Kepolisian Daerah Metro Jaya melarang kegiatan pengumpulan massa yang dikoordinir di antaranya oleh Forum Umat Islam (FUI) pada hari ini, 11 Februari 2017, atau Aksi 112. Kepolisian beralasan bahwa kegiatan itu melanggar hak dan kebebasan orang lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Di sisi lain, pihak FUI menegaskan bahwa aksi tersebut dilindungi oleh Konstitusi dan undang-undang terkait dengan hak menyampaikan pendapat.
Dua pandangan yang bertolak belakang tersebut sama-sama mempergunakan basis hak asasi manusia khususnya hak untuk menyampaikan pendapat.
Sayangnya, hak asasi manusia tidak dipahami secara komplet atau kaffah, sehingga masing-masing hanya mempergunakan hak asasi manusia sesuai dengan kepentingan secara pragmatis saja (komodifikasi).
Instrumen Hak Menyampaikan Pendapat
Hak untuk menyampaikan pendapat diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (3), yang berbunyi bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Di dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.
Lebih lanjut di Pasal 24 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.
Pada Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dan ayat (2), dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Pasal 19 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi di dalam Undang-Undang Nomor 12/2005 berbunyi, setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan; ayat (2): setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; dan ayat (3): pembatasan atas hak atas kebebasan menyatakan pendapat dibatasi sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk menghormati hak atas nama baik orang lain dan melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.
Pelarangan atau Pembatasan?
Apakah kebijakan Kepolisian yang melarang Aksi 112 dan akan membubarkannya (jika tetap dilaksanakan), sesuai dan di dalam koridor penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak atas kebebasan menyatakan pendapat?
Untuk menilainya, ada tiga alat ukur yang dirumuskan oleh Article 19, sebuah organisasi internasional yang melakukan advokasi atas hak untuk berpendapat.
Pertama, pembatasan harus berdasarkan pada aturan yang sah. Pemerintah Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Apakah pembatasan yang diatur di dalam undang-undang ini telah jelas dan tegas, sehingga setiap orang bisa memahaminya dan menerimanya dengan benar
Pembatasan dijabarkan di dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa di dalam menyampaikan pendapat diwajibkan untuk a. menghormati hak-hak orang lain; b. menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; c. menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan e. menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Kedua, mempunyai tujuan yang legitimate atau sah. Ketiga, pembatasan itu diperlukan. Apakah kebijakan Kepolisian melarang Aksi 112 berlandaskan pada aturan hukum yang sah dan norma HAM?
UU No. 9/1998 mengatur pelarangan di tempat-tempat tertentu misalnya obyek vital nasional dan pada hari libur nasional. Selain itu, yang diatur adalah pembatasan! Hal ini karena pada dasarnya, yang diperbolehkan menurut Konstitusi dan instrumen HAM adalah pembatasan, bukan pelarangan!
Lantas, bagaimana agar pembatasan itu legitimate atau sah? Kepolisian harus mempunyai data, informasi, fakta, dan bukti yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum bahwa, misalnya, diduga aksi itu akan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Lebih jauh, di dalam UU No. 9/1998, koordinator kegiatan hanya diwajibkan untuk menyampaikan pemberitahuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 10, 11, dan 12. Tidak ada ketentuan bahwa koordinator aksi harus meminta izin dari Kepolisian.
Hal ini karena sifat dan karakteristik dari hak kebebasan menyatakan pendapat yang merupakan rumpun hak yang negative (negative right). Artinya, negara tidak diperkenankan untuk turut campur atau intervensi di dalam penggunaan hak itu.
Lebih lanjut, pertanyaannya adalah, apakah pembatasan itu diperlukan? Apakah pembatasan itu akan sejalan dengan keinginan Kepolisian untuk menjaga ketertiban ataukah akan berakibat sebaliknya?
Kapolda Metro Jaya maupun Menkopolhukam menyatakan bahwa jika tetap dilakukan, aparat akan membubarkan Aksi 112, dengan alasan menghormati masa tenang sebelum Pilkada DKI Jakarta pada 15 Februari 2017. Namun, alasan itu sumir karena masa tenang pilkada baru jatuh pada 12-14 Februari 2017.
Kepolisian tidak bisa melarang Aksi 112 karena tidak sesuai dengan norma dan prinsip hak asasi manusia. Lebih tepat jika yang dilakukan oleh kepolisian adalah melakukan “pembatasan” dan melakukan pengamanan dan pengaturan seperlunya agar aksi itu tidak menganggu ketertiban umum dan hak-hak orang lain.
“Pembatasan” itu ditentukan oleh Kepolisian dan mendialogkannya dengan koordinator Aksi 112, misalnya dengan membatasi jumlah peserta aksi, lokasi, tema, dan waktu.
Solusi “pembatasan” lebih sesuai dengan norma dan prinsip hak asasi manusia, daripada saling berargumentasi dengan berdalih pada norma-norma hak asasi manusia dengan pemahaman yang sangat parsial dan bisa menelikung falsafah dasar dari hak asasi manusia yang bersifat universal, tidak dapat dicabut (inalienable), tidak terpisahkan (indivisible), dan saling terkait (interrelated).