Kamis, April 25, 2024

Menyoal Politisasi Masjid Istiqlal

Zuhairi Misrawi
Zuhairi Misrawi
Ketua Moderate Muslim Society, Alumnus Universitas al-Azhar, Kairo Mesir. Intelektual Muda Nahdlatul Ulama. Ketua Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia. Menulis sejumlah buku: Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (2008), Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Keindonesiaan dan Keumatan (2012), Mekkah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim (2010), Madinah: Kota Suci, Piagam Madihan, dan Teladan Muhammad (2011), Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (2013).

Ribuan umat Islam berkumpul di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, menjelang Aksi 112 [Sumber: poskotanews.com/timyadi]
Masjid Istiqlal merupakan salah satu masjid yang bersejarah di republik ini. Masjid ini sering disebut-sebut sebagai masjid terbesar di Asia Tenggara, karena mampu menampung ratusan ribu jemaah. Umat Islam, siapa pun, pasti ingin menjejakkan kakinya sembari sembahyang atau salat di masjid yang megah ini.

 

Saya masih ingat, pada tahun 1995, sebelum saya berangkat kuliah ke Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, saat tiba di Jakarta ada dua tempat yang langsung dikunjungi: Masjid Istiqlal dan Monumen Nasional. Intinya, belum terasa ke Jakarta kalau belum salat di Masjid Istiqlal. Sama halnya belum ke Mesir, kalau tidak sembahyang di Masjid Amr bin Ash.

Maklum, Masjid Istiqlal merupakan masjid yang dibangun oleh Presiden RI pertama, Soekarno, yang secara simbolik mempunyai makna penting bagi republik. Pertama, dari segi nama, “istiqlal”, berarti kemerdekaan. Masjid ini secara eksplisit merupakan bukti kemerdekaan RI dari penjajahan.

Sebagai tanda syukur kepada Tuhan, maka Bung Karno ingin merayakan kemerdekaan RI dengan membangun masjid. Harapannya, kita semua dapat mengingat sejarah republik dengan baik, bahwa kemerdekaan RI diraih dengan darah, keringat, dan air mata seluruh warga dari berbagai agama, suku, ras, dan bahasa.

Kedua, arsitek Masjid Istiqlal adalah Frederich Silaban, penganut Kristen Protestan. Pemilihan Silaban sebagai arsitek Masjid Istiqlal mempunyai makna penting, bahwa sejak republik ini berdiri kita sudah mempunyai Pancasila sebagai titik-temu (kalimatun sawa) dan kesepakatan bersama (mu’ahadah jama’iyyah), bahwa negeri ini sebagai Negara Pancasila yang dibangun oleh seluruh tumpah darah seluruh warga dari berbagai ragam agama, suku, ras, dan bahasa.

Sejak awal kemerdekaan, umat agama-agama bisa duduk bersama dan mencari jalan keluar dari kemusykilan politik. Dalam negeri Pancasila, tidak ada lagi ego sektoral dan primordial. Mayoritas tidak boleh menindas minoritas. Kita adalah negeri Pancasila.

Frederich Silaban [foto: kompas]
Pilihan terhadap Silaban sebagai arsitek Masjid Istiqlal agar seluruh warga selalu mempunyai ikatan dan jiwa kebangsaan yang kokoh. Dari Masjid Istiqlal ini umat Islam dapat beribadah melaksanakan sembahyang dan merayakan hari-hari besar Islam. Tetapi yang lebih penting dari itu, umat Islam harus ingat bahwa keislaman yang harus selalu mengemuka di negeri adalah keislaman yang mampu memperkuat tali persatuan dan persaudaraan sesama warga-bangsa (ukhuwwah wathaniyyah).

Bung Karno berpikir jauh ke depan agar seluruh warga dapat melihat sejarah negeri ini. Sebab itu, ia punya pesan yang sangat baik bagi kita semua, “jas merah”. Artinya, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Nasionalisme kita akan selalu kokoh, jika mampu menjadikan sejarah sebagai salah satu preferensi kita dalam berbangsa dan bernegara.

Ketiga, Masjid Istiqlal dibangun berhadap-hadapan dengan Gereja Kathedral. Pada mulanya, Masjid Istiqlal rencananya akan di kawasan Bundaran HI, dekat Hotel Indonesia. Tapi Bung Karno lagi-lagi mengusulkan agar Masjid Istiqlal di kawasan Taman Wilhelmina, pas di depan Gereja Kathedral.

Setelah itu kita melihat di kota-kota lainnya, masjid dan gereja menjadi landmark. Maknanya sangat mendalam bahwa negeri Pancasila adalah negeri yang berketuhanan sesuai dengan agama dan keyakinan warganya. Tetapi ketuhanan yang dimaksud adalah ketuhanan yang berkebudayaan. Menurut Bung Karno dalam Pidato Pancasila 1 Juni 1945, setiap penganut agama dan keyakinan sejatinya saling menghormati dan saling menghargai antara pemeluk agama/keyakinan. Tidak boleh ada egoisme dan fanatisme.

