Jumat, Maret 29, 2024

Pancasila, Kawah Candradimuka, dan Anti Absolutisme

Akhmad Sahal
Akhmad Sahal
Kandidat PhD, University of Pennsylvania, Amerika Serikat. Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika.

Dalam pidatonya tentang Pancasila yang masyhur itu, Sukarno berbicara tentang Pancasila sebagai Weltanschauung, sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan. Di mata Bung Karno, Pancasila merupakan “dasar filsafat”, philosophische grondslag. Yakni, sebuah fondasi yang berfungsi sebagai perekat kebhinnekaan, sekaligus sebagai payung persatuan kebangsaan.

Tapi, di sisi lain, Bung Karno juga menyadari bahwa kehidupan politik senantiasa mengandung “perjuangan faham.” Kehidupan politik meniscayakan bukan hanya pertukaran tapi juga pertarungan ide-ide, bukan hanya deliberasi, tapi juga kontestasi gagasan. Secara berseloroh Bung Karno pernah berkata, “tak ada sebuah negara yang hidup yang tak mengandung ‘kawah candradimuka’ yang ‘mendidih’ di mana pelbagai ‘faham’ beradu di dalam badan perwakilannya. Tak ada sebuah negara yang dinamis ‘kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya’.

Bertolak dari pandangan Sukarno di atas, kita melihat bahwa sejak awal, Pancasila tak pernah diniatkan untuk menjadi ideologi yang kekal, tertutup, dan absolut. Sebagai Weltanchauung bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila memang tak boleh diganti. Mengganti Pancasila sama dengan mengubah hakikat NKRI. Tapi pada saat yang sama, Pancasila senantiasa berada dalam “kawah candradimuka” politik yang diwarnai oleh “perjuangan faham.”

Artinya, Bung Karno sedari awal mengakui bahwa Pancasila mesti dilihat sebagai ideologi yang fleksibel di tengah konteks sosial politik yang senantiasa berubah, dan membuka diri terhadap perkembangan dan modifikasi diri, karena adanya kesadaran bahwa masyarakat Indonesia yang majemuk merupakan “tatanan-dalam-proses.”

Dengan kata lain, penerimaan terhadap Pancasila berarti adalah suatu penolakan terhadap faham politik yang mengklaim berlaku mutlak dan absolut. Sebagai rumusan yang mangkus dan sangkli dari ikhtiar bangsa kita untuk mencapai persatuan dalam perbedaan, Pancasila menegaskan dirinya sebagai paham yang bertentangan secara diametral dengan absolutisme.

Perspektif Bung Karno tentang Pancasila sebagai “anti absolutisme” di atas menarik untuk ditengok kembali manakala kita hendak berbicara tentang “demokrasi Pancasila yang diperbaharui,” seperti diusulkan oleh Denny J.A dalam tulisannya baru-baru ini. Usulan ini menurut saya penting dan mendesak, setidaknya karena dua hal:

Pertama, untuk waktu yang lama, telah terjadi semacam the disenchantment of Pancasila, melenyapnya marwah Pancasila, akibat ulah Orde Baru yang secara terstruktur, sistematis, dan masif melakukan manipulasi terhadap dasar negara kita. Di masa Orde Baru, Pancasila dikeramatkan dan di-sakti-kan. Pada saat yang sama, penafsirannya dimonopoli penguasa, dan dianggap identik dengannya. Siapa pun yang menentang penguasa langsung dicap menentang Pancasila.

Kedua, makin maraknya wacana “negara Islam, “NKRI bersyariah,” atau “Khilafah” yang mendasarkan diri pada paham keagamaan yang absolutis dan mutlak-mutlakan. Mereka gemar mengklaim, lebih baik memilih dasar Syariah karena syariah datang dari Allah, sedang Pancasila itu hasil buatan manusia.

Di mata mereka, jika hukum Allah adalah hukum yang hendak diterapkan, mau tak mau hasil yang akan tercipta adalah sebuah kehidupan sosial yang tanpa cacat. Probemnya adalah, mereka seringkali merasa mewakili suara Tuhan, meskipun tak jelas dari mana dan bagaimana ‘mandat’ itu bisa mereka perolah.

Akibatnya, mereka merasa berhak untuk memaksakan paham keIslamannya sebagai satu-satunya “the law of the land” di Indonesia. Inilah sikap yang mencerminkan apa yang disebut Bung Karno sebagai ‘egoisme-agama’ yang menafikan karakter dasar Indonesia yang berbineka.

Dalam situasi semacam itulah kita membutuhkan pembaharuan pemahaman tentang Pancasila: untuk menangkis sikap absolut yang sewenang-wenang: sikap mereka yang mengklaim kesempurnaan karena merasa mewakili suara Tuhan.

Demokrasi dan Anti Absolutisme

Dalam perspektif yang lebih luas, upaya memperbarui demokrasi Pancasila seperti diusulkan Denny J.A. bisa juga dikaitkan dengan falsafah dan karakteristik demokrasi modern itu sendiri.

Sejarah demokrasi modern adalah sejarah kebebasan individu dan pembebasannya dari absolutisme kekuasaan sistem feodal dan aristoktat yang mencirikan Abad Pertengahan. Sejak akhir abad ke-17, seiring dengan semakin kokohnya perdagangan dan Pencerahan di tanah Eropa, muncul kesadaran di kalangan masyarakat Eropa akan pentingnya kebebasan dan persamaan individu. Mereka merasa letih dengan perang Katolik dan Protestan yang berlarut-larut, dikenal sebagai “Perang 30 Tahun.” Di samping itu, mereka juga sudah muak dengan tatanan sosial politik yang represif.

