Jumat, Maret 29, 2024

Menguji Mental Antikorupsi Pansel KPU

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Pada 12 Februari 2018 lalu, bertempat di salah satu hotel di Jakarta, saya dan puluhan lain yang mayoritas berprofesi dosen diundang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk mengikuti pelantikan dan bimbingan teknis Panitia Seleksi (Pansel) Anggota KPU Kab/Kota.

Saya berada di Zona 3 Sulawesi Tenggara bersama empat orang lainnya. Saya tidak bisa mengatakan bahwa kami adalah orang-orang terbaik tetapi kami adalah orang-orang terpilih yang kemudian diamanahkan untuk menyeleksi calon anggota KPU Kab/Kota.

Ini tentu bukan hal mudah, membutuhkan integritas, komitmen, dan dedikasi lebih agar bisa menghasilkan penyelenggara pemilu dan pemilukada yang profesional, mandiri, dan berintegritas pula. Ada begitu banyak tantangan dan hambatan yang harus dihadapi. Ada pergumulan kepentingan politik, relasi kekerabatan dan profesi, ditambah lagi pressure koordinatif antara anggota Pansel dengan atasannya di institusi asal.

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana seharusnya Pansel memposisikan dirinya di tengah pergumulan berbagai macam kepentingan itu?

Taat Aturan

Pada hakikatnya Pansel adalah perpanjangan tangan KPU Pusat untuk menyeleksi putra-putri terbaik di daerah yang berminat menjadi anggota KPU Provinsi dan Kab/Kota. Meskipun demikian, pemaknaan terhadap Pansel tidak bisa dilihat sebagai representasi KPU Pusat semata, tetapi juga menjadi ajang untuk menunjukkan komitmen dan perhatian penuh kepada daerahnya masing-masing. Sebab, yang akan diloloskan adalah orang-orang yang nantinya ikut menentukan arah pembangunan daerah ke depan. Dalam bahasa konstitusi, ini disebut sebagai tugas mengurus hajat hidup orang banyak.

Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, Pansel dibekali berbagai macam peraturan sebagaimana layaknya pedang tajam dewi Themis (keadilan). Ia tidak boleh tajam ke bawah, tumpul ke atas. Tidak boleh juga diberlakukan secara diskriminatif atas dasar kepentingan Pansel atau orang-orang tertentu. Ia harus  menjadi mata dan backbone serta pedoman saat Pansel memulai tugasnya. Selain itu, Pansel juga diikat oleh tata kerja kode etik.

Secara teknis, paling tidak ada tiga peraturan yang menjadi fondasi Pansel bekerja. Pertama, Peraturan KPU RI Nomor 7 Tahun 2018 tentang Seleksi Anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kedua, Keputusan KPU RI Nomor 35 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Seleksi Anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Ketiga, Keputusan KPU RI Nomor 36 Tahun 2018 tentang Tata Kerja dan Kode Etik Tim Seleksi Anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Ketiga peraturan tersebutlah yang akan membimbing Pansel. Ketika Pansel taat aturan, maka sudah dapat dipastikan produknya akan membahagiakan semua orang karena menghasilkan orang-orang terbaik. Sebaliknya, jika Pansel bekerja dengan mengangkangi aturan, kongkalingkong, bertindak masa bodoh, maka tanpa sadar Pansel sedang merakit bom waktu dengan daya eksplosif tinggi, yang pada akhirnya akan membunuh Pansel itu sendiri.

Kemudian mengenai kode etik, saya berpandangan bahwa ini adalah ruh yang akan menjiwai dinamika tugas dan tanggung jawab Pansel. Kode etik bukan hanya aturan semata (law in concreto) tetapi ia adalah standar moral dan etik (law in abstracto) yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap anggota Pansel. Kode etiklah yang akan memfilter perilaku, sikap, tindakan, dan keputusan Pansel baik secara personal maupun kelembagaan. Melalui kode etik pula, kita dapat meyakini bahwa pekerjaan telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Merujuk pada Keputusan KPU RI No. 36 Tahun 2018 tentang Tata Kerja dan Kode Etik Tim Seleksi Anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota, pada Bab V disebutkan bahwa Pansel bekerja dengan dilandasi beberapa nilai etik. Pertama, bersifat mandiri. Kedua, bebas dari pengaruh siapa pun, dari mana pun dan dalam bentuk apa pun.