Maka, Masjid Istiqlal mempunyai makna penting bagi republik untuk mengingatkan kita semua bahwa umat Islam sebagai mayoritas harus melindungi minoritas. Umat Islam tidak boleh dibenturkan dengan umat-umat agama lain, karena sesungguhnya umat agama-agama di negeri ini telah sepakat dan bergotong-royong untuk meraih kemerdekaan. Dan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan RI di masa depan harus secara bersama-sama pula. Umat Islam harus saling bahu-membahu dengan umat-umat agama lain.

Politisasi Istiqlal
Namun, kita miris melihat perkembangan mutakhir, sejak beduk Pilkada DKI ditabuh. Ada perasaan yang sulit dibantah bahwa Masjid Istiqlal kini makin dijauhkan dari spirit yang diinginkan oleh para pendiri republik ini, sebagaimana dijelaskan di atas.

Bayangkan, sejak aksi demo menyeruak yang secara eksplisit hendak melakukan kriminalisasi terhadap Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Masjid Istiqlal digunakan sebagai tempat untuk menyampaikan aspirasi politik. Ironisnya, aspirasi politik yang dipekikkan bukanlah politik kebangsaan yang di dalamnya mengajak persatuan dan persaudaraan, melainkan seruan yang bisa mengoyak-ngoyak solidaritas kebangsaan kita.

Tidakkah mereka berpikir, walau hanya sejenak, bahwa Masjid Istiqlal didesain oleh seorang arsitek dari Kristen Protestan, yang agamanya sama dengan yang dianut Gubernur Ahok. Masjid Istiqlal adalah simbol persatuan, bukan simbol perpecahan dan intimidasi.

Saya tidak habis pikir, kenapa Masjid Istiqlal justru digunakan sebagai destinasi bagi pihak-pihak yang hendak melakukan makar terhadap pemerintahan yang konstitusional dan dipilih secara demokratis. Bahkan, di antara mereka mempunyai ideologi yang justru bertentangan dengan Pancasila.

Sayangnya lagi, sepertinya pengelola Masjid Istiqlal dan Kementerian Sekretariat Negara atau Kementerian Agama yang bertanggungjawab penuh terhadap Masjid Istiqlal tidak merasa khawatir dan gelisah sama sekali. Mereka terlihat membiarkan upaya “politisasi Masjid Istiqlal”.

Kita semua wajib mengingatkan kembali tentang bahaya politisasi masjid untuk sekadar memenuhi hasrat kekuasaan. Masjid adalah rumah Tuhan yang mulia, suci, dan agung. Tidak pada tempatnya Masjid Istiqlal dijadikan sebagai ajang kampanye.

Kita perlu belajar dari Mesir, bagaimana Ikhwanul Muslimin menjadikan masjid sebagai instrumen politik. Dari masjid, Ikhwanul Muslimin memekikkan ideologi “negara-agama” yang sudah terbukti memecah-belah warga Mesir, sehingga muncul kelompok “ikhwani” dan “ghair ikhwani”. Mesir pasca musim semi mengalami perpecahan dan kebangkrutan yang sangat luar biasa, yang salah satunya akibat politisasi masjid.

Maka dari itu, pengelola Masjid Istiqlal dan pemerintah sejatinya mempunyai kesadaran penuh untuk mengembalikan Masjid Istiqlal pada fungsi utamanya sebagai simbol pemersatu bangsa. Kemerdekaan republik ini diraih secara bersama-sama oleh seluruh warga dari berbagai agama, dan karenanya Masjid Istiqlal harus menjadi sumber inspirasi persatuan dan persaudaraan.

Jika ada aksi atau demonstrasi di masa mendatang yang berpotensi memecah belah warga bangsa atau bernuansa politis, sebaiknya pengelola Masjid Istiqlal mengambil sikap tegas untuk tidak memberikan izin. Saya kira bukan hanya Masjid Istiqlal, tetapi juga masjid-masjid lain di negeri ini, khususnya di Jakarta, harus disterilkan dari kampanye politik. Kita ingin demokrasi yang bermartabat, bukan demokrasi yang merusak nilai-nilai luhur keagamaan dan kebangsaan kita. Wallahu a’lam.

Baca juga:

Ongkos-Ongkos Aksi Bela Islam

Ada Apa dengan Aksi Bela Islam?

Zuhairi Misrawi
Zuhairi Misrawi
Ketua Moderate Muslim Society, Alumnus Universitas al-Azhar, Kairo Mesir. Intelektual Muda Nahdlatul Ulama. Ketua Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia. Menulis sejumlah buku: Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (2008), Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Keindonesiaan dan Keumatan (2012), Mekkah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim (2010), Madinah: Kota Suci, Piagam Madihan, dan Teladan Muhammad (2011), Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (2013).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.