Rabu, April 17, 2024

Papua 2017: Kenyang Wacana, Haus Tindakan

Edbert Gani Suryahudaya
Edbert Gani Suryahudayahttp://www.edbertgani.wordpress.com
Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia, Asisten Peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Aktivis yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua dan Aliansi Mahasiswa Papua melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung PBB di Jakarta, Senin (19/12). Dalam aksinya mereka menuntut Pemerintah lebih memperhatikan hidup warga Papua. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/ama/16
Aktivis yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua dan Aliansi Mahasiswa Papua melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung PBB di Jakarta, Senin (19/12). Dalam aksinya mereka menuntut pemerintah lebih memperhatikan hidup warga Papua. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/ama/16

Masih ingatkah Anda mengenai diplomat cantik yang jadi trending karena pernyataan yang ia sampaikan kepada kepala negara-negara Pasifik? Media di Indonesia menyoroti keberanian diplomat muda itu dalam menangkal tuduhan yang diberikan kepada Indonesia.

Permasalahannya, fokus masyarakat menjadi kabur dari persoalan riil di Papua. Sebagai diplomat, apa yang ia lakukan di ruang diplomasi mungkin memang bagian dari kewajibannya. Namun demikian, kita tidak bisa menafikan begitu saja kondisi riil yang terjadi di Papua saat ini.

Berbagai wacana kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada Papua sendiri juga kurang mendapat animo di masyarakat.

Tekanan yang diberikan oleh enam negara Pasifik harus dimaknai sebagai usaha internasionalisasi Papua yang semakin besar. Tren ini bukan tidak mungkin akan berlanjut di tahun 2017. Usaha diplomasi memang penting untuk mengurangi dampak dari internasionalisasi tersebut.

Namun lebih dari itu, masyarakat Papua tidak membutuhkan diplomasi, melainkan langkah konkret untuk pemenuhan hak-hak mereka sebagai warga negara. Diplomasi yang baik di level internasional sekalipun tidak akan mampu membawa dampak langsung, karena permasalahan riil di Papua adalah fakta yang sampai saat ini belum diperlakukan sebagai kepentingan nasional.

Otonomi khusus yang telah diberikan kepada Papua dari tahun 2001 sampai hari ini masih belum menunjukkan dampak yang signifikan. Masyarakat Papua memandang bahwa otonomi khusus ini hanyalah cara untuk meredam nasionalisme Papua atau dengan kata lain, untuk meredam niatan memerdekakan diri. Dengan demikian, otonomi khusus Papua hanya dimaknai sebagai sebuah political process.

Pendekatan praktik otonomi daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat perlu dievaluasi, khususnya terkait masalah Papua. Pemerintah masih menggunakan standar aturan yang sama untuk daerah-daerah otonomi, padahal kondisi Papua berbeda dari daerah-daerah lain.

Birokrasi daerah Papua belum mampu menggunakan anggaran secara efektif untuk menghasilkan dampak di bidang-bidang strategis. Salah satu permasalahan yang krusial dari desentralisasi dan otonomi daerah di Papua adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang terampil.

Sampai saat ini, Provinsi Papua dan Papua Barat mendapatkan dana otonomi khusus dari pemerintah pusat. Pada tahun 2014, penerimaan yang didapat dari dana otsus ini adalah sebesar 18,68% untuk Papua dan 21,04% untuk Papua Barat.

Dana ini ditujukan khusus untuk menangani masalah kesehatan dan pendidikan. Akan tetapi realitanya dana tersebut tidak memiliki dampak apa-apa. Pemerintah pusat hanya berhenti pada tataran memberikan anggaran, namun tidak sampai pada bagaimana dana tersebut dimanfaatkan.

Dalam kurun waktu lima tahun ke depan dana otsus tersebut akan diberhentikan (sesuai prosedur otsus). Padahal selama kurang lebih 15 tahun berjalan, tidak ada perbaikan signifikan di tanah Papua. Rural poverty rates Papua adalah yang tertinggi di Indonesia.

Terdapat 40,72% masyarakat berada di bawah garis kemiskinan untuk Provinsi Papua dan 36,89% di Papua Barat. Angka melek huruf di Papua adalah yang terendah di Indonesia. Fasilitas kesehatan di Papua juga masih jauh dari standar. Kurang dari setengah bayi asli Papua yang menerima vaksin.

Selain itu, Papua adalah salah satu daerah dengan peningkatan infeksi HIV tercepat di Asia. Sehingga dana otonomi khusus yang selama ini dikucurkan khusus untuk menangani masalah kesehatan dan pendidikan bisa dibilang tidak berhasil membawa perubahan signifikan.

Perlu ada yang diubah dari cara pemerintah pusat menangani masalah Papua. Otonomi khusus yang selama ini hanya bersandar pada besaran nominal anggaran terbukti tidak efektif. Karenanya pemerintah perlu untuk mulai menggunakan pendekatan berbasis program riil.