Ketiga, menjunjung tinggi prinsip profesionalitas. Keempat, transparansi. Kelima, akuntabilitas. Keenam, atau yang terakhir adalah prinsip partisipasi publik.

Prinsip-prinsip etik tersebut diejawentahkan dalam tindak tanduk dan keputusan kelembagaan. Misalnya, Pansel dilarang memberikan janji, harapan, dan menerima pemberian dalam bentuk apa pun yang berkaitan dengan pemilihan calon anggota KPU Provinsi atau Kab/Kota.

Selain itu, Pansel juga dilarang menciptakan hegemoni otoritas atau tirani mayoritas seseorang (misalnya ketua Pansel) kepada yang lain, sebab hal itu bertentangan dengan prinsip kemandirian dan profesionalitas. Besar potensi mendagangkan pengaruh (trading in influence) atas posisi seseorang di Pansel. Inilah yang berbahaya dan harus dihindari sedini mungkin.

Bermental Antikorupsi

Kita bisa membayangkan bahwa Pansel adalah suatu tim yang memiliki otoritas besar, sehingga potensi untuk disalahgunakan sangat besar pula. Padahal, jika disadari sepenuhnya, kepentingan masyarakatlah yang menjadi taruhannya kelak.

Tingginya godaan di satu sisi dan besarnya kewenangan di sisi yang lain menjadi ujian yang menarik bagi Pansel, meski harus diakui juga bahwa secara realistis hal itu akan menempatkan Pansel dalam posisi yang dilematis. Terjadi konflik batin sebab ada tolak dan tarik kepentingan yang dayanya sama besar satu sama lain.

Dalam kondisi yang demikian, saya berpandangan bahwa selain taat aturan, Pansel juga harus memiliki mental antikorupsi, bukan mental antri korupsi. Mental yang bisa membedakan mana yang halal dan yang haram. Bisa membedakan pula mana perbuatan yang terpuji dan perbuatan yang hina. Sikap moral ini pula yang bisa membedakan antara orang yang amanah dengan khianat amanah.

Intinya, duduk di posisi Pansel bukanlah hal yang mudah bagi mereka yang berjiwa transaksional. Ada berbagai macam konflik batin yang harus dirasakan. Sebab, ia mesti mengakomodiasi berbagai kepentingan, termasuk juga kepentingan memenuhi syahwat kekuasaan orang-orang tertentu.

Sebaliknya, itu menjadi hal yang tidak terlalu sulit bagi mereka yang bermental antikorupsi. Sebab, tidak ada beban psikologis yang harus ditanggung dan hebatnya lagi, bisa menegakkan kepala dengan mudah. Karena segala macam kepentingan yang bermotif pribadi atau kelompok dibuang jauh ke belakang dan yang dikedepankan adalah kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Mental antikorupsi tersebut, misalnya, dapat diwujudkan melalui langkah sadar anggota Pansel yang secara sukarela meminta dilakukan penyadapan komunikasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan cara ini, segala macam kecurigaan dan fitnah yang keji dari berbagai pihak dapat dihindari. Penyadapan tersebut juga menajdi alarm bagi setiap anggota Pansel agar berhat-hati dalam menjalankan tugasnya.

Akhirnya, saya harus mengatakan bahwa dengan segala hormat, tulisan ini bukan untuk menggurui kawan-kawan Pansel KPU yang lain tetapi lebih pada early warning untuk diri saya sendiri. tulisan ini juga tidak ditujukan sebagai alat propaganda saya, juga tidak mewakili sikap Pansel Zona 3 Sulawesi Tenggara, melainkan sebagai hidangan yang dapat dinikmati oleh semua orang yang cinta dan sayang kepada daerah dan negara ini. Selamat menikmati aneka ragam hidangan…

Kolom terkait:

Agar KPU Lebih Mandiri dan Profesional

Ujian “Regulasi” KPU

Yang Memilih Lalu Kecewa

Operasi Tangkap Tangan dan Keserakahan Pejabat

Bacot Fahri Hamzah dan Substansi OTT

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.