Kamis, Mei 2, 2024

McDonaldisasi Politik Kita

Firman Situmeang
Firman Situmeang
Pegiat Literasi di Toba Writers Forum.

Politik “jalan tol” kini sedang menjangkiti partai politik dan menjadi wajah baru dunia perpolitikan tanah air. Partai politik yang seyogianya bertugas untuk melahirkan kader-kader berkualitas dewasa ini lebih cenderung menggunakan jalan pintas dengan mengusung figur nonkader. Misalnya saja pada perhelatan Pilkada DKI tahun lalu. Dari ketiga pasangan gubernur dan wakil gubernur hanya Djarot Saiful Hidayat saja yang diusung partainya sendiri (PDI Perjuangan), sementara yang lain seperti Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Anies Baswean, Agus Yudhoyono, Sandiaga Uno, dan Sylviana merupakan figur nonkader bahkan nonpartai.

Jelang Pemilihan Kepala Daerah 2018 dan Pemilihan Presiden 2019, tren ini semakin menguat saja. Di Sumatra Utara, Gerindra lebih memilih mengusung eks-Pangkostrad Edy Rahmayadi dibandingkan kader terbaiknya di provinsi itu, Gus Irawan. Di Jawa Barat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Hanura, dan NasDem memilih mengusung Ridwan Kamil dibandingkan memajukan kadernya sendiri.

Lalu, di Jawa Timur, Gerindra-Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang biasanya membuat poros sendiri secara mengejutkan mengusung Saifullah Yusuf (Gus Ipul) – Puti Guntur Sorkarno yang didukung oleh rival politiknya, PDI Perjuangan. Di saat bersamaan, Golkar dan Demokrat juga melakukan hal yang sama dengan mengusung Khofifah Indar Parawansa (kader PKB) dan Emil Dardak (kader PDIP).

Politik serba instan yang dipraktikkan oleh berbagai partai guna memenangkan pilkada dapat secara sosiologis dikategorikan sebagai fenomena McDonaldisasi. Sebagaimana dikemukakan George Ritzer dalam The McDonaldization of Society (2004), McDonaldisasi adalah proses-proses di mana prinsip-prinsip restoran cepat saji mendominasi masyarakat. Menjelang pilkada dan pilpres, partai politik pun tampaknya tidak ketinggalan meniru gaya ini dengan begitu vulgar.

Ada empat unsur Mcdonaldisasi yang dijalankan oleh partai-partai di Indonesia. Pertama, Efisiensi. Prinsip efisiensi menuntut partai politik untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya yang sekecil-kecilnya. Semakin hemat atau sedikit penggunaan sumber daya, maka prosesnya dikatakan semakin efisien. Proses yang efisien ditandai dengan penyederhanaan proses sehingga menjadi lebih murah dan lebih cepat. Hal ini juga berlaku dalam pengusungan calon.

Hal ini yang dilakukan oleh kebanyakan partai politik di Indonesia dalam pengusuangan calon presiden atau calon kepala daerah: partai lebih memilih untuk mengusung siapa pun figur yang dianggap populer. Mereka tidak mau repot-repot melakukan kaderisasi secara bertahap karena dinilai sulit, repot, dan mahal. Belum lagi harus mengeluarkan biaya ekstra guna mensosialisasikan kader yang mereka usung.

Bagi mereka, suara pasar adalah suara partai. Sosok yang dianggap “dibutuhkan pasar”, dengan mengabaikan kualitas, yang akan diusung partai politik. Alhasil, ada partai yang bekerja lima tahun sekali mempersiapkan calon ketika menjelang pilkada/pilpres dilaksanakan saja.

Salah satu contoh yang bisa kita jadikan rujukan adalah pencalonan artis kawakan Deddy Mizwar sebagai calon gubernur Jawa Barat. Partai-partai pengusung menjadikan ketenaran dan nilai jual Deddy sebagai salah satu strategi atau cara yang efisien untuk menarik suara rakyat. Langkah yang sama juga dilakukan Gerindra di Sumatra Utara dengan mengusung figur yang telanjur tenar, Edy Rahmayadi, sampai-sampai Gerindra mengabaikan kader ideologisnya, Gus Irawan.

Kedua, kalkulabilitas. Ritzer (2011) menyatakan bahwa prinsip kalkubalitas dalam McDonaldisasi lebih menekankan pencapaian kuantitas sehingga mengorbankan aspek kualitas. Dalam kaitannya dengan pemilu, gejala yang sama juga ditunjukkan oleh partai politik. Partai politik tidak mengusung calon berdasarkan kualitas kepemimpinan calon, baik dari sisi ideologi maupun sisi kecakapan memimpin, namun lebih mengutamakan hitung-hitungan suara melalui keterkenalan.

Mereka tidak peduli terhadap kualitas calon, tidak peduli apakah ideologi si calon sejalan  dengan ideologi partai, dan tidak ambil pusing dengan kemampuan si calon dalam menyejahteraan rakyat. Target partai politik hanya berdasarkan hitung-hitungan suara, misalnya bagaimana mereka mampu meraih suara terbanyak dalam pilkada maupun pilpres. Tidaklah mengherankan bila di Jawa Timur Gerindara dan PDIP, yang selama ini selalu berlawanan, mendadak mengusung calon yang sama. Bagi mereka, kalkulasi suara lebih penting dibandingkan ideologi partai.

