Sabtu, November 9, 2024

Mengapa Saya Ikut Simposium Tragedi 1965

Ariel Heryanto
Ariel Heryanto
Profesor di The School of Culture, History and Language, Australian National University
- Advertisement -

tragedi65Massa dari Front Pancasila melakukan aksi di depan Tugu Tani, Jakarta, Senin (18/4). Mereka menentang pelaksanaan Simposium Nasional bertema “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” karena acara tersebut dianggap rangkaian acara PKI. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Ikut atau Boikot?

Nyesel banget nggak bisa ikutan hari kedua Simposium Tragedi 1965, karena alasan kesehatan. Tapi ikutan hari pertama kemarin bener-benar sebuah berkah. Salut dan terima kasih saya untuk semua teman maupun lawan politik saya yang mau bekerjasama untuk memungkinkan terjadinya pertempuran mulut dan pemikiran yang langka semacam ini. Dan terima kasih atas undangannya.

Terlepas dari isi perbincangan di hari pertama yang sudah banyak dilaporkan dan dibahas banyak pihak, ada satu hal yang masih menggoda benak untuk direnungkan lebih jauh sesudah berakhirnya Simposium 2 hari itu. Yang saya maksud adalah reaksi negatif beberapa pihak kawan dan lawan terhadap acara simposium itu sendiri. Sebagian mengejek, memaki, atau memboikot acara itu.

Mengapa Saya Memilih Ikut

Sudah berpuluh tahun Orde Baru dan pendukungnya memonopoli ruang publik resmi untuk berbicara tentang kejahatan sosok yang dibayangkan dan disebut sebagai “G-30-S/PKI” dan “Orde Lama”. Yang tidak sepakat dibungkam. Penjejalan propaganda berpuluh tahun itu bisa membuat kita muntah-muntah.

Sudah berpuluh tahun pula saya ikut mendengar dan berbicara dalam kelompok lebih kecil dengan kawan-kawan seiman yang “anti-Orde Baru” untuk berbagi curhat soal kejahatan rezim itu. Banyaknya pengulangan “ayat-ayat dan khotbah” moral dan ideologis yang sama selama berpuluh tahun bukan tidak menimbulkan kejenuhan. Apalagi kalau ada yang berlomba mendaku lebih radikal atau lebih menderita sebagai korban Orde Baru.

Kemarin, untuk pertama kali dalam hidup, saya menyaksikan sebuah forum yang bisa mempertemukan sebagian dua kubu itu secara terbuka dan blak-blakan, dalam sebuah acara yang memang dirancang untuk bentrok gagasan dan emosi tanpa sensor atau ancaman fisik, dan direkam puluhan kamera, baik yang resmi dari panitia maupun dari peserta untuk disebarkan langsung ke seluruh penjuru dunia. Mereka bukan sekadar berdebat, tetapi mau saling mendengar lawan debat. Ini langka.

Di luar tempat pertemuan, ada pasukan pengamanan berlapis-lapis dengan seragam maupun yang tidak berseragam, untuk melindungi dan bukan membubarkan acara itu! Tentu saja tidak semua pihak dan tidak semua pihak terwakili disitu. Tidak mungkin ada satu atau dua pertemuan yang mampu menampung semua.

Acara dibuka dengan pidato pejabat. Termasuk pidato pejabat negara, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan dan mantan perwira tinggi militer (Sintong Panjaitan), yang sangat provokatif dan pro-Orde Baru. Karena pernyataan yang sangat bermasalah dari mulut tokoh penting akan selalu menjadi berita yang paling panas, tidak mengherankan bila pernyataan paling buruk mereka beberapa menit dari acara yang berdurasi 10 jam itu menjadi berita utama di media arus utama dan media sosial.

Salah besar jika kita mengabaikan berbagai pesan penting lain yang diangkat di forum dua hari itu; tidak semuanya baru, tetapi sebagian memang sangat baru untuk orang seperti saya.

Indonesia dan masalah 1965 terlalu besar bila dibandingkan dengan kedua tokoh purnawirawan militer itu. Dalam waktu dekat (beberapa tahun), keduanya akan mirip seperti senior mereka (mantan pejabat tinggi negara dan purnawirawan militer) yang duduk diam di samping saya selama acara, dan diperlakukan tidak lebih istimewa dari peserta lain selama Simposium. Sementara masalah Indonesia, dan “tragedi 1965” masih akan tetap berderap dalam puluhan tahun ke depan, tanpa mereka dan orang-orang seusia saya.

- Advertisement -

Mereka yang Menolak

Saya memahami dan menghormati pilihan kawan-kawan yang mengejek, memaki atau memboikot acara Simposium kemarin. Saya juga berterima kasih atas berbagai kritik yang sudah mereka publikasikan, karena semua itu berjasa mengingatkan semua yang hadir agar tetap kritis dan waspada pada kemungkinan terjungkalnya acara itu tidak lebih dari selubung untuk membenarkan skenario yang sudah dipasang pemerintahan Jokowi untuk memaksakan sebuah cara mengubur masalah 1965 dengan gaya yang tidak berbeda jauh dari gaya Orde Baru.

