwariskan) adalah untuk menekan jumlah kelahiran pahlawan-pahlawan yang akan menyerukan perlawanan terhadap penjajahan Bali. Semua demi stabilitas politik, yang diamini oleh beberapa elite yang candu status-quo.

Abaikan itu. Pelajaran pentingnya adalah: betapa dalam suku Sasak, kepahlawanan mengakar dalam kebangsawanan, dan kebangsawanan mengakar dalam praktek “merawat dan menebar phala” yang sangat menyehari. Kepahlawanan lahir dari iman agama, yang diejawantah dalam ilmu dan akhlak.

Ia ada dalam kehidupan bertetangga yang saling memberi. Ia ada dalam keberanian untuk berkorban untuk maslahat masyarakat, meski bentuknya sederhana. Kepahlawanan, pada akhirnya, merupakan konsep yang sangat dinamis, aktual, dan kaya dalam kehidupan itu sendiri.

Dengan demikian, pahlawan, bolehlah dibuat patungnya. Tapi tidak seharusnya kepahlawanan turut kita patungkan. Apalagi, hanya dipatungkan dalam peringatan, dan ingatan sejarah yang ahistoris.

Kolom terkait:

Nyai Ahmad Dahlan dan Amnesia Pahlawan Perempuan

Mengkafirkan Pahlawan, Menistakan Indonesia

Suharto, Pahlawan tanpa Tanda Layak

Gus Dur, Pak Harto, dan Gelar Pahlawan Nasional

Memaknai Ulang Konsep Pahlawan

A.S. Rosyid
A.S. Rosyid
Penulis dan Peneliti di Komunitas Riset Akademi Gajah. Menekuni etika Islam, etika lingkungan hidup dan dunia literasi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.