Mereka kemudian merancang suatu tatanan baru berdasarkan rasionalitas, yang melindungi hak dan kebebasan warga negara, mengakhiri perang agama, dan mencegah bercokolnya kembali absolutisme. Untuk itu, kedaulatan mesti bersumber pada rakyat; pluralisme dan toleransi mesti dijaga; serta kekuasaan mesti dibatasi dan dikontrol.

Demokrasi pada intinya adalah mekanisme pengaturan kehidupan publik yang mendasarkan diri pada kontrak sosial. Karena itu, ia bersandar pada aturan yang disepakati bersama. Dengan demikian, ia niscaya berwatak sekuler karena dasar legitimasinya bukanlah kitab suci agama tertentu, melainkan rasionalitas publik. Tujuannya agar kekuasaan bisa dikontrol dan dikoreksi, juga agar absolutisme yang menyulut perang agama tidak terulang lagi.

Demokrasi merayakan pluralisme dan toleransi, karena pertukaran dan pertengkaran pikiran dalam pasar bebas ide-ide justru memungkinkan masyarakat untuk mengoreksi kesalahannya sendiri dan berkembang maju. Suara minoritas mendapat hak hidup yang sama dengan pendapat mayoritas. Politik di sini bukan ajang pertarungan antara “kawan” dan “musuh” yang gampang menyulut kerelaan untuk mati demi keyakinan buta terhadap agama tertentu. Politik dalam arti liberal adalah ajang bagi kompromi dan negosiasi.

Dasar filsafatnya bertumpu pada kombinasi dari dua cara pandang terhadap manusia, katakan saja cara pandang yang optimistis dan pesimistis.

Optimisme yang saya maksud adalah pandangan yang melihat manusia sebagai makhluk yang bisa mengatur diri mereka sendiri dan pada saat yang sama bisa berkembang ke arah kemungkinannya yang paling kaya. Optimisme inilah yang mendasari demokrasi karena esensi demokrasi adalah mengatur diri sendiri (self rule).

Optimisme ini pula yang oleh John Stuart Mill, dalam traktatnya, On Liberty, dianggap sebagai alasan kenapa kebebasan individu dan pluralisme harus dipertahankan dari ancaman tirani mayoritas. Karena, hanya dengan kebebasan dan keragaman pandanganlah manusia bisa selalu memperbaiki kesalahannya.

Namun, bersamaan dengan itu, demokrasi modern juga melantunkan semacam ketidakpercayaan (distrust) terhadap manusia, termasuk mereka yang berkuasa. Demokrasi memandang manusia dengan tatapan curiga. Manusia tidak digambarkan sebagai sosok yang ikhlas tanpa pamrih dan memikirkan orang lain, melainkan sosok yang bisa culas, ambisius, dan hanya memikirkan diri sendiri. Inilah yang saya sebut pandangan pesimistis terhadap manusia (atau realistis?).

Atas dasar kecurigaan semacam inilah tatanan republik melembagakan kontrol dan pengawasan terhadap kekuasaan. Ungkapan James Madison, salah satu founding fathers Amerika, di dalam The Federalist Papers menarik untuk disimak, “If men were angels no government would be necessary. If angels were to govern men, neither external nor internal control on government would be necessary.” Karena manusia bukan malaikat, maka kontrol internal dan eksternal terhadap kekuasaan menjadi niscaya.

Kombinasi antara optimisme dan pesimisme inilah yang mendasari tatanan demokrasi modern. Yakni sistem yang menampung kepercayaan terhadap kebaikan manusia, melembagakan kecurigaan terhadap watak manusia, dan mengakui bahwa manusia bisa lurus dan amanah, tapi juga bisa korup dan culas. Karena itu, rule of law sebagai sistem kontrol terhadap negara maupun masyarakat agar tak sewenang-wenang menjadi hal yang niscaya.

Yang khas dari demokrasi modern: tak ada pretensi untuk menjadi sistem yang sempurna, absolut, dan berlaku abadi. Demokrasi justru bertolak dari ketidaksempurnaan, sehingga selalu ada peluang untuk koreksi dan perbaikan di kemudian hari. Inilah yang membedakannya dengan absolutisme dalam Islamisme, misalnya, yang mengklaim bersifat lengkap dan berlaku abadi karena bersandar pada Kedaulatan Tuhan (Hakimiyyah).

Walhasil, upaya menyegarkan kembali demokrasi Pancasila adalah suatu penegasan bahwa Pancasila merupakan proses negosiasi terus menerus dari sebuah bangsa yang tak pernah tunggal dan seragam, dan tak perlu ditunggalkan dan diseragamkan. Sebagaimana dinyatakan Bung Karno, Pancasila merupakan Weltanschauung NKRI, yang sekaligus menjadi identitasnya. Mengubah atau mengganti Pancasila sama saja dengan membubarkan identitas NKRI itu sendiri.

Tapi Pancasila tak perlu dipahami sebagai sesuatu yang absolut, kekal, dan kedap dari perkembangan zaman, karena ia berada dalam “kawah candradimuka” kehidupan sosial politik masyarakatnya. Masyarakat yang merupakan “tatanan-dalam-proses,” yang mengakui bahwa sistem apa pun yang dibangunnya senantiasa tak sempurna dan menunutut adanya perbaikan terus menerus, sekaligus menampik ilusi tentang kesempurnaan yang menjadi ciri utama absolutisme.

Kolom Terkait: 

Dalam NKRI Tak Ada Orang Kafir!

Akhmad Sahal
Akhmad Sahal
Kandidat PhD, University of Pennsylvania, Amerika Serikat. Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.