Jumat, April 26, 2024

Mengapa Indonesia Harus Aktif Menentang Trump

Ihsan Ali-Fauzi
Ihsan Ali-Fauzi
Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta
People gather to protest against the travel ban imposed by U.S. President Donald Trump's executive order, at O'Hare airport in Chicago, Illinois, U.S. January 28, 2017. REUTERS/Kamil Krzaczynski TPX IMAGES OF THE DAY *** Local Caption *** Warga berkumpul memprotes larangan perjalanan yang dikenakan oleh perintah eksekutif Presiden Amerika Serikat Donald Trump di bandara O'Hare di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, Sabtu (28/1). ANTARA FOTO/REUTERS/Kamil Krzaczynski/cfo/17
Warga berkumpul memprotes larangan perjalanan yang dikenakan oleh perintah eksekutif Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Bandara O’Hare di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, Sabtu (28/1). ANTARA FOTO/REUTERS/Kamil Krzaczynski/cfo/17

Jumat lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani Executive Order yang antara lain melarang kaum Muslim dari tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim masuk ke AS. Ketujuh negara itu adalah Suriah, Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman. Negara-negara itu dianggap berbahaya karena diduga menjadi lokasi koordinasi dan operasi kelompok teroris seperti ISIS.

Perintah ini sudah diprotes warganegara AS sendiri, termasuk beberapa politisi Partai Republik, yang mendukung Trump dalam pemilihan presiden kemarin. Dasar protes itu adalah prinsip demokrasi bahwa kebijakan publik apa pun tidak boleh mendiskriminasi kelompok tertentu.

Seperti diduga sebelumnya, kebijakan itu sudah makan korban. Misalnya, banyak Muslim dari Timur Tengah hari-hari ini tertahan di bandara setiba mereka di AS. Mereka dibantu para aktivis kemanusiaan dan pengacara American Civil Liberties Union (ACLU) yang menentang Trump. Sementara itu, ancaman kepada kaum Muslim di AS meningkat, antara lain dengan dibakarnya satu masjid di Texas.

Di sisi lain, kalangan teroris—seperti ISIS dan al-Qaidah—ikut senang dengan perintah Trump di atas. Seperti dilaporkan Independent (Senin, 30/01/2017), mereka percaya bahwa hal itu sesuai dengan dugaan mereka sebelumnya, “bahwa AS memang membenci Islam”, dan bahwa perintah itu akan menambah kebencian orang (Muslim) pada AS. Pada gilirannya, hal ini akan meningkatkan dukungan kepada dan rekrutmen pengikut baru ke dalam organisasi mereka.

Di Jakarta, Duta Besar AS untuk Indonesia, Joseph R. Donovan, menyampaikan bahwa Indonesia tidak perlu khawatir akan perintah itu. Ini karena, katanya, “Indonesia tidak termasuk tujuh negara Islam yang [warga Muslimnya] dilarang masuk [ke] AS” (Tempo.co, Selasa, 31/01/2017).

Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas tentang Kebijakan Ekonomi Berkeadilan di Ruang Oval, Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (31/1). Presiden menekankan bahwa pemerintah terus berupaya mewujudkan kemajuan kemakmuran dan kesejahteraan untuk bersama dengan semangat persatuan, gotong royong dan tanpa membedakan suku agama serta ras. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/pd/17
ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/pd/17

Saya tak heran membaca komentar Dubes AS di atas. Apa yang Anda harapkan dari seorang dubes kecuali membela kebijakan negerinya di negeri tempatnya bekerja? Anda pahami saja.

Yang mencengangkan saya adalah tanggapan Presiden Joko Widodo terkait kesemrawutan ini. Dengan gaya meremehkan yang sangat tidak perlu, dia menyatakan, “Kita, kan, tidak terkena dampak dari kebijakan itu. Wong tidak terkena dampak, kok resah?” (Kompas, Selasa, 31/01/2017). Pernyataan itu egois, kurang melihat dampak kebijakan itu dalam jangka panjang, dan kurang pandai dan agresif dalam memanfaatkan posisi strategis Indonesia di panggung dunia.

Tiga Argumen
Saya mulai dari argumen terakhir. Fakta bahwa Indonesia tidak masuk dalam daftar negara terlarang harus dilihat sebagai “durian runtuh” yang wajib dimanfaatkan sebaik-baiknya. Fakta itu menjadikan Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan strategis, dibanding negara-negara lainnya, untuk menolak keras kebijakan itu.

Fakta ini akan memperkuat kredibilitas tuntutan Indonesia. Dengan kata lain, justru karena berada dalam posisi itu, pemerintah Indonesia dapat mengingatkan Trump bahwa kebijakannya salah dan harus diubah. Kata orang Melayu, “Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.”