Realisasi program akan lebih bermanfaat bagi masyarakat Papua ketimbang anggaran yang belum tentu akan mereka terima. Perubahan ke arah itu bisa dicapai apabila DPR dapat segera melakukan revisi UU Otonomi Khusus Papua, yang sebelumnya sempat gagal.

Setelah Wacana BBM Satu Harga

Pada tahun 2016, Presiden Joko Widodo mengeluarkan beberapa wacana kebijakan yang memberikan optimisme untuk mempercepat kemajuan di Papua, baik dari segi sosial dan ekonomi. Mulai dari pembentukan Tim Terpadu dalam penyelesaian kasus HAM Papua sampai wacana bahan bakar minyak (BBM) satu harga.

Kebijakan-kebijakan ini memperlihatkan pemerintah yang lebih berani mengambil inisiatif dalam menangani masalah Papua. Presiden Jokowi berulang kali mengucapkan niatan besarnya dalam mendorong Papua untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lain, terutama Pulau Jawa.

Dari evaluasi selama ini, pemerintah pusat sebenarnya bisa lebih melakukan intervensi terhadap urusan pendidikan dan kesehatan. Kedua urusan tersebut bisa banyak diambil alih oleh pemerintah pusat lewat tangan pemerintah provinsi. Tantangan dari hal ini adalah pandangan sinis terhadap resentralisasi pemerintah pusat.

Akan tetapi, pemerintah pusat perlu tegas dalam memilah kepentingan. Kondisi di Papua tidak dapat disamakan dengan yang terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia. Permasalahan selama ini adalah pemerintah pusat terlambat beberapa rezim untuk mengambil langkah menangani Papua.

Ketika desentralisasi berjalan, keterpurukan Papua dibebankan kepada pemerintah daerah. Meski pada dasarnya desentralisasi ini baik untuk memberikan keleluasaan masyarakat Papua dalam membangun daerahnya, namun ada gap yang jauh dengan daerah-daerah lain, sehingga diperlukan adanya bantuan pendampingan dari pemerintah pusat untuk mengejarnya.

Selain perubahan pendekatan dalam hal ekonomi dan pembangunan, stabilitas dan keamanan juga adalah isu yang memerlukan pendekatan berbeda. Pembentukan tim untuk penyelesaian kasus HAM memang telah dilakukan namun belum memperlihatkan hasil yang signifikan.

Persoalan penempatan Kopasus dan Densus 88 di Papua juga tidak dapat dipungkiri membuat masyarakat di sana merasa “berbeda” dengan daerah lain di Indonesia. Untuk menangani pandangan ini, pemerintah perlu memberikan ruang lebih bagi masyarakat Papua untuk menjaga tanahnya sendiri. Dengan demikian, rasa kepemilikan mereka terhadap lahan mereka dapat lebih terjaga.

Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan memperbanyak personil kepolisian yang berasal dari Papua sendiri. Atau dengan kata lain, seperti yang dituangkan oleh Bobby Anderson dalam penelitiannya, “Papuanisasi” adalah sebuah kebutuhan.

Pemerintah juga perlu mempertimbangkan kembali upaya untuk mendatangkan migrasi penduduk ke Papua dalam rangka mengisi lahan kosong. Karena hal ini berdampak pada semakin besarnya sentimen negatif masyarakat Papua, di mana mereka tidak merasa memiliki tanah mereka sendiri.

Peneliti senior dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Vidhyandika Perkasa, melihat bahwa ada beberapa hambatan yang bisa mengganggu kemajuan Papua di tahun 2017 dari segi politik dan keamanan.

Pertama, tidak dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pengadilan HAM. Kedua, dialog yang belum terinstitusionalisasi. Serta ketiga, tim terpadu untuk penyelesaian kasus HAM tidak dengan segera mengeluarkan hasil investigasinya.

Dari segi ekonomi, wacana BBM satu harga nampaknya masih akan dijadikan narasi utama, namun akan sulit diimplementasikan. Beban kerugian negara, terutama Pertamina, untuk menyokong program tersebut sangat berat.

Diperlukan political will yang besar dan ketegasan dalam menjalankan roda birokrasi agar patuh pada program tersebut. Sementara itu, menurut Vidhyandika, kebijakan ekonomi lebih perlu difokuskan pada pemberantasan korupsi, penghematan bujet, dan tata pemerintahan yang baik.

Pada akhirnya, permasalahan Papua perlu diberikan porsi lebih dalam penanganannya. Internasionalisasi yang mulai berkembang di tahun 2016 adalah momentum yang besar bagi pemerintah Indonesia untuk berefleksi dan memberikan langkah strategis dalam membangun Papua di tahun 2017 ini.

Penyelesaian berbagai masalah ekonomi, sosial, dan politik di Papua akan menjadi cerminan kinerja dan keberpihakan pemerintah pusat dalam membangun daerah yang selama ini ditinggalkan oleh rezim-rezim sebelumnya. Dengan berbagai janji dan wacana yang telah dibangun di tahun 2016, menarik kita simak implementasinya di tahun ini.

Edbert Gani Suryahudaya
Edbert Gani Suryahudayahttp://www.edbertgani.wordpress.com
Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia, Asisten Peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.