Di samping suara, kalkulasi dana juga menjadi pertimbangan partai dalam mengusung seorang calon. Demi menambah kasnya, banyak partai yang mengajukan “mahar politik” bagi calon nonkader yang haus akan kekuasaan. Dengan dalih untuk membesarkan partai, sosialisasi, logistik, dan kepentingan tim pemenangan, elite parpol tidak segan mengajukan mahar politik yang super tinggi. Tidaklah mengherankan bila banyak pengusaha ataupun orang kaya yang maju dalam kontestasi pilkada. Ingat dengan kasus La Nyalla? 

Ketiga, prediktabilitas yang berarti segala sesuatu harus dapat diperkirakan. Dengan adanya kalkulabilitas, dengan sendirinya dapat diprediksikan keuntungan yang akan diperoleh si partai. Entah itu keuntungan kekuasaan maupun keuntungan ekonomi. Alhasil, masyarakat bisa menebak tindakan yang akan dilakukan partai berdasarkan sinyal yang diberikan sejak awal.

Salah satunya fenomena yang sangat menarik dari keterprediksian ini ialah pengusungan Presiden Jokowi oleh Partai Golkar sebagai calon presiden 2019 mendahului PDIP yang notabene partai asal Jokowi. Pasca Golkar beberapa partai ikutan mendeklarasikan dukungannya pada Jokowi semisal Nasdem, Hanura, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Antusiasme partai-partai tersebut dalam mengusung Jokowi tentu tidak terlepas dari prediksi keuntungan yang sudah dilakukan oleh partai yang bersangkutan.

Sekurang-kurangnya ada tiga (3) gendang (prediksi) di balik “keterburu-buruan” partai-partai tersebut dalam mendukung Jokowi. Pertama, Jokowi memiliki popularitas dan elektabilitas tertinggi sehingga paling berpeluang untuk memenangkan Pilpres 2019. Kedua, dengan mendukung Jokowi, partai besar kemungkinan akan mendapatkan jatah kursi menteri dalam pemerintahan saat ini maupun yang akan datang. Ketiga, dengan mendukung Jokowi yang banyak dicintai itu, diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai bersangkutan.

Keempat, kontrol. Prinsip kontrol McDonaldisasi menjadikan partai politik terlalu mengidolakan teknologi. Misalnya dalam menentukan siapa calon yang diusung pada pilkada maupun pilpres, partai acapkali menjadikan hasil survei sebagai pertimbangan utama. Semakin tinggi popularitas dan elektabilitas seseorang figur, partai akan cenderung mengusung orang tersebut.

Di samping itu, McDonaldisasi telah menjadikan para calon dikomodifikasi menjadi alat produksi partai. Artinya, popularitas dan elektabilitas si calon diharapkan dapat pula meningkatkan popularitas dan elektabilitas partai bersangkutan. Dengan mendukung seorang calon yang populer dan memiliki banyak idola, si partai berharap dapat mengontrol perhatian/emosi masyarakat. Dengan begitu, segala kegiatan dan pembicaraan yang dilakukan si calon dan fans selalu mengarah pada dukungan maupun isu yang diinginkan partai bersangkutan.

Disfungsional

Dampak paling nyata dari McDonaldisasi dalam penentuan calon pemimpin adalah disfungsional partai. Partai politik yang seyogianya bertanggung jawab untuk melakukan kaderisasi guna melahirkan calon pemimpin terbaik atau sekurang-kurangnya mengusung calon yang kompeten, kini bersikap pasif dan hanya melakukan seleksi menjelang perhelatan pemilu.

Tak sampai disitu, keterpesonaan partai akan popularitas membuat interaksi partai dengan masyarakat dewasa ini kian melemah. Partai yang seharusnya berkomunikasi langsung dengan rakyat sebelum mengusung seorang calon, kini hanya berpatokan pada hasil survei semata.

Kondisi ini jelas menjadi kabar buruk bagi masyarakat. Pasalnya, hingga kini partai politik masih menerima subsidi berupa “dana parpol” yang tahun ini naik menjadi Rp 1.000 per suara. Kalau akhirnya partai menghalalkan cara-cara instan dalam menentukan calon yang diusungnya, maka uang yang dikeluarkan rakyat menjadi mubazir. Perlu dicatat bahwa perhelatan pilkada dan pilpres adalah pesta rakyat, sehingga sudah sepantasnya prinsip dari, oleh, dan untuk rakyat dikumandangkan kembali oleh partai politik.

Kolom terkait:

Pilkada 2018: Surplus Akrobat, Defisit Kandidat?

Akrobat Parpol di Pilgub Jabar

Maskawin Politik dalam Pilkada

Dedi-Deddy, Duet Penyabar Bakal Bikin Jabar Berkibar

Gus Ipul, Puti, dan Nyanyian La Nyalla

Firman Situmeang
Firman Situmeang
Pegiat Literasi di Toba Writers Forum.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.