Minggu, November 3, 2024

Mengisi Kemerdekaan, Memperkuat Karakter

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah
- Advertisement -
Sejumlah siswa SD Negeri Minasaupa Makassar mengikuti karnaval di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (16/8). Karnaval tersebut dilaksanakan dalam rangka memperingati HUT ke-72 Kemerdekaan RI. ANTARA FOTO/Yusran Uccang

 

Cara terbaik dalam memperingati hari kemerdekaan adalah dengan mengisinya. Begitulah nasihat para tetua dan guru-guru kita. Diisi dengan apa? Untuk pertanyaan ini terdapat jawaban yang beragam, sesuai minat dan kepentingan masing-masing. Secara verbal, mungkin semuanya baik, tapi secara faktual belum tentu.

Pada era digital seperti saat ini, tidak terlampau sulit mendeteksi apakah seseorang memiliki konsistensi, antara yang diverbalkan dengan tindakannya sehari-hari. Dan, jangan heran pula, jika fenomena diskoneksi antara yang verbal dan yang faktual itu juga kadang ada pada diri orang-orang yang seharusnya kita hormati: para guru, para pemimpin, juga para kiai.

Lantas kita pun berkesimpulan: saat ini bangsa kita mengalami krisis keteladananan. Karena sangat sulit mencari sosok-sosok mulia teladan bangsa, kecuali jika kita menoleh ke belakang, melihat sejarah kehidupan para pejuang dan para pendiri Republik ini. Merekalah–dalam bahasa Yudi Latif–mata air keteladanan.

Mengapa bangsa kita saat ini mengalami krisis keteladanan? Mungkin penyebabnya karena kita sendiri terlampau berharap pada orang lain. Kita menuntut orang lain untuk selalu bijak dan bajik dalam segala hal. Kita menuntut guru-guru, pemimpin, dan para kiai untuk tampil sempurnya pada setiap kesempatan. Come on ….. tak ada manusia sempurna di jagat raya ini. Apalagi sempurna di mata semua orang. Tidak ada. Bahkan para Nabi pun selalu buruk di mata para pembencinya.

Menurut saya, mungkin juga Anda, Buya Syafii, Quraish Shihab, dan Gus Mus, adalah para guru yang layak menjadi teladan. Tapi, bagi para pemuja Habib Rizieq, mungkin lain ceritanya.

Maka, jika Anda dirundung, dilecehkan, bahkan dicaci-maki para pembenci, biasa saja. Begitu juga pada saat dipuja-puji… Jangan baperan!

Kembali pada pertanyaan: bagaimana mengisi kemerdekaan? Rumusnya sederhana, mulailah dari diri kita masing-masing. Kita boleh saja berharap kebajikan dari orang lain. Tapi pada saat yang sama, seyogianya, muncul pula kesadaran bahwa harapan yang sama juga akan disematkan orang lain pada diri kita.

Karena begitulah sejatinya sistem kehidupan. Ada hukum (alam) yang harus dipatuhi. Untuk bisa menerima, kita harus memberi. Untuk bisa memetik, kita harus menanam, baik dalam pengertian harfiah maupun maknawiyah (majazi). Bagi yang percaya pada kekuasaan Tuhan, mungkin ada anomali, ada kejadian-kejadian luar biasa di luar hukum alam. Bisa saja. Tapi secara umum, bahkan Tuhan pun menaati hukum yang Dia buat sendiri, untuk memberi pendidikan pada kita agar tidak berbuat semena-mena.

Memulai dari diri sendiri itulah kuncinya. Inilah yang diajarkan Tuhan. Juga para Nabi. Sebagai contoh, Nabi Muhammad SAW diutus Tuhan ke muka bumi untuk memuliakan akhlak, memperbaiki karakter. Dan Nabi sendirilah yang menjadi cermin, menjadi teladan, bagaimana “manifestasi” karakter yang diinginkan.

- Advertisement -

Mengisi kemerdekaan mulai dari diri sendiri, artinya komitmen untuk menguatkan karakter dengan bersikap, atau menunjukkan sikap yang terpuji. Kita bisa memulai dari hal-hal yang sederhana seperti bagaimana cara berbicara, cara menyampaikan pikiran melalui tulisan (di media sosial dan lain-lain), cara berjalan, dan semua hal yang biasa kita lakukan sehari-hari. Kalau semuanya kita lakukan dengan benar, tanpa mengusik kenyamanan orang lain, itulah hakikatnya karakter yang sesuai dengan jiwa kemerdekaan.

Dalam kemerdekaan ada hak dan kewajiban. Mendapatkan kenyamanan adalah hak, meminta orang lain agar tidak mengganggu kita adalah hak. Tapi untuk mendapatkan hak itu, kita harus menjalankan kewajiban, membayar pajak pada negara agar negara bisa menyediakan jalan yang nyaman, dan tidak mengganggu orang lain agar orang lain juga merasa nyaman.

Tahapan paling elementer dalam pendidikan karakter adalah memberikan pemahaman yang benar tentang hak dan kewajiban. Manusia yang berkarakter adalah yang memahami dan menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya.

Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Demikian tertuang dalam alinea pertama pembukaan konstitusi kita. Di alinea terakhir, disebutkan pula sejumlah kewajiban negara dalam mengisi kemerdekaan seperti melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Mengapa hak didahulukan sebelum kewajiban, karena kondisi negara kita saat konstitusi itu disusun, baru saja mengklaim kemerdekaan, dalam kondisi yang sejatinya masih belum benar-benar merdeka.

Maka, Anda yang saat ini masih merasa terjajah, entah oleh negara, oleh bos-bos di kantor, atau oleh siapa pun, bolehlah mendahulukan hak sebelum kewajiban. Tapi bagi yang sudah bisa hidup nyaman, apalagi sudah merasa bebas berbuat apa saja, sebaiknya mendahulukan kewajiban, sebelum menuntut hak.

Untuk mendeteksi apakah suatu negara saat ini benar-benar sudah merdeka atau masih terjajah, ukurannya sederhana. Pada saat tampak lebih banyak menuntut hak kepada negara-negara lain yang lebih kuat, bahkan kepada warganya sendiri, artinya negara itu belum benar-benar merdeka. Bagaimana kondisi negara kita? Silakan Anda nilai sendiri.

Tapi alangkah baiknya, jika kita sendiri, sebagai warga negara, menunjukkan bahwa kita benar-benar merdeka. Karena mewujudkan kemerdekaan suatu negara juga bisa dimulai dengan mewujudkan kemerdekaan setiap individu warga negaranya.

Dan, para pejabat negara harus bisa membuktikan bahwa negara kita sudah benar-benar merdeka, dengan cara menjalankan kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi negara.

Baca juga:

Memperalat Negara [Renungan 71 Tahun Kemerdekaan Indonesia]

Memimpin Kemerdekaan [Refleksi 71 Tahun Kemerdekaan Indonesia]

Gus Mus, Guru Bangsa Kita

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.