Kamis, April 25, 2024

Menakar Tanggung Jawab Moral Elite DPR [Catatan Politik 2016]

Asrinaldi Asril
Asrinaldi Asril
Pengajar Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang
Ketua DPR Setya Novanto (tengah) meninggalkan Gedung KPK usai diperiksa di Jakarta, Selasa (13/12). Setya Novanto diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan KTP elektronik tahun 2011-2012 dengan tersangka mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww/16.
Ketua DPR Setya Novanto meninggalkan Gedung KPK usai diperiksa di Jakarta, Selasa (13/12). Setya diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan KTP elektronik tahun 2011-2012 dengan tersangka mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww/16.

Sungguh sangat merisaukan kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 ini. Setelah Koalisi Merah Putih sebagai salah satu kekuatan besar di DPR untuk “menghadapi” Koalisi Indonesia hebat dibubarkan, partai-partai pengusung pemerintah berkuasa ternyata belum mampu meningkatkan prestasi lembaga ini.

Yang sering terlihat oleh publik justru adalah manuver politik anggota DPR untuk mempertahankan kekuasaannya. Kartelisasi politik yang berlangsung setahun terakhir juga berdampak besar pada kinerja DPR.

Jika diakumulasikan, kasus demi kasus yang muncul dalam aktivitas DPR dua tahun belakangan semakin menegaskan kepada publik betapa besarnya orientasi berkuasa elite politik. Celakanya, fakta tersebut berbanding terbalik dengan pelaksanaan fungsi lembaga ini yang seharusnya dilakukan.

Belum ada prestasi yang membanggakan dari anggota DPR periode ini. Dalam masa dua tahun pelaksanaan fungsi DPR, khususnya fungsi legislasi yang tergambar dalam program legislasi nasional yang diagendakan setiap tahun, justru banyak yang tidak mencapai target.

Sungguh ironis kenyataan ini tidak menjadi perhatian anggota DPR. Apalagi saat ini masyarakat mulai kehilangan kepercayaan dengan pelaksanaan demokrasi elektoral ini. Gejala ini dapat dilihat dari terus menurunnya partisipasi memilih masyarakat baik dalam pemilu maupun pemilihan kepala daerah.

Krisis Etika di DPR
Apa yang diperlihatkan elite politik, terutama yang menjadi wakil rakyat, tidak lebih adalah permainan intrik dan persaingan politik untuk kekuasaan semata. Jujur saja publik bahkan tidak puas dengan kinerja mereka sebagai wakil rakyat. Sejak mereka dilantik, yang terjadi adalah kehebohan jagat politik karena perdebatan dan rivalitas untuk mempertahankan kekuasaan. Bahkan strategi untuk mengalahkan partai politik lawan dalam Pemilu 2019 pun sudah mulai disusun sehingga melupakan hakikat kekuasaan yang mereka kendalikan guna memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Misalnya, dari catatan kehadiran dalam rapat saja, hal yang paling mudah menjadi anggota DPR, tergolong rendah. Rata-rata kehadiran anggota DPR dalam sidang kelima periode 2015-2016 (17 Mei-28 Juli 2016) hanya mencapai 45 persen dari total anggota DPR yang berjumlah 460 orang. Bahkan dalam sidang pertama periode 2016-2017 (16 Agustus-28 Oktober 2016) malah turun menjadi 41,79 persen. Dengan tingkat kehadiran yang rendah ini, tentu masyarakat tak bisa berharap banyak dengan kinerja legislatif dari anggota DPR ini.

Penyelenggaraan negara ini tidak semata-mata hanya mengandalkan kepiawaian mengakomodir kepentingan lawan politik saja. Justru yang terpenting dalam penyelenggaraan negara adalah bagaimana membangun semua perbuatan dalam bernegara berdasarkan pada nilai-nilai etika. Jika etika sebagai politisi ini terbangun dengan baik, maka yang muncul adalah tangung jawab moralnya untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pejabat negara di DPR.

