Selasa, Oktober 8, 2024

Membangun Hoaks ala Amerika

Rahadian Rundjan
Rahadian Rundjan
Penulis dan peneliti sejarah. Berdomisili di Bogor.

Jika dipikirkan secara lebih tajam dan melihatnya dari ranah kontekstual yang agak berbeda, sebenarnya kata-kata Djoko Setiadi tentang “hoaks yang membangun” rasanya cukup masuk akal. Jangan lupa bahwa pria yang merupakan pemimpin Lembaga Sandi Negara sejak 2011 tersebut adalah veteran di dunia intelijen dan mungkin baginya, serta para pelaku intelijen lain, esensi informasi tidaklah terlalu penting dibandingkan kegunaan informasi tersebut. Menyulap informasi yang salah menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi negara rasanya adalah makanan sehari-hari orang-orang intelijen.

Harus disadari bahwa tiap-tiap pemerintahan di dunia pasti memiliki mesin propaganda dan agenda manipulatifnya masing-masing, termasuk Indonesia. Sukarno berkali-kali lantang mengingatkan akan penjajahan Belanda di Indonesia selama 350 tahun dalam pidato-pidatonya. Meski kekeliruan sejarah, toh itu menjadi pemantik semangat perjuangan rakyat Indonesia untuk melawan kolonialisme. Jika ada yang terbangun dari hal tersebut, maka itu adalah jiwa revolusioner Indonesia akan hal-hal yang mengancam identitas kenegaraannya; persis seperti yang diinginkan Sukarno. Dan tentu kita boleh tidak setuju terhadap agenda-agenda negara seperti ini.

Kalau ingin melihat bagaimana fenomena hoaks mempengaruhi perkembangan sebuah negara secara gamblang, lihatlah Amerika Serikat, negara demokrasi pertama yang menjunjung tinggi kebebasan pers dalam konstitusinya. Selama masa-masa Revolusi Amerika, para pemimpin revolusioner seperti Samuel Adams, Paul Revere, William Livingston, dan Benjamin Franklin adalah para propagandis ulung yang bertanggung jawab dalam memanipulasi publik Amerika untuk menyikapi kekuasaan Inggris secara radikal.

Propaganda-propaganda tersebut yang dicetak di koran-koran, pamflet, dan lain-lain, menjadi gagasan mendasar patriotisme rakyat Amerika masa revolusi, bahkan sampai sekarang. Franklin pernah mengatakan bahwa untuk ukuran sebuah institusi yang berpengaruh besar terhadap masyarakat, syarat yang diperlukan untuk mereka yang ingin memasuki ranah jurnalisme tergolong rendah; para calon pegiat jurnalistik tidak harus memiliki “kemampuan, integritas, dan pengetahuan” khusus.

Menurutnya lagi, di bawah pengaruh kelompok tertentu, definisi “kebebasan pers” dapat berubah menjadi “kebebasan untuk menghina, memfitnah, dan melecehkan orang lain”. Penerawangan Franklin benar. Tak lama ketika Amerika akhirnya memahami kekuatan pers dalam membentuk opini publik, orang-orang ramai mengeksploitasi pers untuk menebar hoaks.

Salah satunya, juga menjadi contoh hoaks klasik, adalah ketika Franklin sendiri mencetak berita palsu tentang pembantaian penduduk Amerika di perbatasan New York pada 1782. Dalam berita yang dipublikasikan koran The Independent Chronicle tersebut, dilaporkan bahwa sekelompok orang-orang Indian, yang diperintahkan tentara Inggris, telah mengumpulkan 700 kulit kepala orang-orang Amerika, termasuk perempuan dan anak-anak, untuk diserahkan kepada raja Inggris.

Dampaknya, selain berhasil menjatuhkan prestise Inggris di Eropa, hoaks tersebut juga meyakinkan masyarakat Amerika untuk menolak integrasi orang-orang Indian ke dalam negaranya.

