Mata Najwa yang kembali di layar kaca pertelevisian kita, Rabu, 10 Januari 2018, spontan menggugurkan kecurigaan saya bahwa presenternya akan alih profesi. Ya, dulu saya sempat terperanjat mendengar kabar bahwa Najwa Shihab hendak pensiun main “mata” terhitung sejak 30 Agustus 2017 lalu.
Dengan segenap keterampilan yang ia miliki, bukan tidak mungkin jika Najwa akan alih profesi. Lebih-lebih dia hengkang dari salah satu industri televisi swasta kita itu di saat situasi negeri yang justru sangat membutuhkan sosok Najwa yang kritis, cerdas, tangkas, pintar ngomong, dan yang jelas Islam.
Ya, dulu saya sempat mengira bahwa Najwa hendak mengikuti jejak Grace Natalie yang banting setir dari jurnalis menjadi seorang petinggi partai. Empat predikat pertama yang melekat pada sosok Najwa di atas, saya kira lebih dari cukup untuk bekal dia bergelut dalam dunia politik praktis. Apalagi ditunjang dengan sosoknya yang terhitung populer, cantik, dan menawan–yang dalam jagat politik adalah sesuatu sekali. Lebih-lebih menyongsong Pilkada 2018 ini. Cukup menjanjikan. Ya, bisa jadi semacam magnet gitu.
Tsamara Amany Alatas, yang semestinya jadi pacar saya itu, dalam hal ini barangkali akan sangat keberatan jika ternyata Najwa mengikuti logika berpikir konyol saya. Dan oleh karena itu, sejak awal saya sangat sadar bahwa itu adalah ilusi belaka. Tapi bukan ini poin saya.
Kembali ke Tsamara yang keberatan. Betapa tidak, sebagai seorang petinggi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dia kritis, cantik iya, dan pintar ngomong. Bahkan secara tegas Fahri Hamzah sempat mengakui, lepas dari ragam konotasi, bahwa Tsamara adalah “anak yang baik”. Tidak tanggung-tanggung, Wakil Ketua MPR lho nda yang mengakui.
Bahkan, dia juga merupakan aktivis anti-korupsi seperti Najwa. Soal cerdas, dengan berkuliah di Universitas Paramadina yang umumnya para mahasiswa semester akhir menghabiskan masa tenggangnya untuk fokus tugas akhir, dan Tsamara malah justru ngurus “umat”, itu saya kira merupakan indikator bahwa kecerdasan dia di atas rata-rata.
Kendati begitu, senioritas dan jam terbang tetap tidak bisa diganggu gugat. Artinya, Ketua DPP PSI akan mendapat rival yang cukup berarti, jika Najwa benar mendirikian partai politik baru atau setidaknya menerima pinangan partai politik lain, meski Tsamara mengawali start dalam berkecimpung di dunia politik praktis.
Tapi, Najwa tetaplah Najwa, demikian juga Tsamara. Keduanya berjalan pada tarekatnya masing-masing untuk menyuarakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika Tsamara kini sedang sibuk konsolidasi partai yang kebanyakan diisi para kaum muda milenial, Najwa lebih memilih untuk tetap komitmen mendedikasikan dirinya sebagai Duta Baca Indonesia sembari mengisi masa cutinya dari Mata Najwa dengan memenuhi gairah jurnalistiknya, meski via kanal Youtube yang telah di-subscribe sekurang-kurangnya 200 ribuan subscriber itu. Dan yang jelas keduanya tetap menginspirasi saya.
Selain spekulasi yang telah terpatahkan mengenai menjadi petinggi partai itu, saya juga sempat membayangkan jika Najwa “hijrah” kemudian alif profesi menjadi pendakwah atau lebih akrab dipanggil ustazah. Saya yakin, Najwa sebetulnya punya banyak gagasan keagamaan yang boleh jadi tidak bisa ia salurkan melalui acara talk show-nya secara langsung.
Bayangan itu setidaknya saya dasarkan pada dua hal. Pertama, secara biologis, dia berlatar belakang keluarga yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat. Bahkan, ayahnya, Prof Dr M. Quraish Shihab, adalah seorang ulama yang jelas kapabilitas keilmuannya dan merupakan salah satu pakar tafsir Al-Qur’an kontemporer. Hal ini tentu menjadi poin plus buat ustazah Najwa Shihab.
Kedua, figur publik. Ya, profesi Najwa sebagai presenter talk show yang cukup digemari lintas kelas, wa bil khusus anak muda, saya kira cukup potensial menjadikan dia sebagai tokoh yang akan diikuti dan didengar banyak orang jika menjadi ustazah.
Cukup mendaku telah “hijrah” dengan membalutkan hijab di sekujur tubuhnya, bila perlu sampai ke sandal-sandalnya, yakin deh pasti para ukhti maupun ikhwan akan hijrah juga menjadikan ustazah Najwa sebagai panutan.
Apalagi, belakangan ini mulai muncul kecenderungan bahwa siapa pun dia, yang penting terkenal; baik selebriti, pelawak, pesulap, dan sebagainya, sejauh dia beragama Islam ditambah embel-embel “hijrah”, maka layaklah dia menyandang gelar ustaz/ustazah.
Nah, jika dua hal di atas disatukan dalam sebuah ikatan yang sah, ditambah dengan gayanya yang cukup nyentrik, lalu disponsori kemampuan dia dalam beretorika dengan ragam rima, juga gagasan-gagasan segarnya betapa itu bukan merupakan jurus jitu dalam mendakwahkan Islam yang cukup digemari di era milenial ini. Dan yang jelas ia juga punya followers yang tidak sedikit di media sosial.
Saya yakin, jika Najwa beralih profesi menjadi ustazah, pabrik hijab Rabbani pasti akan mempertimbangakan dia sebagai bintang iklan. Belum lagi tawaran dari tv-tv untuk menjadikannya sebagai narasumber acara-acara keislaman.
Namun, pada saat yang sama saya sadar, bahwa keimanan seorang Najwa Shihab tidak berada pada hal-hal yang artifisial seperti itu. Najwa juga bukan seorang yang akan silau dengan gemerlapnya pameran keimanan yang diperagakan sedemikian menyedihkan.
Nyatanya, Mata Najwa kembali “berkedip” setelah rehat sekurang-kurangnya satu semester. Artinya, betapapun spekulasi itu, hanyalah ilusi saya belaka. Karena memang secara personal saya tidak kenal Najwa secara langsung akibat pernah kenalan atau lain sebagainya, dan begitu pun dengan Najwa yang tidak mengenal saya.
Meski demikian, saya cukup optimistis dengan kembali hadirnya Mata Najwa di layar kaca merupakan secercah harapan bagi kita yang rindu akan tayangan-tayangan segar nan “sehat” di pertelevisian Indonesia. Juga talk show yang menyoroti isu-isu krusial di tengah publik seputar politik, hukum, sosial, agama, kemasyarakatan, korupsi, dan sebagainya itu boleh jadi semacam lampu kuning buat para elite politisi. Siapa mereka itu?
Ya, mereka yang mencoba-coba mengusik keadilan atas nama apa pun. Karena, Mata Najwa reborn siap mengintai siapa pun, kapan saja, dan di mana saja. Hanya persoalan waktu. Bravo Mba Nana and Crew!!!
Kolom terkait:
Mata Najwa, Mata Novel, dan Mata Kita, Bukan Mata Dewa