Jumat, Maret 29, 2024

Menyikapi UU Ormas secara Proporsional

Aksi massa menolak pembubaran ormas HTI di Jakarta [Foto: Tempo]

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) memang sangat wajar menimbulkan kotroversi. Di antara poin-poinnya yang dianggap paling krisial adalah, pertama, tentang kegentingan yang memaksa, yang menjadi alasan utama lahirnya Perppu.

Kedua, tentang anggapan ketiadaan hukum yang memadai untuk menindak ormas-ormas yang ditengarai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Ketiga, tentang penghilangan peran hakim/pengadilan dalam proses pembubaran ormas.

Keempat, unsur ancaman pidana yang dianggap tidak manusiawi; dan kelima, berpotensi mengancam hak-hak kelompok agama minoritas dengan tuduhan penistaan agama, terutama yang dianggap berlawanan dengan agama mayoritas.

Masukan-masukan dari masyarakat untuk perbaikan, apalagi penolakan, sudah sulit dilakukan karena Perppu telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang Ormas. Tapi pengesahan ini tentu tidak lantas menutup kontroversi, malah semakin menyulut kemarahan pihak-pihak yang merasa menjadi korban seperti ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah dibubarkan pemerintah.

HTI dan para pendukungnya menganggap pemerintah saat ini telah bertindak represif dan otoriter, sehingga diperlukan perlawanan dari masyarakat untuk mengoreksi, atau bahkan bila perlu menggantinya dengan pemerintahan baru yang sesuai kehendak mereka.

Saya menganggap respons semacam itu sudah berlebihan. Kita boleh saja tidak setuju, tapi menuduh pemerintah represif dan otoriter, apalagi sampai berupaya mengganti pemerintah, adalah bagian dari sikap-sikap yang tidak proporsional.

Di negara demokrasi mana pun, selalu ada undang-undang yang kontroversial. Itu hal yang biasa. Sepanjang pemerintah masih membuka peluang dialog dan kemungkinan revisi terhadap undang-undang yang dimaksud, saya kira tidak ada alasan menuduh pemerintah represif dan otoriter. Apalagi hakikatnya yang dilakukan pemerintah hanyalah usulan (dengan Perppu), yang mengesahkan Perppu menjadi UU adalah DPR, bukan pemerintah. Tugas pemerintah, sesuai konstitusi, hanyalah melaksanakan apa yang sudah disahkan DPR.

Kalau dilihat dari sifat dan fungsinya, UU Ormas mirip dengan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Bedanya, yang pertama objek dan subjeknya berupa institusi (ormas), sementara yang kedua bisa institusi, bisa juga individu. Kesamaan antara keduanya terletak pada ancaman pidananya, yakni pada individu.

Fungsi utama UU dalam kehidupan sosial yang paling pokok, seperti obat, yakni untuk mencegah dan mengobati. Mencegah artinya untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan penyakit yang bisa menyerang kapan saja. Dan mengobati artinya untuk menyembuhkan siapa pun yang sudah (telanjur) sakit.

Dengan memaknai fungsi utama UU seperti ini, seyogianya kita bisa melihat keberadaan UU Ormas secara positif. Persoalan akan menjadi rumit pada saat yang sakit tidak merasa dirinya sakit. Obat tidak dianggap menyembuhkan malah dilihat sebagai ancaman.

Untuk tidak terjebak pada kerumitan itu, marilah kita melihat UU dalam perspektif negara demokrasi. Di negara demokrasi mana pun, pada setiap individu melekat hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Setiap individu punya kebebasan, punya hak untuk berekspresi. Tapi dalam mengimplementasikan kebebasan dan hak ekpresinya itu jangan sampai membuat kebebasan dan hak pihak lain terlanggar.

Karena setiap individu punya hak untuk merasa aman, bebas dari ancaman pihak lain, maka antara hak kebebasan individu dan hak merasa aman dalam praktiknya sering berbenturan. Karena itu, harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban. Tanpa adanya keseimbangan, ekspresi kebebasan dan hak seseorang lebih sering mengganggu keamanan dan kenyamanan orang lain.

Sebagai ilustrasi, setiap warga negara memiliki hak untuk mengekspresikan keluhan dan kekesalan. Tapi pada saat akspresi itu disampaikan membuat pihak lain merasa tersinggung atau bahkan terhina, maka oleh yang merasa tersinggung dan terhina, pelakunya bisa dijerat dengan UU ITE. Contohnya sudah banyak. Lantas bagaimana jika hal yang sama dilakukan oleh ormas? Pelakunya akan dijerat dengan UU Ormas.

Sudah ada pihak-pihak yang berusaha mengajukan peninjauan ulang, uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal-pasal kontroversial UU Ormas. Saya kira langkah ini patut kita apresiasi, seperti langkah Partai Demokrat yang berusaha mengusulkan revisi melalui DPR.

Tapi, menurut hemat saya, dalam menyikapi pasal-pasal kontroversial UU Ormas itu, yang terpenting bukan upaya sungguh-sungguh untuk merevisi atau menghapusnya, tetapi bagaimana seharusnya sikap kita terhadap pihak-pihak yang mengkritik kita? Dan bagaimana seharusnya sikap kita terhadap orang-orang yang tidak kita sukai?

Jika semua pihak sudah bisa menerima kritik (dari yang terlunak hingga yang paling keras) secara lapang dada; jika semua aktivis dan para kritikus mampu mengemas kritik-kritik secara elegan tanpa sumpah serapah, sangat mungkin, pasal-pasal kontroversial itu hanya akan menjadi rambu-rambu yang tidak mengganggu atau mengancam siapa pun.

Kolom terkait:

HTI, Yahudi Madinah, dan Perongrong Negara Kesepakatan

HTI dan Khilafah itu Produk Politik

Perppu Ormas, Islam, dan Pancasila

Kerugian Konstitusional Setelah Perppu Ormas Disetujui

Pengurus Negara, Jangan Bungkam Kebebasan Warga!

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.