Di Amerika pula, hoaks mulai digunakan untuk kampanye-kampanye hitam. Pemilihan Presiden Amerika tahun 1800 dianggap begitu berkesan karena kedua kandidatnya, John Adams dan Thomas Jefferson, saling menebar hoaks secara terbuka di koran-koran. Hal serupa juga terjadi tahun 1828 antara kandidat John Quincy Adams dan Andrew Jackson. Adams diserang rumor bahwa dirinya pernah menawarkan seorang pelacur Amerika kepada Tsar Rusia kala ia menjadi duta besar Amerika di sana. Pendukung Adams membalas dengan menyebarkan rumor yang menyebut Jackson sebagai “perebut istri orang”.

Bicara hoaks di Amerika, maka haruslah membicarakan Yellow Journalism (Jurnalisme Kuning), istilah yang lahir dari gaya pemberitaan sensasional The New York World pimpinan Joseph Pulitzer, dan The New York Journal pimpinan William Hearst selama tahun 1895-1898. Salah satu berita hoaks terpentingnya adalah laporan tenggelamnya kapal USS Maine di Havana, Kuba. Koran-koran tersebut melaporkan secara serampangan bahwa Spanyol adalah pelakunya, ditambah laporan-laporan hoaks lain yang menggambarkan kekejaman pemerintahan Spanyol di Kuba. Hasilnya, pada 1898 pemerintah Amerika menginvasi Kuba untuk memerangi Spanyol.

Amerika sadar bahwa hoaks sangat ampuh untuk melegitimasi kebijakan politik luar negerinya. Sebut saja dalam kasus Insiden Teluk Tonkin tahun 1964. Pemerintah Amerika mengklaim tanpa dasar bahwa kapal-kapalnya diserang oleh angkatan laut Vietnam Utara dan sebagai balasannya mereka memutuskan untuk mengirimkan angkatan perangnya, memulai Perang Amerika di Vietnam.

Teknik yang sama juga terjadi kala pemerintahan Bush meyakinkan rakyat Amerika untuk menghentikan program senjata pemusnah massal Irak. Namun, setelah memorak-porandakan Irak dan mengeksekusi pemimpinnya, Saddam Hussein, senjata massal itu tak pernah ditemukan.

Amerika dan Indonesia rasanya kini tengah melayari kapal yang sama dalam derasnya arus fenomena hoaks di politik kontemporer. Kita masih ingat pada Pemilihan Presiden 2014 lalu, betapa kampanye hitam dan berita-berita hoaks yang menyinggung urusan-urusan ras dan agama para kandidatnya terasa begitu kental.

Hal serupa juga terjadi pada pemilihan presiden Amerika tahun 2016. Baik pendukung Donald Trump dan Hillary Clinton saling menebar hoaks untuk menjatuhkan lawannya masing-masing, menjadikan Pilpres 2016 tersebut sebagai yang terkotor dalam sejarah Amerika kontemporer.

Hoaks adalah fenomena modern, ujian bagi kedewasaan kita dalam berdemokrasi. Penanggulangan hoaks dan para pembuatnya memang rumi; jika terlalu ketat, maka akan melukai kebebasan berbicara, dan terlalu lunak akan membuat kebohongan merajalela.

Pembentukan Badan Siber dan Sandi Nasional adalah langkah tepat untuk menunjukkan keseriusan Indonesia dalam merespons fenomena hoaks di internet. Namun, jangan lupa, sebagaimana sejarah Amerika memperlihatkan, pemerintah memiliki kemampuan memproduksi hoaks, dan inilah tantangan bagi kita untuk lebih jeli dalam menyerap informasi dari kubu mana pun, lawan maupun kawan.

Kolom terkait:

Hoaks yang Dibercandai

Mau Apa dengan Badan Siber?

Melawan Hoax ala Ibnu Khaldun

Hoaks dan Nalar Kita

Kaleidoskop 2017: CELUP dan Kekacauan Fungsi Media Sosial

Rahadian Rundjan
Rahadian Rundjan
Penulis dan peneliti sejarah. Berdomisili di Bogor.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.