Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj pada 10 Februari 2017 mengeluarkan penyataan tertulis bahwa warga Nahdlatul Ulama boleh memilih calon siapa saja dan nomor berapa saja asal bertanggung jawab. Jika ada organisasi NU, lanjutnya, mulai dari pusat hingga ranting, mengarahkan organisasinya pada partai atau kandidat tertentu dengan mengatasnamakan NU, itu tidaklah sah. Ia hanya mengatasnamakan pribadi dan bukan dukungan organisasi.
Himbauan ini, sebagaimana tertulis dalam pernyataan tersebut, didasarkan pada amanah yang diemban oleh KH Said Agil Siradj sebagai Ketua Umum Tanfidziah untuk memegang teguh Khittah NU 1926 yang tidak memberikan dukungan politik pada partai mana pun dan kandidat siapa pun.
Pernyataan publik ini sangat menggembirakan. Menggembirakan karena di tengah-tengah banyaknya penceramah agama dan himbauan-himbauan keagamaan, baik di masjid-masjid, majelis taklim, media sosial maupun media lainnya, yang menggiring penyempitan atau eksklusivisme dalam berbangsa, NU justru tampil dengan menggemakan inklusivitas atau keterbukaan dengan memberikan kebebasan memilih kepada warganya. Dengan catatan, pilihannya harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab.
Mengapa NU bersikap demikian? Karena sikap keagamaan yang dianut dan dibatinkan oleh NU adalah aushatiyah, yakni moderat. Pendulumnya tidak ekstrim ke kanan, tetapi juga tidak ekstrim ke kiri. Sebagaimana nampak pada lambang NU dalam bentuk timbangan untuk menekankan bersikap adil kepada siapa pun dan apa pun.
Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU juga tak hanya menekankan pentingnya prinsip persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyyah), tetapi juga menekankan prinsip persaudaran sesama warga bangsa (ukhuwah wathoniyyah) dan persaudaraan sesama umat manusia (ukhuwah insaniyah/basyariah).
Tentang persaudaraan sesama warga bangsa, dalam pelbagai kesempatan sepanjang hidupnya, almarhum Gus Dur seringkali mengatakan bahwa Islam hendaknya tidak dijadikan sebagai ideologi tandingan yang diperhadapkan dengan ideologi Pancasila saat ini. Karena ia akan menampilkan ideologi dengan warna tunggal yang berdampak pada perpecahan bangsa.
Sebaliknya, Islam, sebagaimana juga agama-agama lainnya, mesti tampil sebagai penguat yang memperkokoh nilai-nilai Pancasila, karena ideologi ini tidaklah sekuler, tetapi juga tidak sektarian. Sebuah ideologi terbaik yang bisa didapat dari hasil kompromi dari kelompok-kelompok masyarakat Indonesia yang majemuk.
Persaudaraan Sesama Umat Manusia.
Mengenai persaudaraan sesama umat manusia, Al-Ghazali (1058-1111), ulama besar yang sangat berpengaruh di dunia Islam dan menjadi manhaj (rujukan teologis) organisasi NU, menulis dalam kitabnya Kimyatus Sa’adah bahwa “jika seseorang mencintai Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka ia juga harus mencintai seluruh umat manusia, tanpa kecuali, karena mereka adalah karya cipta dan tulisan tanganNya”. Bahkan, tak hanya manusia sejagat yang dicintai, melainkan seluruh makhluk yang terdapat di alam raya ini.
Dalam kitab yang sama, Al-Ghazali pun menulis tentang perlunya perlindungan terhadap umat manusia. Menurutnya, ada dua aspek pokok yang harus dilindungi dari manusia. Pertama, ia harus dilindungi jiwanya. Membunuh dan melukai jiwa manusia atas dasar apa pun, apalagi atas dasar kepentingan politik praktis sama sekali tak dibenarkan.
Kedua, ia harus dilindungi jasad atau fisiknya. Perlindungan terhadap yang kedua ini dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa untuk memastikan kebutuhan fisiknya terpenuhi, seperti kebutuhan pangan, sandang dan papan. Kedua konsep ini kelak menjadi embrio konsep hak asasi manusia dalam perspektif Islam.
Dengan demikian, politik yang diletakkan dan dikembangkan NU adalah politik dalam cakupannya yang luas. Ia bukan politik sektarian dan berjangka pendek, melainkan politik yang bersifat universal, melintasi sekat dan berjangka panjang. Ia tak hanya membatasi politiknya pada kepentingan warga NU semata, melainkan politik Islam dalam kepentingan kemanusiaan dan makhluk sejagat.