Memang, kedengarannya seperti terlalu idealis. Namun, begitulah seharusnya ketika mereka menjadi pejabat negara ada tanggung jawab yang mesti dilaksanakan. Karena negara adalah organisasi kekuasaan tertinggi yang diselenggarakan oleh sekelompok elite yang mendapatkan legitimasi dari publik, maka yang menyelenggarakan negara harus orang yang moralnya lebih baik dibandingkan masyarakat pada umumnya.

Moral yang terbangun dalam diri elite politik akan menghasilkan komitmen yang kuat terhadap profesi mereka sebagai politisi. Dapat dibayangkan seperti apa negara ini jika diselenggarakan oleh mereka yang berkuasa, tapi tidak didasarkan pada pengamalan etika politik. Barangkali yang akan ditemukan hanyalah ambisi politik elite yang selalu tidak puas dengan kekuasaan yang ada.

Mengapa etika politik? Karena etika politik, seperti ditulis Franz Magnis Suseno (2016:xxiii), dapat “memberikan patokan-patokan orientasi dan pegangan-pegangan normatif bagi mereka yang memang mau menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolok ukur martabat manusia”. Tentu yang akan dibangun bagaimana manusia Indonesia yang bermartabat dan berkualitas sesuai dengan tujuan yang terdapat dalam UUD 1945. Sayangnya, tidak banyak politisi di DPR yang menjadikan etika ini sebagai pegangan mereka melaksanakan fungsinya sebagai wakil rakyat.

Masalah Rekrutmen
Krisis bernegara sebenarnya dimulai ketika elitenya tidak lagi memegang etika dan moral politik dalam menyelenggarakan kekuasaan yang ada di tangannya. Banyak kejadian yang diperankan elite politik saat ini justru bertentangan dengan nurani publik. Sungguh sangat disayangkan, masyarakat hanya disuguhkan perilaku anggota DPR yang menyesakkan dada mereka.

Banyak pihak meyakini salah satu penyebab utama dari persoalan dalam penggunaan kekuasaan elite ini adalah lemahnya sistem rekrutmen politik partai. Secara kasat mata sebenarnya terlihat kelemahan mendasar sistem rekrutmen tersebut. Misalnya, sistem rekrutmen politik partai yang tidak mengedepankan rekam jejak seorang calon anggota partai politik.

Ini adalah akibat partai yang hanya menginginkan jumlah pendukung yang banyak serta mampu membiayai aktivitasnya sehari-hari. Siapa pun bisa menjadi anggota partai politik tanpa melakukan seleksi yang ketat. Bahkan elite suatu partai politik yang dipecat karena kasus hukum dan etika bisa saja diterima oleh partai lain sepanjang mereka dilihat menguntungkan partai dalam jangka pendek. Tidak ada standar tertentu yang ditetapkan partai politik untuk menyiapkan kader mereka guna menjadi pemimpin masa depan bangsa ini.

Keadaan ini diperburuk lagi dengan sistem pengkaderan yang tidak berjalan dengan baik sebagaimana layaknya partai politik modern. Akibatnya, anggota partai yang dipersiapkan menjadi wakil rakyat ataupun elite partai tidak mendapatkan pembekalan yang cukup baik, terutama dari segi etika serta kemampuan personalnya sebagai calon pemimpin. Justru yang menonjol dalam sistem pengkaderan kepemimpinan partai ini hanyalah berdasarkan pada kedekatan kepada pimpinan partai.

Tak ada cara lain yang dapat dilakukan kecuali memperbaiki proses seleksi anggota partai politik yang dilakukan secara berjenjang di mulai dari daerah. Hal ini dimaksudkan agar kader partai politik yang akan menjadi calon pemimpin bangsa ini dari awal sudah dibekali dengan pengetahuan dan pengalaman politik sebelum menyelenggarakan kekuasaan negara yang lebih besar.

Dan, yang terpenting dari perbaikan sistem rekrutmen partai politik itu, adalah bagaimana mendapatkan pemimpin politik yang bermoral dan beretika sehingga kelak bisa bertanggung jawab dalam menyelenggarakan kekuasaan negara.

Asrinaldi Asril
Asrinaldi Asril
Pengajar Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.