Dalam hal ini posisi Indonesia juga sangat unik. Kita adalah negara mayoritas Muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi ketiga terbesar di dunia. Dengan menolak kebijakan Trump yang diskriminatif, pemerintah Indonesia akan tampil di panggung politik dunia sebagai aktor kredibel yang sedang menunjukkan solidaritasnya kepada sesama negeri mayoritas Muslim dan sekaligus membela nilai-nilai demokrasi.

Dengan bersikap demikian, Jokowi juga akan memperoleh dukungan dari kaum Muslim di dalam negeri. Ini bonus lain buat pemerintahan Jokowi yang, kita tahu, beberapa kali diragukan komitmen keislamannya oleh pihak-pihak tertentu.

Kedua, langkah proaktif dan sedikit agresif di atas juga akan menunjukkan bahwa Indonesia tidak selfish, memikirkan hanya warganegaranya sendiri, tetapi berdiri di atas prinsip demokrasi, kerjasama internasional, dan kemanusiaan. Ini krusial karena Indonesia sendiri sedang menghadapi masalah pengungsi, khususnya dari Myanmar, di dalam negeri. Dengan mengkritik Trump, kita ikut memberi pelajaran kepada dunia betapa tak mudahnya mengurusi pengungsi sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Lagi, di sini, fakta bahwa Indonesia tidak masuk dalam daftar negara terlarang tak perlu disyukuri berlebihan. Hal itu bahkan perlu dikaji secara kritis. Beberapa kalangan mengaitkan hal itu dengan fakta bahwa Trump sebagai pribadi memiliki kepentingan bisnis di negeri ini, yang antara lain terkait dengan politisi dan pengusaha Hary Tanoe. Jika betul demikian, kita perlu memeriksa segala legalitasnya secara transparan, baik dari sudut pandang Indonesia maupun AS.

Akhirnya, ketiga, bertentangan dengan yang dikatakan Jokowi, Indonesia akan ikut merasakan dampak negatif kebijakan diskriminatif Presiden Trump di atas—jika tidak dalam jangka pendek, maka dalam jangka menengah dan panjang. Hal ini akan menyuburkan ladang bagi tumbuhnya radikalisme dan ekstremisme, bahkan terorisme, yang dimulai dengan meningkatnya sentimen anti-Amerikanisme akibat kebijakan itu.

Jokowi perlu belajar sejarah anti-AS di negeri kita. Dia perlu tahu bahwa peran AS di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah, selalu menjadi sumber kemarahan kaum Muslim di negeri kita. Ada teori konspirasi “Barat menghancurkan Islam” yang luas beredar lewat pengajian, media sosial, dan lainnya. Salah satu puncaknya kita temukan dalam pernyataan Hamzah Haz, Wakil Presiden kala itu, yang menyatakan bahwa Presiden George Bush adalah “mbah-nya teroris” (Kompas, 9 Februari 2003).

Terakhir, pada September 2012, ketika AS masih dipimpin Barack Obama (yang relatif dekat dengan Indonesia), Kedubes AS di Jakarta jadi sasaran protes akibat beredarnya video “Innocence of Muslims” yang dianggap melecehkan Islam. Ini terlepas dari penegasan Menteri Luar Negeri AS kala itu, Hillary Clinton, bahwa video itu “memuakkan dan patut dicela” (disgunting and reprehensible).

Protes itu antara lain dilancarkan pengurus dan anggota Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum Umat Islam (FUI), dan Front Pembela Islam (FPI). Penting dicatat: semuanya disertai mobilisasi para elite untuk memperjuangkan kepentingan politik sendiri.

Menggalang Solidaritas
Karena alasan-alasan di atas, Presiden Jokowi perlu mengubah kebijakannya terkait Trump dan membangun solidaritas dunia untuk menentang kebijakan diskriminatif di atas. Dia bisa memulainya dari dalam negeri.

Jika sungkan, Presiden Jokowi bisa mulai dengan menyinggung fakta historis bahwa Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan AS, seperti pernah disampaikan almarhum Nurcholish Madjid (2003):

“Karena memandang AS sebagai model, maka dihasilkan sebuah Indonesia yang merupakan tiruan sederhana AS: negara berbentuk republik, berpemerintahan presidensial periodik (yang pertama saat itu setelah AS sendiri), berdeklarasi kemerdekaan yang memuat noktah-noktah wawasan dasar kenegaraan (kini menjadi Mukadimah UUD 1945), bermotokan Bhinneka Tunggal Ika (identik dengan E Pluribus Unum) untuk secara positif mewadahi kemajemukan, dan berlambangkan burung elang (garuda).”

Dari pernyataan penting Bapak Reformasi kita di atas, kita dapat menyimpulkan dengan penuh kesadaran bahwa Indonesia adalah “saudara muda” AS. Bukankah kewajiban saudara muda untuk mengingatkan saudara tua ketika yang terakhir berbuat salah?

Ihsan Ali-Fauzi
Ihsan Ali-Fauzi
Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.