Risiko negatif itu jelas ada pada Simposium. Tetapi saya tetap ikut acara Simposium, dengan tiga alasan. Pertama, pada dasarnya, saya penggemar risiko, walau selalu dalam skala kecil-kecilan dan sebatas yang kira-kira mampu saya atasi.

Kedua, saya tidak berharap hasil yang sangat besar dan positif bagi korban 1965 dari Simposium ini, apalagi semacam “penyelesaian”. Selagi masih bisa, saya hanya ingin mengamati sebuah mata rantai dari sebuah proses sangat panjang yang saya yakin akan berusia lebih panjang dari hidup saya.

Ketiga, yang paling penting, ini sebuah pilihan risiko yang didukung oleh kepercayaan pada pada integritas banyak rekan-rekan aktivis HAM yang bekerja dalam dan di samping kepanitiaan. Mereka ini bekerja keras di balik layar untuk bernegosiasi dengan pihak lawan, mendapat berbagai tekanan, dan tetap bertahan untuk sebuah kepentingan bersama yang lebih besar.

Mereka tidak tampil sebagai pembicara, walau kualitas mereka dalam topik bahasan Simposium jauh di atas rata-rata pembicara simposium, seperti saya.

Ketika rekan-rekan aktivis lain memaki-maki Simposium, jauh hari sebelum berlangsungnya acara, rekan-rekan aktivis di dalam dan di samping kerja kepanitian itu memilih diam, karena alasan-alasan yang saya duga Anda tahu sendiri. Mereka tidak atau belum merasa perlu membela diri. Tetapi kawan-kawan aktivis ini tidak sendirian berada dalam posisi terjepit.

Dari pihak pemerintah dan militer yang berada dalam kepanitiaan itu juga mengalami posisi tidak berbeda jauh dari rekan-rekan aktivis. Lebih dari satu sumber terpercaya menjelaskan pada saya bahwa para pejabat negara itu mendapat tekanan keras–sangat keras–dari rekan-rekan mereka sendiri. Sebagian meminta Simposium itu dibatalkan. Beberapa nama mereka sudah dijadwalkan, tetapi mereka menolak hadir.

Jika para aktivis yang anti-Simposium menuduh acara ini hanya tipu-muslihat untuk membenarkan kejahatan 1965, sejumlah pejabat dan perwira tinggi menuduh Simposium ini sebagai “acara PKI”. Ini bukan sekadar tuduhan dari Front Pancasila yang sudah banyak disiarkan, tetapi tuduhan dari para tokoh senior pemerintahan dan militer.

Berbeda dari Front Pancasila dan sebagian para aktivis HAM yang sama-sama menolak, mengejek atau memboikot Simposium dengan suara lantang di muka publik, para pejabat dan perwira tinggi yang anti-Simposium ini memilih bungkam di muka publik.

Pasca Simposium

Jadi, apa yang akan terjadi pasca-Simposium merupakan sebuah pertanyaan terbuka. Yang jelas, tidak bisa terburu dirayakan atau dikutuk. Perbedaan pandangan dan kepentingan yang tampil dalam Simposium akan berlanjut. Dan apa pun hasilnya, semua itu hanya bagian dari sebuah proses yang panjang dan meletihkan, tetapi perlu.

Mungkin akan ada acara lain di masa depan yang mirip Simposium ini. Pertanyaanya, apa yang dapat kita kerjakan di luar Simposium, dan di mana (jika ada) peluang untuk saling menguatkan perjuangan rekan-rekan di dalam dan di luar acara semacam Simposium ini di masa depan.

Saya ingat kritik seorang rekan aktivis dari Filipina, Randy David, pada kelompok kiri di negerinya semasa terjadi proses suksesi rezim Marcos ke Aquino. Setelah terdesak oposisi, Marcos mengadakan pemilu sebagai upaya merebut kembali legitimasi kekuasaannya. Tentu, sebagai presiden petahana, ia punya peluang dan kepentingan untuk menyiapkan berbagai strategi jahat untuk memenangkan pemilihan itu.

Kelompok kiri menyerukan boikot. Pemilu berlangsung, Marcos melakukan berbagai kecurangan, kecurangan itu dibongkar. Rakyat marah dan didukung kelompok “konservatif”. Terbentuklah gelombang besar gerakan rakyat yang menumbangkan Marcos. Kelompok kiri tidak ikut berpesta sebagai pemenangnya.

Kolom Terkait:

Menjadi Indonesia Pasca-1965

Menunggu Kedewasaan Pemerintah Tentang 65

Ingatan Kolektif 1965

Ariel Heryanto
Ariel Heryanto
Profesor di The School of Culture, History and Language, Australian National University
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.